Mohon tunggu...
Madinatul Munawwaroh
Madinatul Munawwaroh Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli gizi yang menulis

Sedang berlatih menyampaikan hal-hal yang menarik minat melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Weight Stigma dan Sikap yang Harus Dilakukan sebagai Ahli Gizi

12 Desember 2020   14:12 Diperbarui: 12 Desember 2020   14:22 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah restoran makanan cepat saji, seorang perempuan baru datang dari arah pintu menuju kasir, di sana ia memilih paket ayam goreng dan minuman bersoda.

Di meja lain, dua orang perempuan tak hentinya melihat ke arah perempuan yang sedang memesan itu.

"Eh, liat tuh orang disana, udah gendut, dia masih aja makan fast food," kata salah seorang.

"Iya tuh, apa dia gak takut badannya tambah gendut, ya? Kalo kita-kita yang kurus gini kan gapapa sekali-kali," sahut seorang yang lain.

Pernah menemui kejadian serupa di kehidupan sehari-hari?

Bahkan, tanpa diucapkan dengan lisan, dalam hati pun kita semua pasti pernah berpikiran bahwa orang menjadi gemuk dikarenakan ia selalu mengonsumsi makanan yang tidak sehat dan berlemak, atau anggapan lainnya bahwa orang kurus pasti kurang makan.

Tanpa sadar, ternyata kita semua pernah melakukan diskriminasi kepada orang lain berdasarkan berat badan. Hal ini disebut weight stigma.

Seperti yang dituliskan di awal, weight stigma tidak hanya menimpa kepada orang-orang bertubuh gemuk, namun mereka yang bertubuh lebih besar memang cenderung lebih banyak menerima stereotype dan diskriminasi semacam ini.

Weight stigma yang berkembang di masyarakat akan menimbulkan dampak fisik dan psikologis, seperti gangguan makan, lack of confidence, bahkan depresi.

Sampai di sini, kita semua sepakat bahwa stereotype dan diskriminasi apapun. Baik itu didasarkan atas berat badan, bentuk tubuh, gender, usia, ras, agama, dan lainnya tidak dapat dibenarkan.

Lalu, bagaimana sikap kita sebagai ahli gizi dan tenaga kesehatan lain, misalnya dalam memberikan konsultasi dan konseling kesehatan kepada orang-orang bertubuh gemuk?

Kita menafsirkan orang yang bertubuh gemuk adalah orang yang malas, suka makan secara berlebihan, bodoh, tidak menjaga kebersihan, dan banyak lagi. Kenapa kita memberikan label kepada orang lain berdasarkan bentuk badannya?

Sebagai orang-orang yang mempelajari ilmu gizi, kita mengenal berat badan ideal, indeks massa tubuh (IMT), kita selalu diajarkan bahwa orang bertubuh gemuk harus melakukan diet yang tepat agar mencapai IMT normal. Tapi kita tidak pernah diajarkan bagaimana caranya menangani klien/pasien tanpa melakukan tindakan atau ucapan yang menjurus pada weight stigma, padahal ahli gizi dan orang-orang yang berkecimpung di dunia kesehatan lebih rentan melakukan weight stigma, sadar atau tidak.

Solusi terbaik tetaplah belajar.

Sebagai ahli gizi tentu kita juga dibekali dengan ilmu komunikasi, dan ketika melakukan konseling gizi, sebisa mungkin menggali banyak informasi dari klien/pasien. Apakah memang orang tersebut memiliki tubuh gemuk karena pola makan, kurang aktivitas fisik, atau memang karena genetik dan memiliki riwayat penyakit lain yang membuat tubuhnya menjadi gemuk?

Tidak lupa, biarkan klien/pasien mengetahui apa akar masalahnya dan berikan solusi berdasarkan masalah tersebut. Jangan pukul rata semua klien/pasien dan menyarankan untuk makan lebih sedikit serta memperbanyak olahraga, karena bisa jadi akar masalahnya ada di hal lain dan perlu penanganan dari dokter ahli. Misalnya klien/pasien memiliki riwayat penyakit sindrom ovarium polikistik/PCOS (gangguan hormonal yang menyebabkan pembesaran ovarium dengan kista kecil di tepi luar), lipedema (gangguan yang menyebabkan simpanan lemak berada dalam satu atau beberapa titik tubuh tertentu), atau hipotiroidisme (kekurangan hormon tiroid) yang memang menyebabkan tubuh menjadi gemuk.

Ahli gizi harus menghindari menyalahkan klien/pasien karena pola hidupnya, justru berikan empati dan berikan pesan yang menitikberatkan pada kesehatan.

Dan tentunya, kita harus memberikan edukasi secara luas kepada masyarakat tentang stigma dan diskriminasi, serta memberikan edukasi kepada para tenaga kesehatan bagaimana caranya memberikan pesan kesehatan tanpa menyinggung baik itu individu maupun kelompok.

Pada akhirnya, kita semua harus ingat untuk tetap memanusiakan manusia.

Sumber Referensi:

National Eating Disorders Organization. 2018. Weight Stigma. [Online]. Tersedia: https://www.nationaleatingdisorders.org/weight-stigma. [10 Desember 2020].

Tomiyama, A., Carr, D., Granberg, E. et al. 2018. How and Why Weight Stigma Drives The Obesity 'Epidemic' and Harms Health. BMC Med 16, 123. https://doi.org/10.1186/s12916-018-1116-5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun