Mohon tunggu...
Madonna Yosepin Rosianta
Madonna Yosepin Rosianta Mohon Tunggu... -

Student at university of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kemudahan Meningkatkan AKI dan AKB oleh BPJS?

31 Oktober 2014   18:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai keluhan yang dirasakan oleh peserta JKN dan pemberi pelayanan kesehatan, yaitu mulai dari premi, susahnya menjangkau tempat pelayanan kesehatan, sistem rujukkan hingga mutu pelayanan kesehatan yang didapat. Keluhan ini disampaikan oleh seluruh peseta BPJS mulai yang berada di kota-kota besar hingga pulau-pulau terpencil di Indonesia yang memiliki permasalahan yang lebih komplek dengan jarak pelayanan kesehatan yang jauh dan bertele-tele. Tidak hanya dikeluhkan oleh peserta, instansi dan petugas pun merasakan hal yang sama.Bagaimana dengan regulasi BPJS pada saat ini mampukah dengan Jaminan Kesehatan Nasional merangkum semua keresahan masyarakat dalam pelayanan kesehatan? Masih adakah kasus ibu hamil yang terlantar di RS ketika ingin melahirkan? Bagaimana dengan bayi, masih adakah bayi yang ditolak karena hal administratif sehingga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan?

Serimit inikah pelayanan rujukkan ke pelayanan kesehatan menggunakan BPJS?

Bermula dari sebuah rujukkan, kasus ini terjadi di salah satu tempat pelayanan kesehatan yang tempatnya tidak jauh dari ibu kota. Kejadian ini berdasarkan pengalaman dari teman saya yang bekerja di klinik swasta yang mendapatkan pasien ibu hamil, peserta BPJS kelas 2 dengan kondisi sudah kontraksi padahal usia kehamilannya belum cukup bulan. Pasien tersebut segera dirujuk ke RSUD Kabupaten di daerahnya tetapi RSUD tersebut menolak karena ruang perawatan kelas dua penuh, ruang perawatan NICU ada ruangan kosong tetapi peralatannya kurang memadai, belum lagi dokter anak sedang libur dikarenakan ini hari minggu sehingga ditakutkan apabila bayi prematur ini lahir dan terjadi kondisi gawat darurat dengan bayinya tidak ada yang berani bertanggung jawab. Pihak RSUD tersebut teguh dengan pernyataannya yang menyatakkan tidak bisa menerima pasien tersebut dan pihak RSUD malah memberi solusi, rujuk saja pasiennya ke RS Swasta yang melayani pasien BPJS dan memiliki fasilitas NICU lokasiny dekat dari RSUD tersebut tetapi pihak RSUD tersebut tidak mau membantu merujuknya. Pasien pun dikembalikan ke ambulan ternyata tak lama dimasukkan ke ambulan, pasien tersebut melahirkan di dalam ambulan. Bidan klinik swasta tersebut menolong persalinan di ambulan sambil menyuruh supir ambulan kembali ke UGD RSUD tersebut. Setelah persalinan selesai, ia langsung membawa bayi tersebut ke UGD dan meminta tolong. Singkat cerita ternyata pasien tersebut diterima dengan kondisi harus mau dirawat di UGD terlebih dahulu hingga menunggu kamar perawatan kosong dan bayi ditempatkan di ruangan NICU yang tersedia. Sesulit itu kah sebuah RSUD Kabupaten tersebut menerima rujukan pasien yang sudah terlihat emergensi tersebut? Dan bagaimana pengadaan SDM tenaga kesehatan seharusnya pada kasus bayi khusus hingga tidak ada satu pun dokter anak atau perawat berkompetensi keperawatan NICU yang ada di RSUD tersebut?

Menurut penulis, kasus ini mencerminkan salah satu kecacatan dari sistem BPJS kita ada beberapa poin yang bisa digaris bawahi. Yang pertama adalah sosialisasi BPJS tentang isi Permenkes No 28 tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan jaminan kesehatan nasional dengan pihak BPJS melakukan sosialisasi kepada masyarakat maka masyarakat akan sadar akan hak dan kewajiban dalam mendapatkan jaminan kesehatan nasional tersebut. Tidak hanya pada masyarakat sosialisasi permenkes ini juga berlaku untuk pegawai tenaga kesehatan untuk menghadapi dan mengantisipasi keadaan emergensi pasien. Setiap pemegsng kartu BPJS berhak atas pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP),

Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) bahkan hingga palayanan kegawatdaruratan. Pada kasus ini pihak Pemberi Pelayanan Tingkat Pertama (PPTP) sudah sesuai dengan ketentuan berlaku yaitu merujuk pasien ke Pemberi Pelayanan Tingkat Lanjut (PPTL). Pemberi pelayanan tigkat lanjut tidak berhak menolak pasien dikarenakan dalam keadaan darurat atau emergensi saja peserta BPJS wajib mendapatkan pelayanan meskipun peserta BPJS tidak mempunyai surat rujukkan (Permenkes No 28 thn 2014 Bab IV Poin F nomor 2a). Dalam hal ini PPTP telah memberikan surat rujukkan CITO untuk ditangani agar tidak terjadi terminasi kandungan mengingnat ini adalah kehamilan ketiga pasien tersebut.

Belum lagi dalam kasus ini dengan alasan kamar perawatan peserta BPJS non Penerima Bantuan Iuran sedang penuh. Alasan kamar perawatan yang penuh ini sangat klasik di dengar. Di zaman JKN ini mengenai kamar perawatan yang penuh diatur dalam Permenkes No 28 tahun 2014 Bab IV tentang Pelayanan Kesehatan, dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3 (tiga) hari. Mengapa di situasi ini tidak diberikan alternatif keadaan tersebut. Selanjutnya dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.

Satu lagi permasalahan dalam kasus ini yaitu ketidaksesuaiannya dokter anak atau perawat berkompetensi NICU yang tidak tersedia di pelayanan tingkat lanjut. Berdasarkan bor yang berlaku tenaga kesehatan yaitu tenaga perawat yang bekerja di pelayanan kebutuhan khusus seperti ini seharusnya ditangani 1-2 tenaga kesehatan untuk merawat bayi tersebut.

Pelayanan BPJS mungkin bisa kita lihat dari dua bidang ini dahulu, yaitu bagian kebidanan dan NICU. BPJS kurang jelas dalam menerapkan peraturan, kurang adanya sosialisasi BPJS mengenai sistem dan kebijakkan penunjang yang bersangkutan dengan pelayanan kebidanan dan NICU tersebut. Apabila sistem dalam pelayanan kesehatan masih seperti ini, masih banyak yang terlantar dan tidak tertangani dengan sistem pingpong atau sistem beberapa rumah sakit membolak-balikkan tidak menerima pasien BPJS. Kecukupan SDM tenaga kesehatan pun merupakan salah satu faktor penting dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi. Apalagi kompetensi perawat NICU di RSUD, penulis pernah mendengarkan keluhan dari seorang perawat NICU di RSUD yang tidak jauh dari wilayah ibu kota. Perawat NICU tersebut mengatakkan pasien di era JKN sekarang cukup banyak, bed yang tersedia di RSUD kami hanya 6 terkadang jika memungkinkan dipadat-padatkan agar tidak ada pasien yang terbengkalai. Belum lagi perawat NICU hanya 9 orang, semua perawat telah memiliki sertifikat dasar NICU tetapi baru 2 yang memiliki sertifikat Perawat Terampil NICU. Jumlah 9 perawat NICU ini pun tidak mencukupi ketika ada pegawai yang libur, cuti atau berhalangan masuk maka pegawai harus rolling jadwal agar ada yang jaga. Ini tidak seimbang ketika ada kasus gawat darurat dan perawat sertifikasi itu swdang libur atau cuti, perawat yang jaga kewalahan. Belum lagi ketersediaan dokter anak yang tidak selalu stand by. Menurut penulis, seharusnya BPJS mampu melihat, mengadvokasi terlebih dahulu cukupkah dengan pasien yang kemungkinan akan bertambah dengan jumlah sumber daya yang ada. Jangan hanya peresmian BPJS nya saja. Penulis melihat, BPJS tidak mampu berinteraksi dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan, hal ini dihat dari ketidaksesuaiannya ketersediaan alat-alat atau perlengkapan NICU seperti keterbatasan alat Kaya cpap,venti,monitor pada salah satu RSUD di daerah tidak jauh dengan ibu kota Lalu bagaimana pemerintah dalam mendistribusikan perlengkapan NICU di berbagai daerah pelosok Indonesia? Jangankan perlengkapan NICU mungkin alat kecil saja susah dicari di daerah pelosok Indonesia.

Dalam penyuksesan program JKN, pemerintah harus menjalankan fungsinya untuk bekerja sama sedang berbagai sektor pemerintahan, sebut saja apabila tidak adanya kontrobusi dari berbagai pihak atau instansi kementrian kesehatan, kementrian ketenagakerjaan, dll mungkin BPJS tidak berjalan. Dengan munculnya BPJS mungkin saja malah akan meningkatkan angka kematian ibu (AKI) dan kematian bayi (AKB) karena semakin susahnya regulasi pasien BPJS mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baik esensial atau pun pelayanan terpadu. BPJS baiknya memperbaharui dulu regulasi-regulasi yang dapat memajukkan BPJS dan mengintegrasikkannya kepada kementrian-kemetrian yang mungkin terkait dalam pelayanan BPJS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun