Jika cinta adalah orang maka orang yang aku tunjuk sebagai cintaku adalah kamu. Jika cinta adalah pilihan maka aku akan memilih kamu. Jika cinta adalah penderitaan maka aku akan memilih menderita bersamamu. Muluk memang tapi aku sudah hilang akal untuk mencintaimu.
Lagi-lagi ia hanya tertawa mendengar pernyataan itu dari ku. “Terus saja berceloteh. 40 tahun aku hidup bersama kamu hanya itu yang aku dengar setiap hari. Kau tidak punya pembicaraan yang lain selain kata-kata murahan bahwa kau mencintaku”. Hanya itu yang diucapkannya. Bayangkan! 42 tahun sudah aku menyukainya, menjatuhkan diri ini untuk mencintainya.
“Sekalipun itu murahan maka aku akan tetap mencintaimu” balasku. Setelah itu aku pasti pergi meninggalkannya dengan hati yang mendongkol. Menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri, mengapa bisa aku mencintai orang sepertinya. Namun, sesaat kemudian aku tersenyum. Aku yang gila mengapa aku harus menyalahkannya. Cermin pun sepertinya meluntur melihat aku kemudian tertawa geli sendiri.
“Kamu tau, hingga detik ini ketika kita sudah memiliki dua anak. Aku masih saja gugup jika aku bersama dengan mu. Namun, aku selalu ingin merasakannya. Aku selalu bisa menguasai diriku beberapa saat kemudian. Kamu memang pandai membuat aku salah tingkah”. Ucapku padanya suatu hari sambil mengancing satu per satu bajunya. Pagi-pagi menjelang ia berangkat ke bekerja aku sudah mengutarakan perasaan cintaku padanya. Bayangkan!.
Seperti biasa, gayanya yang sombong membuat kegantengannya hilang dari pandanganku. Ia hanya mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum mengejek kepada ku. Seolah dalam hatinya berkata, “Apa yang sedang diomongkan wanita ini. membuatku ingin muak saja”.
Namun, aku tetap saja mengakui kegantengannya. Peduli amat jika sahabat-sahabat ku dulu selalu mempertanyakan mengapa aku mengatakan bahwa dia ganteng. Itu kan menurut kalian, menurutku dia yang terganteng paling ergghhh sebagai cowok menurut ku.
Tika, Maul, dan Resty hanya mampu menelan apa yang sedang mereka minum. Mau mereka tersedak sekalipun tidak akan merubah pandanganku terhadap laki-laki ini.
“Ehhmm mungkin ya, yang ganteng dari dia banyak. Yang lebih pintar yang lebih pandai banyak tapi bagiku dia yang nomor satu sudah. Titik”. Dinding kantor ini menjadi saksi kisah-kisahku selama masa-masa mengejar laki-laki itu.
“Kali ini, dia laki-laki beruntung dan akan aku perjuangkan untuk pertama dan terakhir kalinya. Entah apa yang terjadi jika kali ini pun sama nasibnya dengan laki-laki sebelumnya yang aku abaikan bahkan ketika aku menyukainya hanya karena gengsiku yang begitu tinggi untuk turut berjuang dalam cinta”. Aku berdeklarasi kepada sahabat-sahabat ku mengenai laki-laki itu.
Berulang kali Tika menanyakan hal ini kepada ku, “Kamu yakin????”. Dia mungkin takut aku akan sakit seperti sebelumnya. Beberapa kali aku dekat dengan laki-laki, aku menyukai mereka dan mereka juga menyukaiku. Tapi aku tidak benar-benar bisa memperjuangkan mereka. Sakitku selalu muncul jika berhadapan dengan laki-laki yang aku sukai. Aku pasti akan menampilkan sikap dan perkataan bawah aku tidak menyukainya. Sikap sebaliknya. Bayangkan! Bagaimana bisa seperti itu. Berulangkali itulah aku mendapati kegagalan dalam percintaanku dimana laki-laki itu mungkin lelah untuk memperjuangkanku dan memilih menjalin cinta dengan perempuan lain.
“Kali ini aku yakin. Aku juga yakin sebenarnya ia menyukaiku. Kali ini pasti akan aku perjuangkan”.
“Lantas bagaimana caranya?”, Tika menanyakannya kepada ku.
“Tinggal aku nyatakan saja”. Pikirku memang aku bisa? Hahahah biarkan saja semuanya berjalan.
Nyatanya, kini aku telah bersama dengan laki-laki yang aku perjuangkan tersebut. Sebenarnya aku tidak sugguh-sungguh dalam menyatakan perasaanku pada laki-laki ini. Hanya momentum yang aku manfaatkan.
“Lani, kamu punya mimpi apa?”, Tanya laki-laki itu padaku.
Seperti telah menghapal skrip yang diberikan, serta merta mulutku berucap. “Kamu. Aku kemudian tertawa. Iya. Kamu. Mimpi ku adalah jadi istri kamu dan mendukung semua karir mu saat ini, esok, dan akan datang. Ya aku sih terserah, kalau kamu mau juga aku akan pertimbangkan untuk mengiyakan kamu”.
“Baiklah akan aku pertimbangkan”. Hanya itu yang kemudian dia ucapkan. Berjalan melaju di depanku. Pada saat setelah itu justru aku yang terpaku di belakang menatap langkahnya. Laki-laki ini begitu menyebalkan. Benarkah aku mencintainya. Entahlah. Setauku, otakku hanya diisi olehnya.
Setahun kemudian, ia benar datang untukku. Melamarku dengan kata yang teramat singkat. “Aku sudah mempertimbangkan, sepertinya tawaran kamu dulu aku terima. Ayo kita menikah.”
Nafasku menyempit pada saat itu. Mulut ku membulat. “Si… si…siapa yang menawarkan apa kepadamu, hah?”.
Iya kemudian tersenyum, “Sudahlah, iyakan saja. Kamu mencintaiku bukan?”, Lirikannya yang membuatku meleleh.
“Hahaha iya”, ucapku. Cintaku kepadanya seperti permen dengan empat rasa. Mencinta, mendongkol, membenci, dan merindukan. Namun, tetap saja permen ini yang aku pilih dan ku emut setiap saat.
Bersama dengannya meski menyebalkan aku tetap akan memilih hidup bersamanya. Bersamanya meski susah aku akan tetap memilih bersamanya. Dia tidak perlu berucap apa-apa aku tahu bahwa ia mencintaiku juga. Dia meski tidak pernah mengungkap cinta untuk ku aku merasakan cintanya setiap saat.
“Lani, kamu tau aku melanjutkan hidup untuk apa?” Katanya kepadaku. Aku menggeleng.
“Mewujudkan semua mimpi-mimpi yang kamu titipkan untukku. Sejak awal. Aku hanya ingin menjadi yang kamu inginkan. Aku menjadi apapun yang kamu inginkan”.
Aku heran. Hatiku bertanya, benarkah itu?
“Kamu adalah perempuan pertama yang aku temui yang hanya mencintai dirimu sendiri. Melakukan apapun hanya untuk dirimu sendiri. Tidak untuk siapapun. Kamu terlalu tidak peduli dengan tanggapan orang lain, bahkan aku yakin kamu tidak pernah benar-benar mendengarkan apa yang lingkungan bilang mengenai kamu”.
“Untuk pertama aku tahu bahwa kamu tidak menyukai laki-laki yang menjambu dengan rayuan dan rayuan. Sejak itulah aku bersikap demikian kepadamu. Itulah cinta pertama yang aku berikan untukmu”.
“Aku pikir ini bisa jadi saat terakhir aku dapat mengutarakan ini kepadamu. Sebab sakit ini telah memuncak hingga dadaku. Aku mencintaimu jauh sebelum kamu mencintaiku”.
Aku mencintamu jauh sebelum kamu mencintaiku. Kata kata itu selalu terngiang hingga kini lebih dari 10 tahun aku ditinggalkannya di dunia ini.
Laki-laki itu meski penuh dengan kerutan di wajahnya. Ia tetap laki-laki terganteng yang ada dihidupku. Laki-laki yang mampu memompa adrenalinku. Laki-laki yang mampu membuatku terjaga memikirkannya meski ia berbaring memelukku, seranjang denganku. Aku merasa beruntung tidak seperti wanita lainnya, meski diakhir hidupnya baru aku dengar dari mulutnya sendiri bahwa ia mencintaiku, selama ini aku tidak pernah mengeluhkan masalah ini seperti wanita lain pada umumnya.
Aku utarakan cintaku kepadanya setiap hari. Seperti kucing yang menggesek-gesekkan tubuhnya ke kaki majikannya agar mendapatkan perhatian, agar kemudian digendong dan dikecup. Seperti embun yang setiap setiap pagi mengawal pagi. Aku tidak pernah lelah mengutarakan cintaku dan perasaanku kepadanya. Rupanya ini terjadi karena dia juga tidak pernah berhenti mengisi jiwaku dengan cintanya. Dengan caranya sendiri.
Aku rela dan sangat rela engkau pergi mendahului ku di dunia ini. Engkau laki-laki yang menjadi alasanku mencintai kematianku. Aku selalu menunggu untuk dapat dipertemukan kembali denganmu dikehidupan setelah kematian. Saat ini, kepada nisan mu aku ucapkan bahwa aku masih mencintaimu.
Madelina Ariani,
Yogyakarta 3 April 2015
17.48 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H