Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 1)
Made Dike Julianitakasih Ilyasa, S.Pd. Demikian yang tertulis dalam ijazah sarjanaku. Kutaruh kembali lembar tersebut di map, kemudian bersiap mengikuti kuliah jam pertama di hari Senin. Yang kumaksud, tentu, kuliah program magister di semester 2. Sembari menunggu dosen hadir di ruang virtual, pikiranku mengembara jauh ke masa sebelum aku berhasil mendapat beasiswa demi menempuh studi lanjut.
Aku datang ke Kota Gudeg sebagai anak rantau dari Pulau Dewata. Di perkuliahan semester 1 program sarjana, aku sudah memutuskan untuk menikah. Tenang dulu, aku tidak sedang membujuk siapapun untuk melakoni jalan ini. Dan, memilih jalan ini bukan juga karena berpikir bahwa segalanya lantas jadi mudah.Â
Kukatakan begini pada calon suamiku saat itu: "Aku menerima beasiswa full study dari kampus. Karena itu, boleh jadi ke depannya aku mesti berbagi waktu, tenaga, dan pikiran dengan organisasi kampus, berbagai perlombaan, bahkan tugas-tugas kuliah. Kuharap kita bisa bekerjasama." Dia mengiyakan.
Seusai akad terucap memang tidak serta-merta kehidupan terasa lebih ringan. Tidak jarang ia bersikeras menemaniku mengikuti macam-macam kegiatan organisasi sampai larut malam.Â
Seorang teman menyenggolku, "Kasihan suamimu harus nganterin sampai malam banget." Kasihan? Jika aku di posisinya, kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama tanpa merasa keberatan sedikit pun. Karena mencintai, bukan tentang siapa yang merasa paling berkorban. Setidaknya, begitu menurut kami.
Ketika tengah mengakses situs jejaring kampus di laboratorium universitas, tertera pengumuman international conference yang hendak digelar dalam waktu dekat. Membaca biaya yang diperlukan sebagai presenter, kontan aku menghela napas pasrah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kucoba mengubur dalam-dalam keinginan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. "Lupakan saja.Â
Masih banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi," gumamku, mengingat belum membeli popok untuk bayi perempuan kami yang baru beberapa bulan lahir. Tiba-tiba, muncul notifikasi pesan Whatsapp dari ponsel. Rupanya dosenku. "Hai, Dike. Sibuk? Apakah mau ikut international conference bersama saya?"
Hah! Puji Tuhan. Nyaris ponsel ini terlepas dari genggaman. Bagaimana mungkin? Entahlah. Tuhan selalu punya cara untuk menjawab doa. Tak perlu aku pertanyakan. Sembari menenangkan diri, tanpa pikir panjang kuiyakan tawaran tersebut. Menjelang hari H, aku masih kepalang giat berlatih presentasi meski terkadang sambil menggendong bayi mungilku.Â
Cukup tahu diri kefasihan bahasa Inggrisku terbatas pada bagian memperkenalkan diri. Apakah lantas presentasiku lancar dan mampu menjawab pertanyaan dari audiens? Tidak juga. Aku masih gugup, "kena mental" sehabis dibantai reviewer, dan terbata-bata menjawab berbagai gempuran pertanyaan. Tetapi, aku senang. Sesederhana karena inilah hal yang benar-benar ingin kulakukan.