Jika sembilan dari sepuluh orang temanmu memilih jalur ke kiri dan hanya satu orang yang memilih jalur ke kanan saat tersesat di hutan, kira-kira kamu akan memilih ikut yang mana? Logika sederhananya, kamu akan ikut yang sembilan orang ketimbang yang satu orang! Pertama, sembilan orang lebih meyakinkan daripada satu orang. Kedua, kamu pasti berpikir, jika ada apa-apa di perjalanan nanti, ikut rombongan yang sembilan orang (bersepuluh denganmu) pasti akan lebih aman ketimbang ikut yang satu orang (berdua denganmu). Intinya, kamu akan merasa lebih aman jika ikut rombongan yang banyak ketimbang ikut yang sedikit. Dan ini sama sekali tidak berkaitan dengan pertanyaan yang muncul dari situasi awal, apakah yang sembilan orang itu mengambil jalan yang benar untuk pulang, atau justru yang satu orang itulah yang benar.
Jika kamu pemilih pemula, kemudian di masa kampanye melihat rombongan orang berjumlah sangat banyak menuju ke lapangan A untuk kampanye partai A, sementara hanya segelintir orang saja yang akan menuju lapangan B untuk ikut kampanye partai B, partai mana yang kamu yakini paling bagus? Secara sederhana, kamu akan berpikir bahwa Partai A lebih bagus karena banyak massa yang ikut saat kampanyenya, dan partai B menjadi tidak meyakinkan. Kamu tidak lagi peduli, ketika kampanye itu massa yang banyak melakukan pelanggaran lalu lintas (dan dibiarkan) sementara peserta kampanye partai B yang sedikit sangat tertib dan mentaati peraturan.
Jika ada dua bis di terminal yang menuju tempat tujuanmu pada saat yang bersamaan, yang satu sudah hampir penuh dan satunya lagi hanya diisi satu-dua orang, kamu akan cenderung menaiki bis yang sudah hampir penuh. Kamu akan berpikir bahwa bis yang hampir penuh itu akan segera berangkat, atau, kamu berpikir bahwa bis yang paling banyak penumpangnya itulah yang pelayanannya terbaik dan lebih murah, sementara yang sedikit pasti kamu pikir pelayanannya buruk dan tiketnya mahal.
Itulah kondisi-kondisi psikologis ketika seseorang diajak untuk menentukan pilihan berdasarkan kuantitas pilihan orang lain. Orang cenderung akan ikut memilih berdasarkan pilihan orang lain yang lebih banyak, tanpa berpikir jernih tentang hal lain. Orang cenderung akan berpikir bahwa, yang paling banyak dipilih orang itulah yang paling baik, paling hebat, paling tepat, dan paling aman, bahkan tanpa ada satupun alasan penjelasnya, dan alasan itu juga kadang tidak diperlukan karena kita akan berpikir –orang lain (yang banyak itu) sudah memikirkan alasannya memilih itu, jadi kita tinggal ikut saja, dan itu pasti pilihan yang baik.
Kondisi psikologis inilah yang dimanfaatkan oleh para propagandis –pelaku propaganda, sejak zaman dulu, dan terutama meningkat penggunaannya dalam propaganda perang di PD II. Penelitian Institute Propaganda Analysis (IPA) yang mengidentifikasi teknik propaganda Nazi menemukan teknik ini di antara 7 teknik umum lainnya. Teknik ini kemudian dikenal dengan nama teknik Bandwagon. Konon, penamaan bandwagon merujuk pada kebiasaan orang untuk ikut rombongan band orang-orang gipsy yang biasanya ramai yang menuju sebuah lapangan. Semakin banyak orang yang ikut, semakin kita punya kecenderungan untuk ikut, tanpa bertanya dulu.
Teknik ini kemudian diterapkan dalam kampanye politik kita. Semakin banyak yang ikut kampanye di lapangan –atau menuju lapangan—semakin meyakinkan. Pada akhirnya, lahirlah yang kita kenal sebagai massa bayaran, yang dibayar untuk meramaikan sebuah kampanye agar kampanye partai politik tersebut lebih meyakinkan, untuk menunjukkan bahwa partai tersebut dipilih banyak orang. Atau, dengan sengaja partai yang berkampanye itu menyuguhkan hiburan rakyat (dangdut erotis misalnya)agar orang banyak yang ikut dan menonton, sehingga menimbulkan kesan bahwa partai tersebut banyak pemilihnya. Teknik ini masih dan selalu digunakan dalam berbagai kampanye, baik kampanye politik, kampanye dagang (iklan), kampanye gerakan, dan lain sebagainya. Lihat iklan “Sembilan dari sepuluh wanita Indonesia memilih….” yang jelas menggunakan teknik itu.
Kita tak pernah bertanya atau menanyakan apakah pilihan orang banyak itu benar atau tidak, dan cenderung ikut. Lebih parahnya lagi, kita tidak pernah menyelidiki, apakah ‘pilihan orang banyak’ itu benar-benar sebuah pilihan atau hanya sekadar klaim. Benarkah klaim “Sembilan dari sepuluh wanita” itu hasil penelitian yang valid? Benarkah 90 juta dari 100 juta wanita di Indonesia memilih produk itu? Jelas nggak mungkin. Benarkah massa kampanye yang banyak dari sebuah partai itu menunjukkan bahwa partai itu layak dipilih? Atau massa berkumpul karena ingin nonton dangdutan, atau bahkan massa yang dibayar dan diiming-imingi kaos dan nasi bungkus?
Satu yang diabaikan dalam teknik ini adalah apa yang disebut dengan silent majority, mayoritas yang diam dan tak terlihat. Sembilan dari sepuluh wanita itu –kalau betul hasil survey, kemungkinan hanya dilakukan di kota besar, sementara di wilayah lain, di pelosok? Hanya ribuan orang yang ikut kampanya dan seolah akan memilih partai A, tapi ribuan lainnya yang lebih banyak (yang tinggal di rumah dan malas ikut kampanye) mungkin malah memilih sebaliknya, sebal dengan ulah rombongan kampanye dan akan memilih partai yang lebih santun. Itulah sebabnya, kita akan sering melihat hasil yang berbeda, kok partai A kemarin kampanyenya ramai tapi pas pemilu kalah? Atau, kok bisa partai yang kampanyenya sepi malah jadi pemenang?
Teknik ini misalnya, kemarin digunakan di Bali, dalam demo ‘Bali Tolak Reklamasi’ saat sidang Amdal rencana Revitalisasi Teluk Benoa. Ada ratusan orang yang berdemo, memakai kaos yang seragam, poster yang nyaris seragam, dan yel yang juga nyaris seragam. Jumlah itu, tentu saja tak bisa dibandingkan dengan jumlah orang Bali yang tidak ikut yang tentu saja jauh lebih banyak (silent majority) yang sangat mungkin tidak sependapat dengan mereka. Tapi cara itu bisa bisa diakali untuk konsumsi media, caranya ya tinggal memotret atau menyorot bagian mana yang paling padat kerumunannya, atau dilihat dari atas (pake drone).
Intinya, selalu ada cara untuk mempengaruhi psikologis orang lain dengan cara pengerahan massa untuk menunjukkan jumlah meski jumlah itu tidaklah mewakili jumlah yang sesungguhnya. Segelintir orang mungkin masih bisa dikelabui dengan cara itu, tapi jika pengambil keputusan terpengaruh dengan cara ini, itu namanya kebangetan, mereka kudu belajar lagi soal propaganda. Tapi, saya orang sekarang makin cerdas, cara mereka untuk menjatuhkan pilihan tak lagi dilihat dari soal jumlah orang lain, tapi dari pertimbangan pribadi, logika, akal sehat, dan hati nurani.
Jadi? Nak Bali nawang melah agen Baline! Cara itu sudah basi… hanya bikin berisik, jalanan macet, dan turis menyingkir khawatir…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H