Pada dasarnya, universitas adalah wadah bagi mahasiswa untuk mengejar gelar sarjana.tetapi selain untuk mengejar gelar sarjana,universitas juga merupakan tempat untuk mengumpulkan berbagai pengalaman serta keahlian bagi mahasiswa.Â
Dalam permasalahan PEMILU, bisa di katakan jika mahasiswa termasuk dalam target para politikus untuk memperoleh suara dukungan. Karena, apabila kita lihat secara sekilas jumlah mahasiswa di Indonesia bisa terbilang cukup banyak. Oleh karena itu banyak politikus yang menginginkan dukungan dari para mahasiswa.
PEMILU memainkan peranan penting dalam demokrasi suatu negara. Dalam konteks contoh di Amerika dimana disana PEMILU merupakan satunya peristiwa penting dalam demokrasi dan PEMILU memberikan kesempatan bagi warga negara untuk memberikan persetujuan mereka untuk diperintah dan meminta pertanggungjawaban perwakilan mereka atas kinerja masa lalu. Penjelasan tersebut juga sangat relevan dalam konteks di Indonesia.Â
Salah satu tahapan yang dilaksanakan adalah kampanye politik. Kampanye secara simbolis menyatukan warga dan pemimpin dalam ritual debat, diskusi, dan dialog empat tahunan. Kampanye menyediakan ruang politik di mana gerakan baru dan kelompok yang dicabut haknya dapat berkembang, mengungkapkan keluhan mereka, dan memobilisasi untuk memilih pemimpin yang melaksanakan kebijakan baru.
Banyak cara yang dilakukan politikus untuk menang saat perebutan kursi pemerintahan,salah satunya adalah dengan cara melakukan kampanye. Kampanye merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan. Walaupun begitu kampanye tidak dapat di lakukan dengan sesuka hati karena telah di atur di dalam Undang-undang.Â
Universitas merupakan target untuk mendapatkan dukungan besar saat PEMILU karena universitas berisikan mahasiswa yang sudah dapat ikut serta untuk memilih saat PEMILU tiba. Dan juga karena mahasiswa merupakan agent di tengah kehidupan masyarakat, yang di harapkan bisa membantu untuk menyebarkan dukungan untuk para politikus tersebut.
Berdasarkan data dari KPU pada tahun 2019, pemilih pemula perlu mendapat perhatian dalam partisipasi politik. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20, pemilih pemula adalah warga Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah dan baru memilih pertama kali pada saat hari pemilihan.Â
Pemilih pemula adalah kelompok yang perlu mendapatkan perhatian karena mereka akan menjadi penerus kepemimpinan bangsa. Dari catatan pelaksanaan PEMILU Indonesia sebelumnya, khususnya pemilihan presiden, partisipasi politik dalam melaksanakan hak pilih mengalami fluktuasi.Â
Pada tahun 2004 jumlah pemilih terdaftar 148.000369 dan jumlah pemilih 124.420.339 (84%), tahun 2009 jumlah pemilih terdaftar 171.265.441 dan jumlah pemilih 121.588.366 (70.9%), tahun 2014 jumlah pemilih terdaftar 185.826.024 dan jumlah pemilih 139.573.927 (75.1%), dan tahun 2019 jumlah pemilih terdaftar 192.828.520 dan jumlah pemilih 158.012.506 (81%). Mahasiswa memiliki kisaran usia yang mencakup kisaran usia para pemilih pemula, khususnya mahasiswa yang berada pada tahun pertama perkuliahan.
Dalam sebuah penafsiran secara sistematis, dikarenakan ketentuan a quo berada dalam Bab 7 yang mengatur kampanye PEMILU dan berada pada bagian keempat yang mengatur tentang larangan dalam kampanye, maka dapat disimpulkan bahwa negara lewat Pasal 280 ayat 1 melarang kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye PEMILU untuk menjadikan universitas sebagai tempat pelaksanaan kampanye PEMILU.Â
Hal ini secara tidak langsung dapat membantah alasan Ketua KPU yang pada intinya menyatakan bahwa larangan dalam Pasal 280 ayat (1) adalah dalam hal penggunaan fasilitas pendidikan, bukan terhadap pelaksanaan kampanye PEMILU. Persoalannya, penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h justru menjelaskan sebaliknya.Â
Dikatakan bahwa tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta PEMILU hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggungjawab tempat pendidikan.Â
Dari sebagian pihak menganggap penjelasan inilah yang kemudian membuka ruang diperbolehkannya universitas menjadi tempat pelaksanaan kampanye sepanjang memenuhi prasyarat tertentu.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, telah secara tegas mengatur bahwa penjelasan hanya dapat memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma.Â
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya membuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bukankah rumusan penjelasan pasal a quo mengandung pengertian yang dilarang oleh undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan? Dengan rumusan yang demikian, saya dapat katakan ada semacam "penyelundupan norma" pada ketentuan yang mengatur hal tersebut. Berangkat dari penafsiran sistematis terhadap pasal a quo dan bersandar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, didapatlah sebuah fakta hukum bahwa secara normatif bahwa saat ini universitas tidak dapat dijadikan sebagai tempat pelaksanaan kampanye PEMILU.
Namun kampanye di ranah pendidikan sangat menarik untuk dilaksanakan secara serius karena merupakan ruang diskusi yang efektif untuk menguji kapasitas dan kapabilitas calon, meski banyak pihak yang khawatir dengan politisasi dan kapitalisasi lembaga pendidikan.Â
Terlepas dari perdebatan tersebut, dari perspektif ranah publik dan komunikasi politik, putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai angin segar bagi perbaikan demokrasi ke depan. Dikatakan demikian, sejak PEMILU hingga PEMILU, komunikasi politik antara masyarakat sebagai pemilih dengan calon pemimpinnya hanya bersifat komunikasi satu arah.
Pasca keluarnya putusan MK, Pasal 280 ayat (1) huruf H UU 7/2017 direvisi. Disebutkan bahwa penyelenggara, peserta, dan tim kampanye PEMILU dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, ada pengecualian untuk fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan.Â
Kampanye di kedua lokasi tersebut diperbolehkan mengingat izin diberikan oleh penanggung jawab tempat tersebut dan hadir tanpa atribut kampanye PEMILU. Yang dimaksud dengan tempat pendidikan adalah gedung dan/atau pekarangan sekolah atau perguruan tinggi. Keputusan ini ditanggapi dengan berbagai cara. Padahal dalam konteks fasilitas pemerintahan sangat rentan terhadap politisasi birokrasi.
Oleh karena itu, Peraturan KPU 15/2023 tentang Kampanye perlu direvisi secara detail, khususnya kampanye di lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah. KPU juga harus bisa menjamin kesetaraan dan keadilan antara satu calon dengan calon lainnya, sehingga tidak ada yang merasa didiskriminasi.Â
Pertanyaan mendasarnya sekarang adalah: Metode kampanye seperti apa yang cocok untuk institusi pendidikan, mengingat banyak sekali metode kampanye yang digunakan dalam PEMILU dan tidak semua metode cocok untuk konteks institusi pendidikan?Â
Terakhir, kampanye di universitas pada dasarnya adalah bentuk lain dari pendidikan politik. Karena pendidikan politik bukan sekedar konsep dan teori yang diajarkan di kelas, Melalui momentum PEMILU 2024, kampanye dan debat publik para kandidat bukan lagi sebuah ruang hampa, namun menjadi ruang untuk menyadari bahwa PEMILU bukan sekedar lima-lima saja. rutin seremonial setahun namun juga menghadirkan demokrasi substantif, sehingga mampu menghadirkan partisipasi nyata masyarakat dan bukan sekedar partisipasi semu.
Dirancang oleh:
Made Novia Maharani (220900073)
Mahasiswi FISIP USNI Tahun 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H