Kepercayaan dalam suatu hal merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa disadari, manusia membutuhkan kepercayaan dalam hidup dan akan mengejar kedamaian dalam beriman terhadap sesuatu. Manusia merupakan makhluk sosial yang perlu membangun relasi dengan sesuatu, tidak harus berupa manusia. Salah satu cara manusia membangun relasi tersebut adalah dengan menciptakan agama. Keberadaan agama membuat kami percaya akan adanya Tuhan, mendekatkan hati dan jiwa kami kepada Tuhan, dan membangun hubungan yang kuat dengan-Nya.Â
Agama juga dapat menjadi asal usul terbentuknya hubungan dalam bentuk komunitas, contohnya gereja mula-mula yang dijelaskan di Kisah Para Rasul 2:41-47. Jemaat gereja mula-mula mempelajari pengajaran rasul-rasul dengan tekun dan mengadakan persekutuan secara rutin dimana mereka makan bersama, berdoa bersama, serta berbagi kepunyaan dengan gembira dan tulus. Kasus jemaat di gereja mula-mula ini dapat menjelaskan tentang bagaimana suatu kepercayaan bisa menumbuhkan suatu hubungan yang membahagiakan suatu individu serta sesamanya dan juga memenuhi kebutuhan sosial manusia. Akan tetapi, terdapat kepercayaan kristiani saja atau tidak? Apakah kepercayaan kristiani saja yang dapat menimbulkan kebahagiaan dan kedamaian?Â
Terdapat berbagai macam agama yang dihasilkan dari kepercayaan-kepercayaan manusia di seluruh dunia, tetapi negara Indonesia hanya mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Indonesia adalah negara kebangsaan yang berketuhanan karena Pancasila dengan sila pertama yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah dasar negara kami (Ika, 2018). Maka dari itu, Indonesia mewajibkan warganya untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh negara. Akan tetapi, Indonesia tidak selalu memiliki peraturan seperti ini karena kepercayaan yang ada di Indonesia pada masa praaksara berbeda dengan kepercayaan yang ada di Indonesia pada masa kini.Â
Masa praaksara dimulai dengan zaman Paleolithikum yang juga dikenal sebagai zaman batu tua. Pada zaman Paleolithikum, belum ada kepercayaan yang dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh sifat manusia purba yang dikatakan primitif. Kegiatan utama mereka hanya berburu dan berpindah tempat (nomaden) secara berkelompok, sehingga hal-hal lain yang terjadi dalam kehidupan mereka tidak diprioritaskan. Manusia purba di zaman itu hanya fokus dalam melakukan aktivitas fisik untuk bertahan hidup. Sebagian besar dari zaman Paleolithikum dipenuhi dengan berburu dan berpindah tempat, tetapi pada masa transisi dari zaman Paleolithikum menuju zaman Mesolithikum manusia mulai terbuka dengan kepercayaan karena otak manusia melakukan aktivitas bias kognitif yang memungkinkan kita menerima konsep kepercayaan dan agama walaupun berlawanan dengan intuisi (Peoples, 2016).Â
Manusia pertama kenal dengan pandangan animisme, shamanisme, dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki roh, baik manusia (termasuk yang sudah meninggal), hewan, perairan, batuan, gunung, cuaca, dan lain-lain sehingga manusia memilih untuk menyembah roh (Waldrep, 2018). Animisme membuat manusia percaya segala peristiwa alam terjadi karena roh-roh yang ada, contohnya cuacanya akan indah jika rohnya merasa dihormati tetapi hujan badai akan terjadi jika rohnya merasa tersinggung atau terancam. Manusia pada masa transisi zaman Paleolithikum ke zaman Mesolithikum percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Oleh sebab itu, mereka memastikan agar mereka tetap dihormati bahkan setelah mereka meninggal. Shamanisme adalah ritual berbicara dengan roh-roh di alam yang berbeda untuk mendapatkan informasi yang dipakai untuk menyembuhkan manusia dari penyakit. Manusia yang menganut kepercayaan dinamisme percaya bahwa benda-benda bisa memiliki kekuatan gaib.Â
Zaman Mesolithikum atau zaman batu tengah ditandai dengan adanya percampuran antarkelompok, yaitu ketika manusia purba dalam kelompok Proto Melayu dan kelompok Deutero Melayu berlayar dan bertemu di Indonesia. Kelompok Proto dan Deutero mengalami akulturasi (pertukaran budaya), salah satu budaya yang diaplikasikan adalah budaya bertempat tinggal atau menetap (Setiawan, 2019). Manusia purba di zaman Mesolithikum hidup secara semi-menetap di mana mereka berbagi tugas, sebagian pergi mencari makan dan sebagiannya lagi tinggal di gua. Tidak semua manusia di zaman itu sibuk dengan kegiatan mencari makan, sehingga manusia bisa memiliki waktu untuk mengembangkan animisme, shamanisme, dan dinamisme. Walaupun manusia pada zaman Mesolithikum sudah mulai terbiasa dengan kepercayaan, tidak ada aturan atau undang-undang apapun yang mewajibkan setiap manusia untuk menganut suatu kepercayaan.Â
Zaman Mesolithikum diikuti oleh zaman Neolithikum atau zaman batu muda yang ciri utamanya adalah mulai dikembangkan teknik bercocok tanam awal. Animisme, dinamisme, dan kepercayaannya lainnya masih tetap ada, hanya saja tidak menjadi fokus manusia di zaman tersebut. Pada zaman Neolithikum, manusia fokus dalam mengembangkan teknologi yang baru seperti teknik bercocok tanam karena teknik tersebut merupakan cara mendapatkan makanan yang lebih mudah dibandingkan berburu. Selain itu, manusia juga meninggalkan gua dan mulai membangun rumah awal. Manusia disibukkan dengan kegiatan perkembangan teknologi yang menyebabkan mereka untuk tidak terlalu mengembangkan kepercayaan mereka.Â
Setelah zaman Neolithikum, masuklah manusia ke dalam zaman Megalithikum, dengan nama lain zaman batu besar. Pada zaman ini, kepercayaan animisme lebih berkembang dibandingkan dinamisme karena manusia pada saat itu sudah memahami bahwa ada kehidupan di alam lain setelah manusia mati di dunia ini. Kepercayaan akan adanya dunia akhirat membuat manusia percaya bahwa roh seseorang yang sudah meninggal akan selalu mengawasi manusia di bumi. Karena itu, manusia sangat menghormati roh nenek moyang agar roh nenek moyang melindungi mereka dari bahaya penyakit, binatang buas, dan serangan kelompok lain.Â
Sikap hormat diwujudkan lewat ritual upacara penguburan. Di dalam upacara penguburannya, jenazah akan dibekali dengan bekal kubur yang berisi perhiasan, peralatan sehari-hari, dan sebagainya agar perjalanan roh orang meninggal menuju dunia akhirat berjalan dengan baik (Gunawan, 2017). Upacara penguburan akan dilanjutkan dengan upacara pesta yang dimana manusia  mendirikan bangunan suci seperti susunan batu-batu yang besar untuk membahagiakan roh nenek moyang mereka. Batu-batu yang besar seperti dolmen, menhir, punden berundak, dan sarkofagus menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang bersikap baik terhadap sesama di sepanjang kehidupannya. Bangunan suci yang didirikan untuk orang yang meninggal berbeda-beda karena status sosial orang-orang berbeda, orang yang status sosialnya lebih tinggi akan mendapatkan bangunan suci yang dibuat menggunakan tenaga yang besar seperti sarkofagus.Â
Zaman yang terakhir dalam masa praaksara adalah Zaman Perunggu. Zaman ini dinamakan Zaman Perunggu karena manusia mulai bereksperimen dengan bijih logam, khususnya tembaga dan timah putih yang dicampur menjadi perunggu (Maarif, 2022). Perunggu pada masa itu digunakan untuk membuat peralatan pertanian, bercocok tanam, upacara, dan berburu. Manusia di Zaman Perunggu juga mulai memahami perdagangan barter (pertukaran barang) dan sistem spesialisasi kerja (melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian). Manusia pada zaman ini tetap mempraktekkan animisme dan dinamisme, tetapi mereka tidak mengembangkannya karena mereka lebih dalam memanfaatkan perunggu.Â
Manusia terus mengembangkan kepercayaan bahkan setelah manusia melewati masa praaksara dan masuk ke masa dimana manusia sudah mengenal tulisan. Manusia mulai mengembangkan kepercayaan totemisme yang meyakini bahwa hewan dan tumbuhan memiliki kekuatan ilahi, sehingga manusia melarang pembunuhan hewan dan tumbuhan yang dianggap keramat. Muncul juga kepercayaan politeisme dan monoteisme karena manusia mulai bertanya tentang pribadi yang memberikan kehidupan dan kematian kepada manusia, hewan, dan tumbuhan, menciptakan benda-benda angkasa, dan seterusnya (Kresnoadi, 2017). Manusia mencapai kesimpulan bahwa ada kekuatan yang dahsyat, tidak terbatas dan tidak bisa ditandingi oleh manusia. Manusia yang menganut kepercayaan politeisme percaya bahwa ada sejumlah tuhan yang terlibat dalam penciptaan dunia, contohnya agama Hindu (politeisme lemah) dan Buddha (transpoliteisme) yang cara masuknya ke Indonesia dijelaskan lewat teori Brahmana, Ksatria, Waisya, Arus-Balik (Hadi, 2021). Kalau manusia yang menganut kepercayaan monoteisme percaya bahwa hanya ada satu tuhan yang berkuasa, seperti agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik yang masuk ke Indonesia lewat orang Portugis yang memiliki motto gold, glory, gospel. Islam juga merupakan agama monoteisme yang persebarannya dijelaskan dalam teori Arab, Persia, Cina, dan Gujarat (Efendi, 2021).Â