Mohon tunggu...
Made Cadusa Suarsa SH
Made Cadusa Suarsa SH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MKMK Harus Mampu Memenuhi Panggilan Sejarah (Perspektif Critical Legal Studies)

5 November 2023   19:00 Diperbarui: 5 November 2023   19:03 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang digelarnya perhelatan akbar 5 (lima) tahunan, berbagai permasalahan tentunya mewarnai panggung hukum negeri ini. Terlebih pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 atas uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden. Berbagai pihak menganggap putusan tersebut sarat akan nuansa politik sehingga memunculkan banyaknya laporan terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. Sebagai responnya, Mahkamah Konstitusi membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Pembentukan MKMK tentunya tidak terlepas dari sederet peristiwa yang mencederai keluhuran Mahkamah Konstitusi. Penegakkan atas dugaan pelanggaran kode etik juga menjadi legal spirit pembentukan majelis kehormatan ini. Pembentukan majelis kehormatan ini merupakan amanat Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020). Selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (PMK 1/2023) yang menentukan lebih lanjut mengenai kedudukannya.

Pertama, dugaan pelanggaran etik dalam putusan a quo menjadi catatan kelam dalam sejarah dunia peradilan. Pasalnya, baru kali ini seluruh hakim konstitusi dilaporkan secara bersamaan terkait dugaan pelanggaran etik. Sejauh ini, sudah terdapat tujuh laporan yang masuk mengenai dugaan pelanggaran kode etik. Laporan tersebut merujuk pada keterlibatan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara yang ada hubungannya dengan keluarganya. Dugaan intervensi oleh Anwar Usman terhadap hakim lain dalam juga melatarbelakangi berbagai laporan tersebut.

Kedua, Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo menerabas dan mengambil kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam perkara tersebut, mahkamah konstitusi keluar dari batasannya sebagai negative legislator dan justru mengambil domain pembentuk undang-undang sebagai positive legislator dengan merumuskan norma baru di dalam putusannya. Dalam uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, mahkamah konstitusi merumuskan norma baru sehingga berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Ketiga, kentalnya nuansa politik dalam putusan a quo, menjadikan mahkamah konstitusi tidaklah lebih dari sekedar alat untuk memuluskan kepentingan politik kelompok tertentu. Karpet merah yang sudah disiapkan sedemikian rupa melalui putusan tersebut tentunya memberi kesempatan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden 2024. Gibran yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta merupakan kemenakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Rangkaian demi rangkaian peristiwa tersebut tidak jarang menyurutkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Bahkan, paradigma masyarakat juga mengalami pergeseran dengan menyebutnya sebagai 'mahkamah keluarga'. Titel eksekutorial 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa' seolah menjadi slogan belaka akibat kuatnya kepentingan politik yang menjelma dalam putusan tersebut. Sungguh miris apabila marwah Mahkamah Konstitusi harus dipertaruhkan demi kepentingan politik kelompok tertentu. Sehingga, banyak pihak berharap besar pada kinerja MKMK untuk memenuhi panggilan sejarah yang tertuang dalam putusannya pada Selasa (7/11/2023).

 Catatan Kelam Dunia Peradilan

Laporan dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan a quo yang menyeret kesembilan hakim konstitusi menjadi catatan kelam dalam dunia peradilan. Pelaporan tersebut buntut dari dugaan hakim yang tidak memperhatikan rambu-rambu berupa kode etik dalam mengadili perkara. Dalam putusan a quo, (3) tiga hakim konsitusi menerima yaitu Anwar Usman, M. Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul, 2 (dua) hakim konstitusi mengajukan alasan berbeda (concurring opinion) yaitu Enny Urbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, dan (4) empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Keterlibatan Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam mengadili uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 patut mendapat perhatian khusus. Pasalnya, pengujian tersebut erat kaitannya dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan umum 2024. Kendatipun menurut sebagian pihak pengujian tersebut berlaku umum dan tidaklah hanya tertuju pada pencalonan Gibran. Akan tetapi, dalam alasan-alasan permohonan putusan a quo dengan jelas disebutkan bahwa pemohon sangat kagum dengan Walikota Surakarta dan sangat inskonstitusional apabila tidak bisa mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal.

Nemo judex in causa sua atau nemo judex idnoneus in propria causa harusnya dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili perkara a quo. Postulat dalam dunia peradilan yang berlaku universal tersebut mengandung makna bahwa tidak seorangpun hakim yang boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya. Postulat ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality). Hal tersebut untuk menjamin objektivitas peradilan. Bilamana seorang hakim ditunjuk untuk mengadili suatu perkara yang ada kaitan dengan dirinya, maka wajib untuk mengundurkan diri.

Postulat nemo judex in causa sua ini merupakan pikiran dasar yang melatarbelakangi terbentuknya Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menentukan bahwa seorang hakim tidak boleh mengadili perkaranya sendiri. Postulat tersebut tertuang pula dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim (PMK 09/PMK/2006). Dalam kode etik hakim konstitusi (sapta karsa hutama), postulat tersebut diterjemahkan sebagai prinsip ketakberpihakan, artinya seorang hakim konstitusi harus mengundurkan diri apabila anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun