Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 2)
Tiga kali gagal seleksi beasiswa. Baru tiga kali, hiburku. Di luar sana bahkan ada yang baru berhasil pada percobaan kesekian belas atau kesekian puluh. Sembari menunggu pengumuman beasiswa keempat yaitu Beasiswa Prestasi Talenta / BPT (saat ini diubah menjadi Beasiswa Indonesia Maju / BIM), aku mendapat panggilan mengajar dari sekolah di dekat rumah. Kupenuhi panggilan itu.
Lepas sebulan mengajar, suatu keganjilan terjadi. Ayah yang biasanya menyempatkan menelepon setiap hari, tiba-tiba tidak menghubungi sama sekali. Hingga malam datang. Ini tidak wajar. "Coba telepon teman kantornya," kataku kepada Ibu. Ketika itu Ibu sedang tinggal bersamaku, berlainan pulau dengan Ayah. LDR, kata anak zaman sekarang. Ibu pun meminta teman kantor Ayah untuk menengok ke rumah.
Benar saja, situasinya gawat. Teman kantor Ayah menghubungi kami dengan mode panggilan video, memperlihatkan Ayah yang sedang tertawa sendiri, linglung, bicara tidak nyambung, juga tidak jelas. Obat yang seharusnya diminum rutin oleh Ayah sempat terputus selama 2 minggu. Memang Ayah didiagnosis gangguan psikis sejak lama, dan yang kami tidak pernah tahu, begini akibatnya jika putus obat tiba-tiba tanpa petunjuk dokter. Ibu pun langsung menuju tempat Ayah esok hari. Karena sudah larut malam, tidak memungkinkan berangkat saat itu juga.
Situasi puncak pandemi pada pertengahan tahun 2021 semakin membikin rumit keadaan. Tidak banyak orang berani membesuk sebab curiga penyakit Ayah disebabkan virus corona. Bahkan saudara pun enggan mendampingi. "Saya bisa bawa Bapak ke RSJ Bangli, tapi nanti Ibu gak bisa lihat Bapak. Bapak pasti gak boleh keluar sampai dinyatakan sembuh," ujar Kepala Banjar (semacam Kepala Dusun) di seberang telepon ketika kami hubungi. Rumah Sakit Jiwa! Jelas berbeda dengan sakit fisik yang bisa diperkirakan kapan sembuhnya, penyakit jiwa atau psikis tidak sesederhana itu. Untungnya ada beberapa teman sekolahku dulu yang mau menemani Ayah semalam karena perjalanan Ibu ke tempat Ayah memakan waktu seharian.
Malam hari, sementara Ibu masih di bus menuju lokasi, aku tetap terjaga. Temanku bolak-balik mengabarkan kondisi Ayah, tentu aku tidak bisa memejamkan mata. Jam 12 malam. Orang-orang di rumah sudah terlelap. Temanku mengirim pesan suara, "Ke, Ayahmu itu... ternyata," ia terdiam sejenak. Dalam jeda yang singkat itu, kurasakan jantungku berdegup bertalu-talu, "... dia begitu merindukan kalian. Buku skripsimu dan skripsi kakakmu, juga dua boneka di tempat tidurnya, sering dia ajak bicara. Ayahmu menganggap ini sebagai kalian berdua."
Sontak tangisku pecah dalam sunyi. Hancur dikoyak kenyataan. Dalam sekejap merasa menjadi pendosa paling jahanam karena banyak hal. Kiriman beberapa foto dan video berikutnya genap meluluhlantakkan perasaan. Ayahku mengamuk, membanting motor dan barang-barang sekitar, ngotot ingin bertemu Ibu dan kakakku. Sementara kala itu Kakak masih tinggal denganku, tidak ikut Ibu ke tempat Ayah lantaran berbagai pertimbangan. "Kamu istirahat saja, biar aku urus yang di sini," sambung temanku kemudian. Meski terbangun setiap beberapa menit sekali, aku mampu melewati malam-malam penuh sengsara itu. Alhasil, paginya aku pun demam.
Sesampainya Ibu di sana, Ayah mengamuk lagi di malam hari. Akhirnya Ayah dilarikan ke UGD. Unit tersebut sibuk, para nakes hilir-mudik bergantian mengurus yang sakit dan yang memang sudah jadi mayit. Ibu pun jatuh terduduk di lantai, terlampau lelah mempedulikan. Lewat 2 hari Ayah baru dipindah dari UGD ke ruang lain sambil menunggu jatah kamar kosong, agar tidak berbareng dengan pasien COVID-19.
Di bawah kendali obat bius, Ayah bertanya lirih, "Gimana beasiswanya Una...?"
"Una lolos beasiswa," jawab Ibuku pelan.