Mohon tunggu...
Made Marhaen
Made Marhaen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya seorang bocah yang sedang melukiskan gambaran hidupnya dalam kanvas kehidupan pemberian Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kritik bagi Kaum Pemuda

3 September 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah sebuah tulisan yang aku persembahkan untuk seluruh generasi muda yang mengaku masih memiliki jiwa nasionalisme dalam dirinya. Sebuah refleksi, otokritik dan juga tamparan bagi kita semua. Meskipun tidak setiap orang dapat menerima sebuah kritikan sebagai bahan pembelajaran demi terciptanya kondisi yang lebih baik kedepannya.

Sejatinya arti kegagalan bukanlah untuk dapat sekadar bangkit, tapi bagaimana kita memaknai arti kegagalan. karena mereka yang hanya bangkit dari keterpurukan sejatinya menafikkan arti kehidupan ~ me

Sebagai sebuah refleksi, tulisan ini mungkin tidak akan memberikan cerminan yang cukup tajam sebagai pijakan dalam berubah.

Sebagai sebuah Otokritik, tulisan ini mungkin terlalu halus bagi seorang kritikus.

Sebagai sebuah tamparan, tulisan ini mungkin tidak cukup keras menampar kita semua, terutama sebagai alasan mengapa kita semua harus segera berubah.

Tetapi setidaknya, aku ingin mencoba. Sekadar mencoba memberikan apa yang ku bisa untuk perubahan ini. Karena tidak selamanya perubahan itu terjadi di jalanan. Perubahan yang mengharuskan adanya pergulatan dan peraduan fisik antara kita, kaum yang meneriakkan perubahan dan mereka yang ingin menegaskan dominasinya lewat kebijakan. Pergulatan dan peraduan itu seharusnya terjadi ketika kita sudah benar-benar siap. Tetapi ketika kita melihat realita di jalanan, sesungguhnya kita telah melupakan kesiapan itu. Sebuah kesiapan secara mental, karakter dan intelektualitas.

Berbicara tentang amnesia yang melanda hampir kebanyakan dari kita semua, hal itu nampaknya sudah menjadi wabah yang mengglobal dan wajar-wajar saja menjangkiti kaum muda. Dulu, kalau tidak salah gie pernah berujar, "kita kaum muda adalah kaum yang akan menggantung mereka para orang tua yang mabuk kekuasaan dan kemewahan  di Lapangan Banteng". Sebuah idealisme dan optimisme tingkat tinggi dari seorang pemuda yang merasa prihatin melihat keadaan saat itu. Namun kini, keprihatinan itu kembali terulang justru terhadap kaum muda yang diembankan optimisme tinggi di pundaknya. Kalau harus jujur, mungkin gie akan kebingungan, siapa yang seharusnya digantung di lapangan banteng, kaum muda masa kini atau kaum tua itu?

Kita benar-benar telah melupakan semangat perubahan dan kemerdekaan yang dulu pernah sangat menggelora. Kita telah melupakan amanat para pendahulu kita yang sejatinya memberikan beban yang jauh lebih berat. Mungkin terlalu klise, tapi apa yang dapat ku katakan lagi?

Perubahan itu bukan hanya membuat keadaan berubah titik! Tapi ada instrumen-instrumen terlupakan dari perubahan itu. Apa yang terlupakan itu? Sesuatu yang tidak kita bawa di jaman ini. Jaman di mana perubahan total setotalnya yang menampilkan keeleganan dan kemewahan, namun rapuh secara jiwa dan ideologis di dalamnya.

Sebelum masuk ke ranah perubahan yang seharusnya tercipta dalam kehidupan ini, sebaiknya kita kembali pada kekurangan kaum muda dalam mempersiapkan perubahan yang sejati itu. Yaitu kurangnya pendidikan mental, karakter dan intelektualitas.

Mental menentukan jalan bangsa dan generasinya. Mental adalah cerminan moral. Seseorang yang secara mental cacat, tidak akan mampu berkembang. Namun, dibutuhkan lebih dari sekedar mental yang normal saja untuk membangun sebuah pondasi pergerakan yang mumpuni dan kokoh secara kejiwaan. Jika unsur kejiwaan ini telah terpenuhi dengan baik, pergerakan yang dibangun dan perubahan yang dicapai akan memiliki jiwa yang sehat dan tidak sakit (red : korup).

Di masa kekinian, bukan merupakan sebuah hal yang tabu jika kita (mau tidak mau) membicarakan masalah moral generasi muda. Karena kita tidak akan berbicara sesuatu yang utopis ataupun manipulatif. Tetapi kenyataan. Masalah mentalitas nampaknya sudah menjadi penyakit yang "biasa" belakangan ini. Apakah ada yang salah dengan mentalitas generasi muda kita?

Sebuah pertanyaan simpel nan menggelitik. Entah darimana saja orang yang mempertanyakan hal itu selama ini. Mungkin ia sedang bertapa nun jauh di pedalaman sana selama berpuluh-puluh tahun ini. Sehingga tidak bisa merasakan betapa "dahsyatnya" kualitas mental generasi muda bangsa ini.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional tahun 2008, pengguna narkoba dari kalangan remaja sebanyak 14.000 atau sekitar 19% dari keseluruhan pengguna. Kemudian jika menilik lembar fakta yang diterbitkan United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), disebutkan 15 % remaja usia 10–24 tahun yang jumlahnya mencapai sekitar 62 juta diperkirakan telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Dua hal itu adalah sebagian kecil dari banyaknya contoh yang menunjukkan betapa rapuhnya mental generasi muda kita saat ini. Bagaimana sebuah generasi dengan mental yang tidak kokoh bisa diharapkan memimpin tidak hanya diri mereka sendiri namun keseluruhan elemen dalam masyarakat. Sebuah angan-angan utopis yang jika dimanifestasikan ke dalam sebuah harapan akan terasa sangat berat, begitu berat.

Memperbaiki mental? Itukah solusinya?

Perbaikan mental memang layak dikemukakan sebagai solusi utama dalam mengatasi defisit mental kaum muda. Secara teknis, perbaikan ini dilakukan sebagai metode represif dalam penyelesaian suatu masalah. Adapun metode di lapangan dapat dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa menyesuaikan antara materi perbaikan dan juga kesesuaian dengan pihak-pihak yang akan diperbaiki mentalnya.

Lalu seperti apa mental yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda kita?

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, mental dalam hal pembentukan karakter dan sifat seorang manusia memiliki peranan penting sebagai sebuah cerminan moral. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran (meskipun eksistensinya kini perlu dipertanyakan) memiliki sebuah standard baku tak tertulis mengenai bagaimana seharusnya kita bertindak dan bersikap dalam kehidupan. Hal itulah yang seharusnya ditumbuh kembangkan kembali. Sikap dan sifat ketimuran yang kini sudah mulai usang dan terlupakan. Terabaikan dan kian tergantikan oleh budaya barat yang cenderung "vulgar" dan "bebas".

Dibutuhkan lebih dari sekedar kesadaran dari diri sendiri untuk kembali mengingat dan menanamkan kembali adat budaya ketimuran itu dalam sanubari. Diperlukan suatu tekanan dan pressing dari luar demi terciptanya restorasi moral dan mental di generasi muda kita. Karena jika kita harus menunggu kesadaran itu muncul dengan sendirinya dan tidak "dituntun", maka waktu yang akan terbuang justru akan semakin menumpuk.

Adapun penekanan ini haruslah dilakukan oleh setiap insan terhadap setiap insan. satu sama lain saling mengingatkan adat istiadat yang berlaku di grass root kehidupan masyarakat. Memang, tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Namun, janganlah melihat segala sesuatunya hanya dari ekses yang diberikan dalam waktu singkat. Ini adalah sebuah upaya perbaikan yang tentunya memberikan efek jangka panjang.

Karakter merupakan faktor terpenting dalam menilai kesiapan suatu generasi dalam mengusung nafas pergerakan. Karakter secara definitif mungkin agak sedikit rumit untuk dijelaskan. namun secara analogi, kita bisa mengambil contoh rangka sebagai satu kesatuan karakter seseorang. Rangka adalah tulang yang tersusun sedemikian rupa hingga memberi bentuk tubuh kita. Tulang dalam hal ini dapat diasumsikan sebagai sifat-sifat dalam diri kita yang jenis dan jumlahnya beragam, namun sebagai satu kesatuan rangka dapat menampakkan karakter kita sebagai manusia.

Dan inilah yang tidak kita miliki. Rangka yang cukup kuat untuk menopang segala tindak tanduk kita dalam kehidupan. Tulang-tulang itu ada, namun masih berserakan dan tidak ada satupun inisiatif ataupun  tangan yang menjulur dan menata tulang-tulang itu ke dalam suatu susunan rangka yang lengkap dan kokoh.

Disitulah poinnya. kita tidak memiliki figur pemimpin yang bisa menumbuhkan karakter bangsa dan mental bangsa. Kita tidak lagi berbicara masalah self consciousness atau kesadaran diri sendiri, tapi masalah figur yang mampu menempatkan dirinya sebagai penata secara umum bagaimana seharusnya karakter bangsa yang kokoh itu dibangun.

Ketika kita menilik pada realitas sosial di masyarakat, kehidupan para pemimpin kita terlalu jauh dari yang namanya pembangunan karakter bangsa. bahkan untuk dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin. Apalagi untuk rakyatnya. Apa yang bisa kita harapkan? Sejatinya dibutuhkan sebuah masterplan besar untuk pembangunan sebuah negara berbasis kebangsaan. Sebuah masterplan yang tidak hanya mencakupi lingkup teknis intelektualitas, sosial maupun ekonomi negara, namun juga harus mewadahi rencana pembangunan karakter dan mental bangsa yang kokoh.

Kekosongan Karakter ini seharusnya menjadi perhatian para pemimpin kita. Suatu negara tidak akan pernah menjadi besar jika hanya diisi oleh orang-orang pintar tanpa karakter. Karena kebesaran suatu bangsa ditentukan oleh seberapa besarnya karakter para pemimpin dan rakyatnya.

Inteletualitas

Dewasa ini, dalam pergerakan kepemudaan, intelektualitas selalu dijadikan tameng dan tombak terdepan. Segalanya selalu dimulai dan diakhiri oleh intelektualitas. Mengasah intelektualitas memang merupakan suatu keharusan bagi generasi muda manapun. Tanpa kecerdasan, teknologi dan inovasi tidak akan tercipta. Tanpa adanya teknologi dan inovasi, perkembangan zaman akan tersendat. dan itu bukanlah sebuah gambaran tentang dunia yang kita semua inginkan tentunya.

Namun sekali lagi, perlu kita ketahui bahwa kecerdasan yang diperlukan dalam membentuk generasi muda penerus harapan bangsa adalah kecerdasan yang muncul karena latihan rutin dalam menganalisa keadaan sosial ataupun mendalami ilmu-ilmu dalam literatur. Bukan sebuah kecerdasan yang berpatokan pada standard nilai. Sebuah klasifikasi kecerdasan yang pada hari ini lebih dikemukakan. Para siswa, mulai dari tingkat terendah hingga level mahasiswa masih belum memahami arti dasar penuntutan ilmu. Yang seharusnya mereka raih bukanlah nilai. melainkan ilmu. Hal ini bisa berkembang hingga sedemikian rupa karena adanya miss organizing yang dilakukan oleh pemerintah. Jika saja pemerintah sebagai penyelenggara utama sistem pendidikan nasional dapat memberikan jaminan bahwa nilai dapat dijadikan patokan terpercaya terhadap kualitas seseorang, maka kita tidak akan perlu bersusah-susah mencari dan menemukan standard penilaian tingkat keintelektualan seseorang.

Karena ketidak mampuan pemerintah itulah, perlu lebih dari sekedar kesadaran kita akan hal tersebut. Bahwa yang diperlukan adalah lebih dari sekedar nilai. Lebih kompleks lagi adalah, apa yang dibutuhkan untuk membangun sebuah bangsa yang maju adalah kaum muda intelektual.

Tiga komponen tersebut (Mental, Karakter dan Intelektualitas) adalah modal untuk membangun sebuah peradaban bangsa yang maju. Dan ketiganya haruslah ditanamkan pada diri masing-masing orang di negara ini.

"Sebuah Negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam, namun sebuah negara tidak dapat berdiri tanpa KEPERCAYAAN” ~ Ir. Soekarno

Ya, Kepercayaan!

Kepercayaan bahwa kita memiliki DNA para pejuang. Bahwa negara kita adalah sebuah negara yang terbentuk atas kebangsaan yang dalam darah tiap manusianya tertanam jiwa kepahlawanan dan kita adalah para Pejuang itu. Percayalah kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun