Mohon tunggu...
Politik

Bandwagon dalam Demo BTR

5 Februari 2016   08:51 Diperbarui: 5 Februari 2016   09:10 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tak pernah bertanya atau menanyakan apakah pilihan orang banyak itu benar atau tidak, dan cenderung ikut. Lebih parahnya lagi, kita tidak pernah menyelidiki, apakah ‘pilihan orang banyak’ itu benar-benar sebuah pilihan atau hanya sekadar klaim. Benarkah klaim “Sembilan dari sepuluh wanita” itu hasil penelitian yang valid? Benarkah 90 juta dari 100 juta wanita di Indonesia memilih produk itu? Jelas nggak mungkin. Benarkah massa kampanye yang banyak dari sebuah partai itu menunjukkan bahwa partai itu layak dipilih? Atau massa berkumpul karena ingin nonton dangdutan, atau bahkan massa yang dibayar dan diiming-imingi kaos dan nasi bungkus?

Satu yang diabaikan dalam teknik ini adalah apa yang disebut dengan silent majority, mayoritas yang diam dan tak terlihat. Sembilan dari sepuluh wanita itu –kalau betul hasil survey, kemungkinan hanya dilakukan di kota besar, sementara di wilayah lain, di pelosok? Hanya ribuan orang yang ikut kampanya dan seolah akan memilih partai A, tapi ribuan lainnya yang lebih banyak (yang tinggal di rumah dan malas ikut kampanye) mungkin malah memilih sebaliknya, sebal dengan ulah rombongan kampanye dan akan memilih partai yang lebih santun. Itulah sebabnya, kita akan sering melihat hasil yang berbeda, kok partai A kemarin kampanyenya ramai tapi pas pemilu kalah? Atau, kok bisa partai yang kampanyenya sepi malah jadi pemenang?

Teknik ini misalnya, kemarin digunakan di Bali, dalam demo ‘Bali Tolak Reklamasi’ saat sidang Amdal rencana Revitalisasi Teluk Benoa. Ada ratusan orang yang berdemo, memakai kaos yang seragam, poster yang nyaris seragam, dan yel yang juga nyaris seragam. Jumlah itu, tentu saja tak bisa dibandingkan dengan jumlah orang Bali yang tidak ikut yang tentu saja jauh lebih banyak (silent majority) yang sangat mungkin tidak sependapat dengan mereka. Tapi cara itu bisa bisa diakali untuk konsumsi media, caranya ya tinggal memotret atau menyorot bagian mana yang paling padat kerumunannya, atau dilihat dari atas (pake drone).

Intinya, selalu ada cara untuk mempengaruhi psikologis orang lain dengan cara pengerahan massa untuk menunjukkan jumlah meski jumlah itu tidaklah mewakili jumlah yang sesungguhnya. Segelintir orang mungkin masih bisa dikelabui dengan cara itu, tapi jika pengambil keputusan terpengaruh dengan cara ini, itu namanya kebangetan, mereka kudu belajar lagi soal propaganda. Tapi, saya orang sekarang makin cerdas, cara mereka untuk menjatuhkan pilihan tak lagi dilihat dari soal jumlah orang lain, tapi dari pertimbangan pribadi, logika, akal sehat, dan hati nurani.

Jadi? Nak Bali nawang melah agen Baline! Cara itu sudah basi… hanya bikin berisik, jalanan macet,  dan turis menyingkir khawatir…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun