Mohon tunggu...
Madelina Ariani
Madelina Ariani Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan kelahiran Banjarmasin 21 tahun silam dan tertarik pada kegiatan sosial, kesehatan, dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dilema Homo

1 April 2015   04:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendung pagi itu pertanda kebahagiaan atau suatu dukakah bagi pernikahanku selanjutnya? Mendung yang mewakili perasaanku mereka katakan sebagai pertanda kebahagiaan bahwa alam pun turut bersuka cita karena perawannya akan segera dipersunting. Semoga saja demikian, aku hanya menelan ludah. Mendengarnya hatiku dituruni hujan, sedang mataku tak lepas menatap langit mendung di luar jandela. Akhirnya mendung benar-benar mengeluarkan airnya.

Setahun setelah akad nikah pagi itu, aku dan suami yang diberikan oleh orang tuaku secara paksa padaku, memutuskan untuk berpindah rumah dari kediaman orang tuanya. Itu merupakan kabar bahagia bagiku sebab aku tak harus berpura-pura lagi mencintai suamiku dihadapan mertuaku. Ya... cinta yang hakiki adalah cinta yang tidak pernah dipaksakan sebenarnya. Namun, cinta hakikiku telah dibeli orang tuanya dari orang tuaku. Seberapa harganya aku tak pernah peduli.

Suamiku sangat lemah lembut kepadaku. Ia merupakan sosok suami yang pekerja dan bertanggungjawab. Namun, entah mengapa hubungan yang lebih dalam lagi tak pernah bisa kami penuhi. Cinta memerlukan keikhlasan dan aku tak pernah ikhlas untuk ia nikahi. Ia pun demikian tak pernah menghendaki adanya pernikahan ini. Namun begitu ia terlihat sangat menerima pernikahan ini, ia sabar menghadapi sikap-sikap kasarku padanya, dan ia pun sangat memperhatikan hidupku. Sering ia katakan bahwa aku adalah penyelamat hidupannya. Sedikit pun aku tak tersanjung mendengarnya.Penyelamat untuk apa? Bagiku penyelamat akan selalu ikhlas datang dan menyelamatkan orang yang membutuhakannya. Sedangkan aku, aku dibeli untuk menyelamatkannya. Menyelamatkan untuk apapun aku tidak pernah tahu.

Meski bagaimanapun berdurinya sikapku padanya, ia tak permah sedikitpun mengurangi kelemah lembutannya padaku tapi semakin ia begitu aku semakin menjauh dari mencintainya. Perjalanan cintaku tak berlabuh padanya. Diterombang-ambingnya kapal kehidupannku akhirnya aku menemukan juga sebuah dermaga, tempatku melabuhkan kapal cintaku. Dermaga yang membuat kurela untuk menurunkan dan menghabiskan seluruh isi kapalku padanya. Dermaga yang indah dan sempurna. Dermaga impianku. Dermaga yang menggilakanku. Dermaga yang mampu menghadiahkanku kapal kecil yang lucu, buah kerelaanku menumpahkan seluruh yang kupunya padanya.

Aku tidak hanya menjadi duri tapi aku adalah duri yang berbisa. Kapal kecil yang lucu yang dihadiahkan dermaga cintaku itu kukatakan pada suamiku adalah buah pernikahan kami selama ini. Begitu sumingrah ia mendengarnya. Sampai tak habis pikirku di buatnya, ia laki-laki polos atau bodohkah sebenarnya? atau dia memang laki-laki berhati salju? Begitu percayanya ia padaku dan sekali lagi ia berkata bahwa aku benar-benar penyelamat hidupnya. Aku diam mendengarnya. Sebenarnya ketika itu hatiku dijatuhi setetes embun. Aku kasihan padanya tapi semakin aku mencoba berjalan di tengah dan melepaskan diriku dari dermaga cinta terlarangku, ia tetap tak bisa membuat kapal cintaku berlabuh di dermaganya. Suamiku hanya dermaga peristirahatan sementaraku melepas lelah setelah letih melakukan pelayaran ke dermaga cinta terlarangku.

Aku semakin tersiksa ketika tidak bisa lagi memaksakan diri untuk mencoba mencintainya. Aku ingin lepas, ku hanya ingin berlabuh di dermaga cinta terlarangku saja. Namun, ketika terlalu lama aku berlabuh di dermaga cinta terlarangku ia selalu mengingatkkan dan menyuruhku pulang padanya. Ia tidak pernah gusar atau pun senang. Ia hanya diam dan terkadang tersenyum padaku. Aku mengasihaninya tapi mangapa ia tak pernah berusaha menahanku ketika aku ingin kembali berlayar ke dermaga cinta terlarangku? aku terombang-ambing dikedua dermaga ini. Satu pun tak ada yang mau melepaskan tali gulungannya dariku.

Aku lelah berlabuh dan berlabuh selalu di kedua dermaga ini. Bahkan suamiku sekarang tidak lagi bersikap lemah lembut padaku. Aku kosong di hadapanya, ia hanya menyayangi kapal kecil lucu yang kubawa pulang itu sebagai anaknya, ya... seperti anak kandungnya. Sikapnya yang berubabah membuatku curiga apakah ia mengetahui  dermaga lain selainnya yang kusinggahi. Ah... tapi itu tidak mungkin, aku terlalu cerdik mengatur rute perjalananku sampai ia mengetahuinya.  Aku menikmati kehidupanku yang menyalahi arus. Aku menjadi sombong hingga tak menyadari bahwa perjalananku selama ini telah ada yang mengaturnya dengan sengaja. Sebuah kecerdikan yang tak terpikir olehku. Aku terpedaya.

” Terimakasih kau telah membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin dan terimaksih kau telah menghadiahkan itu kepada kami. Kami akan pergi darimu. Semoga kau cepat memafkan kami.” suamiku berucap sangat lembut di hadapanku. Tangan suamiku dengan erat menggandeng mesra lengan dermaga cinta terlarangku. lalu mereka bersama-sama mencium kedua pipi kapal kecilku yang lucu.

Mulutku tiba-tiba terjahit mendengar dan melihat adegan ini. Aku tak kuasa memisahkan mereka, mereka seperti magnet dengan kedua kutub yang berbeda. Mataku tidak mengeluarkan air setetes pun meski akar berduri ini menembus dengan kasar segenap sudut hatiku. Aku mengering. Di luar sana guntur bergantian menertawakanku.

Dari balik pintu ku tatapi dermaga cinta terlarangku menciumi wajah suamiku sambil menggendong kapal kecilku yang lucu yang dulu ia hadiahkan padaku. Hingga mereka menghilang sebagai bayangan kelurga yang bahagia, aku masih mengering membiarkan guntur terus menertawakanku.

Ku akui kini. Aku memang penyelamat hidupmu. Ucapku dalam hati. Aku terus mengering sedang mendung diluar sana sama seperti mendung di hari pernikahannku dulu. Mendung kini benar-benar berair.

Madelina Ariani.30.04.08 (00.40 wita)

Banjarmasin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun