Saudara A. Karim Abraham (AKA) yang saya hormati, salam damai dari sesama anak bangsa.
Sebenarnya sudah lama saya pengin menanggapi tulisan anda di Kompasiana ini tanggal 10 September lalu, tetapi banyaknya aktifitas membuat saya harus sabar dan memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik-baiknya, guna menyelesaikan tulisan ini. Meski barangkali tulisan ini bakal dibilang terlambat, karena pada akhirnya Miss World (MW) digelar juga di Bali. Bagi saya, tidak ada kata terlambat bagi sebuah pembangunan karakter bangsa.
Perkenalkan saya adalah seorang TKI yang bekerja di luar negeri, sehingga seluruh kerjaan harus saya selesaikan sendiri. Mulai dari kerjaan kantor, keluarga, komunitas WNI, maupun sekedar refreshing, haha-hihi bersama rekan2 senasib-seperjuangan. Saya sarankan Saudara AKA dan rekan2 pembaca untuk-setidaknya sekali dalam hidup-menjadi TKI, karena cukup banyak manfaat yang didapat. Pahlawan devisa, itu pasti. Kemudian kita bisa belajar dari berbagai bangsa, bagaimana menjadi bangsa yang mandiri, punya integritas juga kedaulatan. Kita juga bisa merasakan betapa enaknya menjadi tuan/majikan di negeri sendiri. Lalu sebagaimana filosofi pelatih sepakbola, kita bisa melihat Indonesia secara menyeluruh dan lebih objektif, setelah berada di luar negeri.
Saudara AKA, perlu diketahui bahwa saya bukanlah anggota FPI, bahkan ketemu fisik dengan seorang yang memakai atribut FPI-pun saya belum pernah. Tetapi sebagai sesama muslim dan sesama anak bangsa, saya bisa memaklumi langkah-langkah yang dilakukan FPI. Salah satu alasannya adalah karena saya dan FPI memakai rujukan yang sama, Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Inilah uniknya Islam, kita tidak perlu bertemu secara fisik untuk menyatukan persepsi, cukup memahami Qur’an dan Sunnah Nabi, Insya Alloh kita bakal ketemu di satu titik yang sama. Sebagai sesama Muslim, meski hidup di tengah komunitas masyarakat Hindu, saya sarankan Saudara AKA untuk membiasakan berbicara berdasarkan Qur’an dan Sunnah, karena kebenaran logika seringkali relatif sifatnya, bergantung pada tempat dan waktu. Saya punya banyak relasi India Muslim, dimana India dikenal mayoritas Hindu militan, ternyata mereka mampu menjaga akidah dengan baik. Jangan heran, bahwa buku Sirah Nabawiyah yang terbaik, dikarang oleh Syeikh Mubarakfuri, seorang Ulama India.
Saudara AKA, mungkin anda heran kenapa FPI mati-matian melawan gelaran MW ini. Perlu kita ketahui bersama, bahwa garis perjuangan FPI memang seperti itu. Seperti disampaikan sendiri oleh Habib Rizieq kepada AA Gym, bahwa mereka bagi-bagi tugas. AA Gym bertugas menyemai bibit-bibit dakwah, sementara FPI bertugas memberantas hamanya. Namanya memberantas hama, tentunya dimulai dari cara yang lunak, cukup dipotong, dicabut atau diusir jika itu binatang. Tetapi jika hamanya bandel, maka dilakukan langkah2 sampai ke tingkat ekstrim, seperti pembakaran ataupun penyemprotan yang mematikan. Nah, untuk kasus MW, sebagian besar elemen bangsa, dimotori oleh Umat Islam, menolak ajang ini, meski dengan tingkatan yang berbeda-beda. Bahkan MUI yang notabene didirikan oleh pemerintah, sudah jelas-jelas mengharamkannya. Tetapi karena kita tidak punya pemimpin yang tegas, atau menurut istilah sebagian kawan -sekarang kondisi kita seperti negeri autopilot-akhirnya kita bertikai sesama anak bangsa. Saya pribadi sebenarnya berharap sodara-sodara di Bali bersikap seperti saat mereka menolak majalah playboy Indonesia, yaitu jangan memindahkan bola panas ke daerah Bali. Jika suatu hal sudah ditolak daerah lain, jangan lalu dipindahkan ke Bali, karena akan berpotensi memecah kesatuan bangsa.
Saudara AKA, mari kita coba hitung-hitungan gelaran MW ini. Anda, dan mereka yang mendukung berpendapat, bahwa gelaran ini akan berdampak pada pertumbuhan pariwisata Bali. Pertanyaan saya, apakah sudah ada studi ataupun data statistik, dengan gelaran MW ini, seberapa besar pengaruhnya terhadap pariwisata Bali? Saya takut ini hanya asumsi saja, ataupun jikan benar berdampak positif, waktunya tidak lama. Yang pasti bagi saya, keuntungan itu  didapat oleh MNC grup sebagai promotor dan penyelenggara, yang mana MNC ini, oleh sebagian kelompok masyarakat diidentifikasi sebagai grup kapitalis yang kadang menghalalkan segala cara. Jika anggapan ini benar, tentu sebuah ironi, kita sebagai anak bangsa disetir oleh kelompok kapitalis. Salah satu ciri kapitalis adalah, mereka pandai melakukan aksi tipu-tipu, seolah-olah berbuat untuk rakyat banyak, padahal sebenarnya mereka hanyalah menumpuk kekayaan sendiri. Mari kita berlindung dari tipudaya kapitalis yang terkutuk.
Saudara AKA, saya ingin berbagi ide, tentang bagaimana seharusnya sebuah bangsa mengelola pariwisata, tanpa kemudian kehilangan identitas dan jatidirinya. Mari kita belajar pada dua Negara, Malaysia dan Emirates (UAE). Kita mulai dengan Malaysia, yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari negeri kita. Tiap tahun, puluhan juta turis asing datang ke negeri ini, dari berbagai belahan dunia. Bahkan di daerah Arab sini, mereka kalau liburan musim panas, yang ada di alam bawah sadarnya, pergi ke Malaysia. Sedikit sekali dari mereka punya pikiran untuk berlibur ke Indonesia. Kalaupun ada yang pengin ke Indonesia, biasanya tujuan mereka ke Puncak, yang kemudian terkenal dengan berbagai imej negatifnya. Saya sendiri karena alasan nasionalisme belum berniat berkunjung ke Malaysia, tetapi saya tahu, pariwisata Malaysia secara umum, masih dibawah kita. Keindahan alam dan keragaman budaya mereka masih dibawah kita. Tetapi bagaimana bisa Malaysia melangkah jauh diatas kita? Tidak lain karena mereka gencar dan konsisten berpromosi, lalu mereka juga berhasil memberikan rasa aman dan nyaman ke seluruh turis asing. Tiga hal ini, promosi-rasa aman dan nyaman-adalah buah dari konsistensi, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Mereka tahu betul, pariwisata erat hubungannya dengan imej dan butuh waktu untuk berproses. Karen itulah, mereka menghindari event-event yang sifatnya instant apalagi sampai mengorbankan jatidiri bangsa.
Lalu kita coba tengok UAE, negeri padang pasir tapi leading dalam hal pariwisata. Bahkan setahu saya, jumlah turis asingnya pertahun melebih Malaysia. Bagaimana UAE mampu menarik wisatawan ke negeri yang panasnya bisa mencapai 50 derajat celcius ini? Tidak beda dengan Malaysia, mereka konsisten berpromosi, menjamin keamanan dan memberi kenyamanan. Lalu satu hal yang membuat UAE lebih baik dari Malaysia, mereka menjual keunikan. Banyak hal yang hanya bisa ditemui di UAE, dan susah/tidak ada di tempat lain. Gedung tertinggi ada disini, pulau buatan berbentuk pohon korma dan peta dunia ada disini, ada juga Ferrari World, objek wisata satu-satunya di Dunia dari sebuah produsen mobil mewah. Gurun pasir yang aslinya gersang dan mematikan, mereka sulap menjadi objek wisata paling berkesan, mulai dari wisata otomotif/offroad hingga menginap di resor bintang lima di tengah gurun. Hal-hal seperti ini yang menarik puluhan juta orang dari berbagai dunia berkunjung ke UAE, meski mereka harus merogoh kocek dalam-dalam. Dan uniknya lagi, pariwisata mereka tidak sampai merubah budaya rakyatnya yang Muslim konservatif. Jangan sekali-kali melakukan hal yang haram seperti mabuk maupun bercinta di depan umum di negeri ini, karena anda bisa langsung dideportasi.
Saudara AKA, anda juga menyinggung tentang Islam rahmatan lil alamin. Perlu saya jelaskan disini, bahwa konsep rahmatan lil alamin berlaku, jika nilai-nilai Islam seperti keadilan, kesetaraan dan ketaatan kepada Tuhan diimplementasikan. Rahmatan lil alamin sama sekali tidak berarti ridho/berdiam diri terhadap sebuah kemaksiatan. Luas sekali tafsir rahmatan lil alamin ini, terlalu panjang jika saya ungkapkan disini. Silahkan anda belajar lebih jauh kepada ulama maupun ahli tafsir tentang hal ini.
Saudara AKA, mungkin saya terlupa tentang alasan menolak gelaran MW ini. Rezim Orde Baru, yang terkenal dengan segala kebobrokannya, itu saja menentang gelaran ini, dengan alasan tidak sesuai dengan budaya bangsa. Demikianlah, meski orde baru adalah lembaran kelam bangsa ini, tetapi setidaknya saat itu kita memiliki pemimpin yang mampu mengambil sikap. Tidak seperti sekarang, yang seperti saya sebutkan diatas, sebagian orang menyebutnya sebagai negeri autopilot. Lalu meski katanya gelaran MW ini tidak ada agenda bikini-ria, tetap saja ide dasarnya salah. Saya yakin, agama manapun, tidak ada yang mengajarkan bahwa kemuliaan wanita itu bergantung fisiknya. Secara umum, kemuliaan seorang manusia, dinilai dari sejauh mana dia memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Mulai dari sifatnya materi seperti menciptakan lapangan kerja, hingga bersifat moral seperti guru mengaji maupun guru bangsa. Sudah banyak contoh hal ini, mulai dari Pahlawan Nasional semacam Cut Nya’ Dhien, hingga tokoh nasional saat ini seperti Rustriningsih dan Risma Harini.
Jika ada kalangan yang beranggapan bahwa FPI begitu ngototnya menolak gelaran MW ini, maka dari sisi sebaliknya saya juga bisa mengatakan, bisa-bisanya ada kelompok yang mati-matian membela gelaran ini. Saking kebablasannya, saya baca di beberapa komentar, ada yang menuduh Ulama MUI sebagai munafik, na’udzubillah. Menuduh balik mereka yang menuduh MUI munafik sebagai munafik sebenarnya, tentu tidak elok. Tetapi melalui tulisan ini, saya ingin mengajak mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada MUI, untuk meluangkan waktu melihat sendiri keseharian para Ulama MUI ini. Selanjutnya silahkan bercermin kepada diri sendiri.
Terakhir, saya juga berkeyakinan Pariwisata Bali cukup kokoh dan tidak rapuh, sehingga gelaran MW ini sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Pariwisata Bali tidak akan mati jika tidak menggelar event ini. Masih banyak potensi unggulan Bali yang menjati jatidiri Bali sebenarnya, yang memilki daya jual tinggi dan menarik turis asing untuk datang berkunjung.
Mari kita membangun bangsa, tanpa mengorbankan aspek etika, moralitas dan integritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H