Mohon tunggu...
Madmam Wanahya
Madmam Wanahya Mohon Tunggu... -

Kehidupan itu penuh warna, why so serious...?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berapa Harga Manusia?

15 Februari 2013   10:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:16 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencukur adalah profesi manusiawi. Maksudnya hanya manusia yang membuka kios untuk memangkas rambut atau memotong janggut orang lain dengan ditukar imbalan. Binatang lain tidak ada yang membuka tempat untuk pekerjaan ini. Bercocok tanam juga merupakan profesi manusia, seperti halnya pabrik, paranormal, restoran dan sebagainya. Tidak ada jenis binatang lain yang melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti di atas selain manusia. Anda tahu betul akan hal itu. Dan sekarang ketahuilah kalau perang juga merupakan profesi manusiawi, sarana mencari penghidupan. Perang adalah profesi yang sama dengan mata pencaharian lainnya, bertujuan untuk mencari nafkah keluarga.

Jika anda tidak percaya, silahkan saja sekali-kali membuka kembali kamus bahasa. Semua bahasa yang ada di muka bumi ini, termasuk bahasa orang Eskimo memakai istilah transaksi dagang dalam perang, yang menang untung dan yang kalah rugi. Sebab itulah manusia mengenal perang sebagai transaksi jual beli, seperti transaksi di bursa saham. Orang yang berprofesi sebagai spekulan di pasar bursa tentu selalu memantau kondisi saham, meminta petunjuk para konsultan, optimis keadaan akan berpihak serta Tuhan selalu berada di sampingnya. Kadang prediksinya meleset dan sahamnya merosot. Kadang juga mendapat keuntungan besar dan berbangga kalau Tuhan benar-benar bersamanya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di pasar saham, tetapi juga dialami oleh pedagang kentang dan penjual perang. Yang satu bertaruh dengan barang dagangan biasa, sedangkan satunya bertaruh dengan kepala manusia.

Kisah perang dimulai secara kebetulan seperti sejarah-sejarah manusia pada umumnya. Kurang lebih sejak sejuta tahun yang lalu manusia tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan taruhan perang. Manusia tidak punya rumah, kebun, sawah, sapi, atau perempuan. Dahulu manusia berkeliaran di hutan hanya untuk memburu binatang sebagai bahan makanan dan mencari perempuan di musim semi agar melahirkan keturunan kemudian kembali berpetualang di hutan. Manusia tidak punya apapun untuk dipertahankan kecuali kepalanya sendiri. Dan dengan penuh tanggungjawab manusia melaksanakan kewajiban ini.

Setelah itu, ada seseorang yang memutuskan untuk memelihara perempuan daripada membiarkannya berjalan sendirian di hutan dengan perut yang terus membuncit. Ia menjambak rambut dan menyeretnya sampai mendapati gua di jalanan, dan langsung mencari makanan untuk diberikan kepada perempuan peliharaanya tersebut. Ketika kembali dengan membawa hasil buruan dan mengetahui perempuannya sudah melahirkan seorang bayi, ia pun sadar kalau yang harus dijaga tidak lagi hanya dirinya sendiri. Gua, perempuan, dan anak menjadi tanggungjawabnya untuk dijaga. Dan tentunya sekarang ia tidak lagi leluasa untuk berkeliaran.

Mulailah manusia belajar “menjaga wilayah kekuasaan”. Berdiri di depan mulut gua dan menghalau segala binatang buas yang mencoba menyerang anak dan persediaan makanan. Manusia tidak lagi leluasa melarikan diri dan membiarkan binatang buas melahap perempuan, anak, dan hasil buruan. Melarikan diri menjadi sikap tercela dan terkutuk, serta sikap berani adalah rela mati berdiri di mulut gua. Semenjak itu lahirlah norma-norma perang, sama seperti halnya puisi.

Setengah juta tahun kemudian manusia menyebar di permukaan bumi berkat lahirnya sistem baru ini. Populasinya bertambah dengan cepat dibanding jenis binatang lain. Mereka mendiami gua-gua untuk ditempati, mengusir segala macam binatang ke hutan serta mulai hidup dalam kumpulan yang berjumlah banyak. Dan yang menjadi musuh bukan lagi binatang buas, melainkan manusia, sebangsanya sendiri. Saat itulah perang model baru dilahirkan. Pada periode ini perang terjadi dengan teknik yang berbeda dari sebelumnya. Musuh bukan lagi binatang buas yang hanya mengandalkan taring atau sengatan racun, tetapi manusia yang di tengkoraknya terdapat otak yang super kompleks dan potensial. Perang pun menjadi ajang pertarungan logika semata. Dan dari sinilah manusia sampai mengenal bom atom dan nuklir.

Pada awalnya manusia hanya perlu panah atau tombak untuk memenangkan pertempuran dengan binatang. Mereka tidak membutuhkan senjata super hanya untuk membunuh macan atau singa. Mereka cukup mengandalkan panah atau tombak dari batu untuk mempertahankan gua miliknya dengan sedikit kemampuan yang lebih dari binatang. Manusia tidak butuh senjata atom atau nuklir andai saja tidak dikejutkan kalau panah tak lagi efektif dan efisien untuk melawan musuh barunya. Ini terjadi kurang lebih setengah juta tahun yang lalu saat sekawanan monyet melewati kawasan yang banyak kelinci dan gua. Panglima monyet terperangah takjub melihat surga di hadapannya. Saat itu ia sangat membutuhkan makanan dan tempat tinggal. Namun masalahnya, gua-gua itu sudah dimiliki monyet-monyet lain.

Sepanjang malam panglima monyet sibuk berpikir menyusun rencana. Sama sekali tidak berbeda dengan para pedagang sekarang yang mempelajari kondisi pasar dan memprediksi untung-rugi. Prediksi atau spekulasi bukanlah pekerjaan yang banyak menguras otak. Semuanya jelas terhampar seperti sinar matahari. Yang pertama kali harus  dilakukan untuk menguasai gua adalah dengan membunuh para penghuninya, atau paling tidak mengusirnya keluar. Untuk meralisasikan ini tentu harus berperang dalam beberapa waktu. Untuk berperang tentu harus ada anggota yang kuat dalam kelompok. Dan itu artinya harus mengorbankan sebagian anggota kelompok untuk merebut gua dan makanan. Kalau itu semua terwujud, maka transaski dikatakan berhasil.

Manusia lebih mudah lagi. Mereka bisa mengganti prajurit mati dengan cepat. Bercinta dengan perempuan-perempuan, dan setelah sembilan bulan lahirlah prajurit-prajurit baru yang siap menggantikan. Prajurit sebanyak bilangan rambut kepala yang siap tempur merebut gua yang lebih banyak, sebab sudah barang tentu mahluk perempuan tidak melahirkan gua atau binatang buruan. Namun sang panglima -dengan sedikit licik- bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara barter. Dan pekerjaan ini bisa dilakukan dengan sangat mudah tanpa hambatan.

Manuisa -komponen utama perang- bisa didapatkan dengan gratis. Diberi makan dan diurus seperti anak sapi, kemudian dibawa ke medan perang, yaitu pasar jual-beli dengan metode persaingan. Dibarter dengan hewan buruan, gua, atau jalanan, kemudian dikubur dalam upacara mewah dan dianugerahi satyalencana anumerta serta disebut pahlawan yang sedang menuju surga. Manusia ibarat mata uang sen yang tak berharga. Bisa ditukar dengan apapun yang bisa dimakan. Kadang dengan sekantung makanan. Kadang dengan sekeranjang jeruk. Setelah itu ditancapkan nisan penghargaan jika berkelakuan baik dan mati dalam mematuhi perintah atasannya. Kalau tidak, maka ditembak mati dengan mata kepala tertutup kain hitam atas tuduhan tidak loyal pada negara. Sama seperti anak sapi yang kabur dari tempat jagal.

Begitulah, seorang panglima bisa seenaknya menukar prajurit dengan barang apapun yang bisa dimakan. Tapi mungkin saja ini tidak relevan di masa sekarang. Saat ini manusia tidak lagi berperang dengan tujuan makanan, tapi karena mempertaruhkan “ideologi’ semata. Musha Diana mempertaruhkan pengikutnya dengan tahayul-tahayul Taurat. Nixon menukar para prajurit dengan demokrasi. Saham Hitler hancur karena mempertaruhkan ras Jerman. Roudisa pun sama kualat lantaran berjualan sapi putih. Bukan karena roti belaka manusia dijual, tetapi juga lantaran ideologi dan kitab suci. Oleh karena itu, pekerjaan perang tidak akan begitu saja berkahir lantaran manusia tak lagi membutuhkan gua atau makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun