Pastinya bukan aku, batinku meyakini. Kemungkinannya terlalu kecil. Tapi, apa salahnya mengucapkan selamat untuk sang juara nanti? Lalu aku pun meluncur ke kampus, walau sedang deras-derasnya hujan.Â
Siapa sangka yang dimaksud oleh penanggungjawab adalah aku, yang ternyata menduduki posisi Juara 3. Lumayan menyelamatkan nama kampus di kancah nasional.Â
Terang semuanya berkat kehendak Tuhan. Selepas itu, aku diminta membina komunitas sastra yang diinisiasi oleh fakultas, serta diundang ke radio untuk bincang-bincang mengenai lomba kemarin.
Sayang sekali timing-nya berdekatan dengan sidang skripsi, sehingga aku tidak punya banyak kesempatan untuk bersukacita. Masa-masa keringat dingin seusai sidang skripsi pun terlewati tanpa hambatan berarti.Â
Skripsi kelar, bukannya lega. Aku justru terjebak di simpang 3: mengajar, kuliah S2, atau menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Mengajar demi mengamalkan ilmu selama kuliah sarjana.Â
Studi lanjut karena baru saja lulus sehingga masih semangat belajar, terlebih saat itu masih pandemi sehingga agaknya peluang lolos beasiswa lebih besar, sekaligus sebagai investasi masa depan. Atau fokus mendampingi anak karena masa kecilnya tidak akan terulang. Masing-masing ada pertimbangannya, tentu. Sambil meminta petunjuk kepada Tuhan, aku mencoba semua skema: melamar kerja, mendaftar macam-macam beasiswa, dan mengasuh sang buah hati. Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H