Mohon tunggu...
Made Anggra Kurnia Artha
Made Anggra Kurnia Artha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Halo perkenalkan saya Made Anggra Kurnia Artha yang kerap disapa Anggra. Saya adalah mahasiswa Semester 2 Akuntansi Universitas Airlangga. Saya juga memiliki hobi memasak dan bermain game.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Aksi Demo di Jakarta 20 Mei 2023, Apa yang Sedang Terjadi?

5 Juni 2023   07:30 Diperbarui: 5 Juni 2023   07:32 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi demo dari LGBT ini berlangsung di Jakarta pada sabtu, 20 Mei 2023. Kaum pelangi di Indonesia ini menyuarakan feminisme dengan kedok ketidaksukaan terhadap patriarki dan oligarki yang dikatakan menguasai perekonomian Indonesia. Untuk menuntut kesetaraan gender terhadap wanita

Dalam video dan foto yang beredar di media sosial, nampak yang mengikuti demo tersebut ada yang menggunakan kerudung yang menandakan ketaatan seseorang mengikuti ajaran agama. Namun, mengapa seseorang yang mengikuti ajaran agama, justru malah mendukung aksi LGBT?

Indonesia sendiri adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan semua agama itu tidak mengajarkan untuk menjadi LGBT atau mengakui bahwa gender hanya ada 2 saja. Negara kita juga tidak menindas kaum wanita, dimana hak kaum wanita sudah lama berhasil diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini. 

Sehingga aksi feminism ini dinilai sangatlah berlebihan karena terlalu dipengaruhi oleh liberalisme di Amerika yang menuntut kesetaraan gender seperti upah. Namun, tidak ingin melakukan pekerjaan yang sama seperti yang dilakukan oleh pria, atau dapat dikatakan hanya ingin bagian enakknya saja. Indonesia sendiri bahkan sudah terdapat UU yang menjamin pekerjaan dan kesetaraan terhadap kaum perempuan. Lalu mengapa mereka ingin feminisme yang lebih lagi?

Perlu kita ketahui kaum LGBT di Indonesia sendiri sudah ada sejak lama dimana terdapat waria atau pria yang menjadi atau berpenampilan layaknya seorang wanita, namun mereka hanya ada di klub malam yang mencari uang dari prostitusi, yang berpotensi menjadikan seseorang gay secara tidak langsung, bahkan transgender (berganti kelamin). 

Terdapat juga istilah tomboy yaitu wanita yang berpenampilan layaknya seorang pria dimana hal ini sering terjadi di beberapa wanita yang terlalu condong bergaul dengan lelaki maupun memiliki ketertarikan khusus terhadap penampilan selayaknya seorang lelaki, hal ini dapat berdampak buruk karena akan menghilangkan sedikit demi sedikit rasa feminisme dari wanita tersebut yang akan memiliki ketertarikan dengan wanita lainnya (lesbian).

Jika kita mendalami lagi munculnya LGBT pertama kali yaitu pada tahun 1860-an yang hanya saja tidak diterima secara luas di kalangan masyarakat yang masih menolak adanya kepercayaan gender ketiga. 

Istilah pertama yang digunakan yaitu “homoseksual” namun dikatakan memiliki konotasi negatif dan digantikan menjadi “homofil” pada tahun 1950-an dan 1960-an, lalu gay pada tahun 1970-an dan pada akhirnya tahun 1988 mulai muncul istilah LGBT yang dianggap mewakili berbagai gender yang mereka buat berdasarkan karangan. 

Pada tahun 1978 muncul bendera pelangi yang dianggap mewakili setiap gender yang ada dan digunakan sebagai simbol LGBT. Kaum LGBT ini sering dianggap muncul dalam masa damai atau setelah perang dunia kedua usai. Kemuculan terbanyak terjadi di negara yang menganut ideologi liberal (kebebasan individu) seperti Amerika dan Jerman. 

Amerika pada saat masa perang masih menjunjung tinggi nilai maskulinitas, tapi dari tahun ke tahun terutama saat perang dingin yang sampai pada era perang Vietnam muncul aksi damai yang dikatakan memaksa Amerika untuk menghentikan perang invasinya ke Vietnam, disinyalir juga orang-orang yang ada saat aksi damai itu terdapat kaum LGBT didalamnya, karena negaranya termasuk liberal terkadang sangat sulit mengetahui sejauh mana kebebeasan yang dimiliki oleh suatu individu, dimana suatu individu sering berlebihan dalam mengukur kebebasan yang dimilikinya justru dapat mengganggu kebebasan orang lain. 

Jerman sendiri terutama saat munculnya sebuah partai besar saat era perang dunia kedua, dengan pemimpinnya yang terkenal sangatlah anti LGBT, akan tetapi hal ini justru sangatlah mengejutkan saat masa damai masyarakat disana melegalkan LGBT. 

Namun, dari tahun ke tahun Jepang pun turut terdapat pengaruh LGBT yang sering muncul di anime (kartun Jepang), dimana terdapat genre ketertarikan manusia terhadap hewan (furry), orang dewasa terhadap anak kecil (pedofil), pria dengan pria (gay), wanita dengan wanita (lesbian) dan lain sebagianya. 

Hal ini juga diperburuk dengan munculnya pengaruh LGBT melalui event Jejepangan (wibu) yang mencakup karakter cosplayer berdasarkan yang telah disebutkan sebelumnya. 

Jepang sendiri memiliki masalah serius yaitu mengalami penurunan angka kelahiran yang tentunya mengancam jumlah populasi, setiap tahunnya mereka kesulitan untuk mendapatkan murid baru di sekolah, hal ini awalnya dikarenakan tingkat stress terhadap pekerjaan yang tinggi dan biaya hidup yang tinggi. 

Namun, pemerintah Jepang sudah berupaya untuk mengatasi hal ini dengan memberikan tunjangan dan pengurangan jam kerja untuk mengatasi tingkat stress dan angka bunuh diri. Akan tetapi, tetap saja tidak terlalu berdampak dan malah diperburuk dengan LGBT yang dapat kita ketahui tidak mampu menghasilkan keturunan secara alami, serta masyarakat Jepang yang menikah dengan karakter anime (kartun).

Indonesia sendiri tidak luput dari pengaruh masuknya LGBT. Dimana penyebabnya melalui tersusupinya pengaruh LGBT secara tidak langsung dengan arus globalisasi dan modernisasi. 

Misalnya saja melalui media sosial dan event-event wibu yang secara tidak langsung menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat kita. Masyarakat kita terutama pada generasi milenial dan awal gen-z pasti menganggap LGBT masih sebuah candaan dan bukanlah hal serius. 

Akan tetapi, generasi gen-z tahun 2010-an terutama yang masih sangatlah muda dan diberikan ponsel tanpa pengawasan orang tua akan sangatlah mudah disusupi pemikiran LGBT, dan lambat laun akan membuatnya menjadi sebuah hal yang normal. 

Seperti Amerika yang saat ini memberikan pengaruh LGBT sebagai edukasi di perpustakaan yang justru dihadiri oleh anak-anak yang kisaran usia 5 tahun untuk menyaksikan ketelanjangan dan seksual, hal ini seperti propaganda yang dilakukan untuk menarik lebih banyak anggota LGBT, dikarenakan mereka tidak mampu menghasilkan keturunan secara alami. Hal ini bisa saja berimbas ke Indonesia apabila tidak dilakukan penanganan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun