"Dia seperti burung yang selalu bertebangan di dalam otak ku! Dia Membuatku Pusing!"
Kurang lebih seperti. Seorang anak berumur 8 tahun yang mengucapkan kalimat tersebut dengan sedikit nada teriak, seperti reaksi untuk memberontak. Sontak aku terkaget ketika mendengar teriakan tersebut, sembari mencari sumber suara tersebut bersumber dari mana? Apa yang terjadi?
Putra namanya (Bukan nama sebenarnya), ketika saya berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia dengan pembawaan yang sudah cukup tenang mencoba menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Alih-alih menanyakan itu kepada si pendamping, saya lebih memilih untuk menanyakan hal tersebut kepada Putra. Anggap saja sebagai sarana pelepasan emosi anak, kurang kebih seperti itu. Putra menjelaskan dengan perlahan dan tidak lupa dengan ciri khasnya ketika berbicara (Menggunakan kedua tangan nya).
"Jadi kayak gitu mba fa"
Setelah menyimak keseluruhan cerita tersebut, saya bertanya kepada pendamping, apakah benar kejadiannya seperti itu. Dia pun menganggukkan kepala, tanda menyetujui cerita yang disampaikan oleh Putra. Tiba-tiba, munculah sebuah kecurigaan saya terhadap putra.Â
Namun, saya takut begitu cepat untuk menyimpulkan nya. Oke, jadi begini. Saat itu, ketika Putra sedang mengerjakan salah satu tugasnya yang didamping dengan pendamping belajarnya. Suasana belajar seperti biasa tampak kondusif, namun tiba-tiba Putra berteriak dengan kalimat di atas.
Mengapa di usianya yang terbilang cukup matang, namun dalam menulis masih memiliki kendala dan merasa mereka semua berterbangan di dalam otaknya. Tentu saja ada yang tidak beres bukan?
Dia kerap menuliskan beberapa huruf yang terbalik-bali, baik arah penulisan, huruf b dan d yang sering tertukar, a dan o yang sering salah penempatan, e dan g yang sering terbalik juga, dan beberapa kekeliruan lainnya.
Setelah mendengar penjelasan spesifik oleh pendampngnya, mengantarkan saya pada sebuah materi perkuliahan yang kebetulan juga telah membahas gejala-gejala seperti itu. Beberapa menit saya berlarut dengan pikiran saya sendiri, diaman sedang berusaha me-recall informasi yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Pada akhirnya saya menemukan jawaban tersebut, dia bisa jadi seorang disleksia.
Jujur, tidak berani dalam menyimpulkan terlalu cepat, tu hanyalah dugaan sementara yang tentunya perlunya melakukan tes untuk hasil pastinya. Dugaan saya diperkuat dengan ketika Putra hendak membaca soal, dia terlihat kesusahan. Meskipun dia dapat membaca, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membaca satu baris soal.
Untuk memastikan dugaan tadi, saya memutuskan untuk mencoba membaca ulang materi terkait disleksia. Di salah satu e-book yang saya miliki, disana menjelaskan bahwa disleksia merupakan gangguan pada pengelihatan dan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan saraf pada otak. Sehingga anak mengalami kesulitan membaca.
Namun, yang terjadi sebenarnya adalah seseorang tidak mampu membedakan bunyi fonetik penyusun sebuah kata. Indera pendengar mereka menangkap, namun ketika dipersilahkan untuk menuliskannya mereka mengalami kesulitan.
Mereka yang disleksia adalah cenderung condong secara visual nya, memiliki intuisi yang tinggi dan memiliki pemikiran yang multidimensional. Jadi, apabila ada yang mengatakan bahwa disleksia adalah suatu ketidakmampuan intelektual, tentu saja itu salah besar. Sejatinya mereka memiliki hambatan saja dalam proses membaca dan menulis.
Contoh yang banyak dijelaskan dibeberapa tulisan yang setidaknya dapat mendeteksi apakah dia menyandang disleksia atau tidaka dalah dengan memberikan buku bergambar kepada anak yang tidak pernah dilihat sebelumnya, kemudian Anda memintanya untuk membacakan buku tersebut.
Jika anak menceritakan buku tersebut sesuai dengan gambar dan certa yang disampaikan tidak berkaitan, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu tanda anak mengalami disleksia.
Kabar baiknya adalah disleksia dapat disembuhkan atau dtangan. Tentunya dengan cara-cara yang berbeda. Hal tersebut mengingatkan saya pada salah satu film sudah saya lihat lebih dari 5 kali, namun anehnya air mata tersebut tetap meneteskan air mata haru.
Film tersebut adalah Taare Zameen Par (2009). Film yang mencertakan seorang anak berumur 9 yang menyandang disleksia namun orang tua nya tidak mengetahui hal tersebut, akibatnya mereka hanya men-cap anak tersebut sebagai anak yang bodoh.
Ya, seperti yang dijelaskan sebelumnya, anak tersebut memliki intuisi yang sangat tinggi, diapanda melukis, tidak pernah gagal dalam memvisualisasi sesuatu yang hendak di visualkan. Namun pada akhirnya dia dapat membaca layaknya anak-anak yang lain berkat satu guru yang begitu perhatian dengan siswanya.
Ingin tahu bagaimana anak tersebut dapat menerobos hambatan yang dia milik? Guru yang begitu perhatian tersebut menggunakan pendekatan sesuai dengan apa yang anak sukai. Maksudnya?
Jadi begini, anak tersebut begitu tertark dengan dunia gambar-menggambar, kemudan guru tersebut memanfaatkan minat anak tersebut sebagai media dalam penyampaian materi berkenaan dengan huruf dan membaca. Pembelajaran menjadi menyenangkan dan anak tidak merasa terbebani oleh embel-embel belajar. Padahal sejatinya apa yang sedang meraka lakukan adalah proses pembelajaran.
Memang cukup menguras waktu dan kesabaran, namun ingat, usaha tidak akan menghanati hasil. Ya, pada akhirnya anak tersebut dapat menerjang hambatan nya dengan memanfaatkan minat anak.
Film tersebut dapat dijadikan referensi dalam mengatasi anak yang disleksia. Ciptakan suasana yang ceria, seru dan tidak membosankan, lekatkan dengan apa yang disukai anak. Berikan atensi yang penuh kepada mereka, pelan tapi pasti, pasti usaha tersebut tidak akan sia-sia.
Percaya atau tidak, disekitar kita terdapat beberapa ahli yang dulunya menyidap dislleksia namun dia bisa menjadi ilmuan yang sampai saat ini terkenang, seperti Leonardi da Vinci, Albert Einstein, Agatha Christie, Mohammad Ali, John Lennon, dan masih banyak lagi. Hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa anak yang mengalami disleksia adalah anak yang mengalami keterbelakangan. Tidak, bukan seperti itu konsepnya, hyung!
Itulah mengapa deteksi dini sangat penting, apabila orang tua telah mengetahui awal tentu saja orang tua dapat memberikan treatment lebih awal dapat menyesuaikan kegatan anak dengan kapasitasnya dan membimbingnya sesuai porsinya. Kiranya seperti itu akhir dari cerita di atas, semoga saja dapat menginspirasi. Jadi, masih memandang sebelah mata anak disleksia? Coba baca tulisan ini kembali. Terimakasih. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI