Anemia masih menjadi masalah gizi yang banyak terjadi di seluruh dunia.
Anemia diperkirakan terjadi pada 30% populasi dunia, terutama di negara berkembang (WHO, 2011).
Masalah anemia bisa menjangkit pada siapa saja dan tidak kenal gender maupun usia, namun anemia biasanya banyak terjadi pada ibu hamil dan remaja putri. Hal ini dikarenakan wanita memiliki risiko paling tinggi akibat kondisi tubuh seperti menstruasi. Akan tetapi, remaja putri memang yang paling krusial dalam masalah anemia.
Dari data Riskesdas pada tahun 2013-2018, anemia pada remaja putri justru mengalami peningkatan dari 37,1% menjadi 48,9%, dan hal ini terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun serta 25-34 tahun. Lalu, mengapa anemia pada remaja merupakan masalah yang harus diatasi?
Pertama, remaja putri (10-19 tahun) merupakan salah satu kelompok yang rawan mengalami anemia. Padahal mereka merupakan generasi masa depan bangsa yang nantinya akan menentukan generasi berikutnya.
Kedua, anemia bisa berpengaruh pada status gizi dan status kesehatan remaja putri. Padahal, status gizi remaja putri atau pranikah memiliki kontribusi besar pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran, apabila remaja putri menjadi ibu nantinya.
Ketiga, ketika seorang ibu mengalami masalah anemia lalu tidak teratasi, maka hal ini akan berpengaruh pada keselamatan dan juga kesehatan bayi yang dilahirkannya. Bayi yang terkena anemia akan terganggu tumbuh kembangnya, dan hal ini akan menjadi lingkaran setan apabila bayi tersebut adalah seorang perempuan yang ketika tumbuh dewasa menjadi tidak produktif, lalu menikah, hamil, dan melahirkan anak dengan kondisi anemia yang sama.
Lalu, bagaimana caranya memutus lingkaran setan tersebut?
Hal yang pertama kali harus kita lakukan adalah memastikan remaja putri memiliki akses untuk kesehatan.
Pemerintah sejak tahun 1997 bahkan telah menyadari untuk melakukan intervensi pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) dengan sasaran wanita usia subur (WUS) dan remaja putri. Hal ini dikarenakan intervensi yang dilakukan pada saat hamil tidak dapat mengatasi masalah anemia secara menyeluruh.
Program penanggulangan anemia gizi besi pada WUS termasuk remaja putri bertujuan untuk mempersiapkan kondisi fisik wanita sebelum hamil agar siap menjadi ibu yang sehat, dan pada waktu hamil tidak menderita anemia. Program penanggulangan anemia gizi pada WUS ini bertujuan untuk mendukung upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) (Depkes, 2003; Bappenas, 2012).
Program pemerintah yang lain dalam mendukung penanggulangan anemia remaja putri adalah Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) dengan sasaran anak sekolah (SMP dan SMA) melalui pemberian tablet tambah darah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi remaja putri, mencegah anemia, serta meningkatkan cadangan zat besi di dalam darah.
Jadi, masalah anemia memang bukan hanya tentang tubuh yang lemas saja, karena itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak dampak negatif yang diakibatkan oleh anemia.
Sumber Pustaka
Kementrian Kesehatan (Kemenkes). (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan (Kemenkes). (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan (Depkes) RI. (2003). Buku Program Penanggulangan Anemia Gizi pada wanita Usia Subur (WUS). Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2012). Kerangka Kebijakan: Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta (ID) Bappenas.
World Health Organization (WHO). (2011). Weekly Iron And Folic Acid Supplementation Programmes For Women Of Reproductive Age. An Analysis Of Best Programme Practices. Geneva (CH), World Health Organization.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H