Memang tidak ada habisnya jika kita membahas tentang anak. Apa pun itu, bisa menjadi menarik jika dihubungkan dengan anak. Terlebih bagi para orang tua. Pola asuh? Tiap orang tua memiliki gaya atau model pola asuh yang berbeda-beda, yang tentu akan mempengaruhi perkembangan sang anak.Â
Dalam menanamkan suatu pemahaman pada anak memang membutuhkan cara yang tepat dalam penyampaiannya, seperti dalam menanamkan paham gender pada anak sejak kecil.
Dalam ilmu psikologi, beberapa ahli psikologi perkembangan sudah sangat jelas mengungkapkan beberapa pola pengasuhan yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki cara dan pendekatanya masing-masing dari orang tua terhadap anaknya.Â
Sebut saja Diana Baumrind dengan empat jenis pola asuh yang dikemukakannya, yakni pola asuh demokratis, pola asuh permisif, dan pola asuh penelantar. tentu saja, setiap pola asuh tersebut mempunyai efek tertentu yang bukan hanya mempengaruhi psikologis sang anak, tetapi juga mempengaruhi perkembangan gender anak.
Pada bahasan kali ini, jenis pengasuhan yang akan saya angkat adalah salah satu jenis pengasuhan yang dikemukakan oleh Eisenberg bersama kolega-koleganya, yaitu channeling/shaping.Â
Pada jenis ini, orang tua menciptakan dunia tersendri bagi anak yang sudah mengarahkan anak pada gender tertentu berdasarkan pada jenis kelaminnya.
Mulai dari memberikan nama anak sesuai dengan jenis kelaminnya, mebelikan baju, dan mainan disesuaikan jenis kelaminnya, mewarnai kamar, dan lain sebagainnya. Jenis pengasuhan channeling/shaping memungkinkan orang tua mengambil kendali sepenuhnya atas anak dan segala aktivitas yang anak lakukan yang berorintasi pada jenis kelamin anak yang bersangkutan.Â
Orang tua dengan pola asuh ini benar-benar mensterilkan anak dari segala hal yang bukan porsinya dan bukan ranah jenis kelaminnya. Pendidikan gender terlihat sangat rigid dan dikotomi.
Channeling/shaping sendiri memiliki karakter dimana orang tua menciptakan dunia tersendiri bagi anak yang sudah mengarahkan anak pada gender tertentu berdasarkan pada jenis kelaminnya. Apapun yang dilakukan orang tua bahkan sejak anak belum dilahirkan, sudah mengarah pada preferensi jenis kelamin sang anak.Â
Mulai dari membelikan pakaian dengan motif, model, dan warna yang disesuaikan dengan jenis kelamin anak; biru atau hijau untuk anak laki-laki dengan gambar dan model khas anak laki-laki, seperti gambar robot, mobil, hewan, atau gambar olahraga, sementara anak perempuan berwarna merah jambu atau kuning dengan gambar bunga, boneka, atau bermotif pita khas anak perempuan.
Dikutip dari buku yang ditulis oleh Herdiansyah (2016), menerangkan bahwa seiring perkembangan zaman yang semakin modern dan kemajuan teknologi semakin canggih sehingga jenis kelamin anak sudah dapat diprediksi keakuratannya bahkan sejak di trimester pertama kehamilan sang ibu. Tentu saja, ini juga berdampak pada pola pengasuhan anak. Kondisi sepuluh atau lima belas tahun sebelumnya.Â
Pola pengasuhan channeling/shaping mengalami pergeseran mengikuti perkembangan zman. Karakteristiknya tetap sama, yakni orang tua menciptakan dunia tersendiri bagi anak, tetapi hal itu sudah dimulai lebih awal.Â
Sejak trimester pertama orang tua sudah mengetahui jenis kelamin anak dan secepat itu pula orang tua mempersiapkan kelahiran anak dengan menyiapkan segala hal bagi anaknya disesuaikan dengan jenis kelaminnya.Â
Usia empat bulan dalam kandungan, sang ayah sudah menyiapkan pakaian yang disesuaikan dengan jenis kelamin anaknya, warna kamar disesuaikan dengan jenis kelamin anak, mainan yang dibeli disesuaikan dengan jenis kelamin anak.Â
Apa pun yang dilakukan, berdasarkan pada parameter jenis kelamin anak. Namun, hal yang menarik adalah, di sisi lain perekembangan zaman memunculkan perilaku yang juga mengalami pergeseran.Â
Pola pengasuhan channeling/shaping menjdi longgar di mana orang tua modern lebih membebaskan diri untuk bersikap uni-sex terhadap anak mereka.Â
Anak perempuan lebih dibebaskan untuk menggunakan pakaian berwarna biru atau hijau dengan motif hewan atau gambar olahraga, bersepatu sport seperti anak laki-laki. Anak perempuan memiliki rambut yang pendek dan tanpa pita, bermain mobil-mobilan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi di sisi lain, ada identitas gender anak yang tetap dipertahankan, misalkan seperti anak perempuan yang tetap menggunakan anting-anting untuk menegaskan bahwa ia adalah anak perempuan meskipun bersepatu sport dan berpakaian uni-sex. Selain itu, satu hal yang lebih menarik adalah identitas gender anak laki-laki lebih dipertahankan.Â
Misalnya, walauoun ada kebebasan untuk memilih warna pakaian, tetapi orang tua tetap tidak memilihkan gambar boneka atau bunga-bunga pada pakaian anak laki-laki.Â
Artinya, pada titik tertentu, beberapa perbedaan tersebut tetap ada dan dipertahankan yang diidentikan dengan gender. Disamping itu, gender tetap disimbolkan oleh karakteristik tertentu sebagai penandanya.
Kembali kepada kekhasan channeling/shaping, seiring dengan perkembangan anak, anak laki-laki, dan perempuan tetap dibedakan berdasarkan pada karakteristiknya seperti isi kamar anak laki-laki adalah gambar olahraga, mobil-mobilan, dan lain sebagainya sementara anak perempuan tetap dihiasi dengan gambar boneka, Disney princess, dan beragam boneka-boneka.Â
Tentu saja, aktor penting penentu isi kamar dan segala bentuk ornamen kamar adalah orang tua, artinya peran orang tua dalam menentukan minat, kesenangan, permainan pada masa kanak-kanak pada setiap gender adalah orang tua. Blakemore dkk, (2009) menyatakan bahwa melalui permainan anak-anak, sosialisasi gender diperkenalkan oleh orang tua kepada anak mereka.
Sumber Bacaan:
Herdiansyah, Haris. 2016. Gender dalam Perspektif Psikologi. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H