Tidak harus keturunan dari seorang raja atau Tri Wangsa Lainnya tetapi juga dari golongan Sudra yang disebut dengan Jaba Wangsa itu sehingga dia banyak juga melahirkan Kembar Buncing.Â
Padahal sebenarnya pemahaman Kembar Buncing dengan Kembar itu berbeda, kelahiran seorang anak jika yang perempuan dahulu baru laki-laki baru disebut Manak Salah tetapi kalau lahir laki baru perempuan itu Buncing.
Salah sebenarnya seperti Rajanya tetapi Buncing laki-perempuan. Selanjutnya klau laki perempuan duluan atau belakangan asal laki perempuan dianggap dia Buncing Memada-mada.
Karena dia Memada-mada dengan Raja terutama siapapun yang melahirkan anak Buncing maka ada ucapan Raja pada saat itu memberikan Bisama (Hukuman) bahwa kalau ada orang Jaba Wangsa melahirkan anak Buncing seperti kelahiran Masula dan Masuli, maka hukumannya adalah dia harus di pondokkan selama 1 bulan 7 hari (42 hari) di daerah liminitas daerah Tenget yaitu daerah yang ada antara Setra (Kuburan) dengan desa.Â
Disitulah mereka harus ditempatkan sederhananya supaya dia dimakan oleh Leak disitu. Tetapi bagaimana dengan wangsa lain atau keturunan lain kalau dia lahir dari seorang golongan yang masih berada di bawah wangsa Raja, terahnya masih terah Raja maka dia tidak dibuang ke Pemangkalan Agung daerah liminitas itu.Â
Tetapi dia dibuang di tempatkan di Pura Desa, ini adalah catatan Belanda di tempatkan di Pura Desa selama 3 hari setelah itu seluruhnya di kembalikan atau di keluarkan dari Pura Desa selanjutnya dimandikan di perempatan Agung di upacarai pembersihan Pamerascita sama, setelah itu hasil Wangsuh dari orang kecil itu airnya di bagikan kepada penduduk untuk di siramkan di hulu carik atau sawah yang di sebut dengan di Temuku-temuku itu dengan logika supaya air yang di anggap titisan dewa turun ke dunia itu memberikan kesuburan kepada padi atau kepada sawah yang telah di siramkan oleh air mandi para golongan raja yang memiliki anak Buncing selanjutnya.
Sedangkan kalau golongan Brahmana yang melahirkan anak seperti itu hukumannya dia adalah cukup di kelurkan dari Griyanya beberapa hari sampai hari H melakukan upacara pembersihan kembali di daerah Griyanya itu yaitu melakukan Mecaru dan Pamerascita dan seorang Braembali lagi ke Griyanya.Â
Dapat disimpulkan bahwa hukuman "bagi anak atau keluarga yang Manak Salah itu tidak sama sesuai dengan ucapan Raja, antara glongan Jaba Wangsa, golongan Brahmana, golongan Ksatria, itu berbeda". Itu artinya ada makna politik yang bermain di balik hukuman itu di keraskan sekeras kerasnya bila perlu di bawa ke hulu Setra supaya mati itu bagi Jaba Wangsa karena dia adalah Memada-mada Raja atau Memada-mada golongan penguasa pada jamannya.
Pengendalian mitos maupun kepercayaan ini terjadi sebab turunnya peraturan daerah yang membuat tradisi tersebut tidak dilakukan secara tradisional seperti jaman dahulu. Namun, tradisi penyucian bayi kembar buncing tetap masih dilakukan, namun seperti syukuran kelahiran bayi pada umumnya.Â
Bentuk semiotika yang hadir dalam fenomena tradisi, mitos, maupun kepercayaan ini dapat dilihat dari bentuk tempat ari-ari yang dibuat untuk kelahiran bayi tersebut, dimana diberikan simbolis dua lubang sebagai bentuk bahwa terdapat dua bayi dengan gender yang berbeda.Â
Selain itu bayi yang hadir atau lahir dalam janin yang sama dengan dua gender yang lahir berbeda ini merupakan bentuk simbol dunia kecil yang telah hadir sebelum mereka lahir. Dimana perempuan dan laki-laki yang akan lahir ini telah disatukan sedari di dalam janin.