Entah apa yang dipikirkan para penentang revitalisasi Teluk Benoa yang hingga kini masih bersuara keras menentang. Bisa jadi sebagian besar di antara mereka adalah orang-orang yang tidak paham, dibuat tidak paham, atau hanya sekadar ikut-ikutan tanpa mau berusaha untuk memahami. Para penentang revitalisasi selalu berlindung di balik isu lingkungan, menuduh rencana revitalisasi sebagai sebuah rencana penghancuran lingkungan.
Logika penghancuran lingkungan, seperti yang dituduhkan, haruslah diluruskan. Kata ‘penghancuran’ memiliki arti ‘membuat sesuatu yang baik menjadi rusak atau hancur.’ Dalam kasus Teluk Benoa, istilah ini tidak bisa digunakan. Kawasan Teluk Benoa sudah hancur sebelum rencana ini muncul. Indikasi kehancuran itu sudah jelas dan kasat mata.
Teluk Benoa mengalami pendangkalan parah, sedimentasi sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, tinggal melintas di atas jalan tol Benoa-Bandara pada saat air laut surut, semuanya nampak dengan jelas. Salah satu penyebab utama sedimentasi adalah banyaknya sampah dan limbah yang masuk ke kawasan ini, terutama dari Tukad Mati. Sampah-sampah yang terbawa menumpuk, sebagian tersangkut di akar mangrove dan menghambat pertumbuhannya. Selain itu, sedimentasi membuat terumbu karang mati. Buntutnya, ikan-ikan yang dulu melimpah, tak nampak lagi. Tanyakan saja fakta ini pada para nelayan di sana!
Para penolak revitalisasi selama ini juga hanya berkoar-koar untuk melakukan penolakan tanpa melakukan aksi nyata. Segelintir dari mereka hanya berusaha menyebarkan agitasi, mengumpulkan massa untuk melakukan show of force, unjuk kekuatan bahwa mereka memiliki pendukung. Jika iya mereka adalah pecinta lingkungan, kenapa tidak ada aksi nyata untuk menunjukkannya. Tak ada aksi dari mereka untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan ke Teluk Benoa secara liar. Tak terlihat aksi nyata untuk membersihkan sampah-sampah itu. Tak ada aksi nyata membantu nelayan untuk memecahkan masalah mereka. Tak ada aksi untuk menghentikan pengurukan liar yang dilakukan mulai dari yang sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan. Yang tampak hanya usaha memprovokasi nelayan dan warga yang seperti sengaja dibuat tak paham masalah sebenarnya; sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan adat masyarakat Bali!
Ketika ada investor yang berniat untuk melakukan revitalisasi, yang muncul adalah pikiran kotor serba picik, seolah-olah investor adalah public enemy yang harus dimusnahkan. C’mmon… pariwisata Bali nggak bakalan berkembang seperti sekarang jika mereka nggak masuk. Bayangkan pula kalau mereka jengkel dengan agitasi-agitasi itu lalu ramai-ramai meninggalkan Bali dan memindahkan investasinya ke Malaysia, SIngapura, atau Thailand, siapa yang akan gigit jari? Sementara tiga negara jiran itu terus menarik investor untuk mengembangkan pariwisatanya agar dinamis, Bali akan menjadi destinasi yang stagnan dan lama-lama akan mati. Belajarlah sedikit dari kasus hengkangnya pabrik-pabrik garmen dan apparel olahraga yang tadinya berinvestasi di Indonesia, tapi karena salah urus dan politisasi buruh, mereka memindahkannya ke Thailand, Philipina, dan Vietnam. Kita bukan saja kehilangan devisa, tapi banyak orang yang kemudian kehilangan pekerjaan.
Oke, investor itu bukan malaikat. Dari namanya saja, sudah terlihat niatnya, mencari keuntungan. Tapi apa salahnya mereka? Jika khawatir mereka berlaku semena-mena terhadap Teluk Benoa, dengarkan dulu apa yang mereka inginkan dan rencanakan, suruh pemerintah mengawasi, bila perlu sodorkan kontrak dan siapkan sanksi jika mereka tak memenuhi janjinya. Soal keuntungan, wajar saja jika mereka menginginkannya, namanya juga investor, bukan donatur. Jangan tanyakan keuntungan apa yang akan mereka dapatkan dari investasi itu, tapi tanyakan apa keuntungan yang akan kita dapatkan dari investasi mereka itu. Jika tak ada, barulah protes atau tolak.
Jadi, jika tak mau ada investor yang masuk untuk merevitalisasi Teluk Benoa, ya beraksilah yang nyata untuk menyelamatkannya dengan tangan sendiri. Jangan hanya berpikir dan mengajak untuk menolak tanpa menyodorkan solusi dan aksi nyata. Teluk Benoa sekarang menunggu aksi nyata, bukan retorika dan agitasi tanpa aksi nyata. Teluk Benoa bukan komoditi isu yang bisa dijualbelikan. Teluk Benoa harus diselamatkan. Jika ada pihak yang mau beraksi nyata dengan merevitalisasi sekaligus memberikan keuntungan tambahan, kenapa harus ditolak juga?
Nak Bali nawang melah agen Baline!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H