doc. pribadi
Akibat pandemi Covid-19, sejak 20 Maret 2020 sekolah-sekolah di Nusa Tenggara Timur (NTT) tak lagi menggelar pembelajaran di kelas. Merujuk surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 24 Maret 2020, tatap muka di kelas diganti dengan belajar dari rumah.Â
Pada 20 Juli ini, genap empat bulan, interaksi belajar antara guru dan peserta didik ditempuh dalam dua cara, online learning dan layanan kunjungan guru ke rumah siswa (home visit). Â
Metode pembelajaran online (daring) dengan ragam aplikasi, digunakan  secara masif. Guru-guru bersemangat, sebagian siswa juga antusias.
Empat bulan ini merupakan periode berharga bagi para pembuat kebijakan, guru, peserta didik, Â orangtua dan praktisi pendidikan. Periode ini memunculkan sejumlah realita dan perspektif baru dalam dunia pendidikan.Â
Dan karenanya, masa ini merupakan kesempatan emas mempelajari dan menemukan realita dan perspektif itu. Guru sebagai salah satu elemen ekosistem ilmiah, perlu memiliki kepekaan intuisi pada fenomena pandemi ini, sebagai bentuk refleksi maupun tinjauan kritis.Â
Tulisan ini merupakan bentuk refleksi penulis, atas dua point layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19 dan kaitannya dengan pemenuhan hak dasar anak di bidang pendidikan.
Pertama, penerapan layanan belajar secara online yang gencar dilakukan selama ini, sebetulnya menyimpan cerita piluh dari siswa-siswi yang datang dari kalangan marjinal. Pembelajaran dengan bantuan perangkat smartphone/laptop/komputer, memang menyenangkan bagi siswa yang hidup berkecukupan, tetapi menyakitkan bagi anak-anak keluarga miskin tanpa akses pada gawai.
Pembelajaran dengan sistem daring justru memiliki dampak destruktif, misalnya pengabaian hak peserta didik pada layanan pembelajaran. Â Siswa dengan ketiadaan perangkat smartphone sangat mungkin tidak terlibat dalam interaksi belajar online.Â
Apa lagi jika guru juga tidak berkunjung untuk melakukan pembelajaran di rumah. Disparitas kesenjangan antara anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin semakin tajam, hal yang harusnya tidak boleh terjadi dalam layanan pendidikan.
Selain itu, ketiadaan akses pada smartphone secara psikologis dapat mengurangi kepercayaan diri dan semangat belajar siswa. Â Oleh karena itu, sekolah dan manajemen mesti cermat dalam memilih metode belajar yang berkeadilan dan menjangkau semua siswa.Â
Anak-anak dari keluarga yang miskin secara ekonomi, tidak boleh terseret jauh ke dalam ketidakberdayaan pada akses belajar (learning poverty). Ini adalah pelajaran berharga dalam upaya akselerasi pemerataan kualitas pendidikan, dengan perangkat teknologi sebagai salah satu instrumen pentingnya.
Dari perspektif pendidikan berbasis hak anak, metode belajar secara daring selama ini tetap menyimpan kekurangan untuk diperbaiki. Riset yang dilakukan Inovasi Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) pada April 2020 dengan mensurvei 300 orangtua siswa SD di NTT, NTB, Kalimantan Utara dan Jawa Timur menunjukan hanya sekitar 28% responden yang menyatakan anak mereka belajar dengan media daring (theconversation.com, 2/5/2020).
Kedua, menyoal kesiapan langkah pencegahan dan sistem deteksi virus corona, terhadap warga sekolah pada tahun pelajaran baru yang telah dimulai 13 Juli lalu. Sekolah merupakan komunitas dengan populasi yang padat.Â
Di sana, terdapat guru dan peserta didik baik remaja maupun anak-anak kecil. Peserta didik adalah kelompok anak yang memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, dan karenanya mereka termasuk kelompok yang sangat rentan terhadap potensi bahaya bencana.
Membiarkan peserta didik, guru dan pegawai kembali berinteraksi di sekolah tanpa screening disaat jumlah pasien yang terpapar meningkat tajam secara umum di Indonesia, bukan sebuah pilihan yang masuk akal.
Meski belum ada kegiatan pembelajaran tatap muka, namun menyaksikan keceriaan dan kerumunan  siswa  di beberapa sekolah pada tanggal 13 Juli lalu, itu pemandangan mengerikan.Â
Protokol kesehatan yang longgar di tengah kerumunan, benar-benar ancaman bagi anak-anak. Rasanya kita butuh SOP dengan bahasa program yang taktis dan imperatif, wajib dilaksanakan ketika aktivitas di sekolah kembali mulai dilakukan. Jika perlu, pelibatan pihak keamanan dalam screening kesiapan fasilitas sekolah menyambut era kenormalan baru penting didorong.
Sebagai contoh, harusnya pada pada tanggal 13 Juli 2020 itu, sebagai hari pertama masuk sekolah, semua sekolah wajib melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada sarana pembelajaran dan setiap warga sekolah wajib diukur suhu tubuhnya.Â
Manajemen sekolah perlu menyediakan  formulir riwayat bepergian guru dan siswa selama masa belajar di rumah. Data itu mencakup riwayat bepergian siswa, guru, anggota keluarga atau tetangga rumah para siswa dan guru. Informasi ini akan sangat membantu proses penelusuran tatkala ada warga sekolah yang terpapar Covid.
Pemerintah (dinas pendidikan, dinas kesehatan) wajib memastikan manajemen sekolah membuat langkah pencegahan ini sebagai sistem perlindungan, sayang faktanya tidak semua sekolah melakukannya.Â
Sekolah sebenarnya memiliki sumber daya (bujet), melalui dana BOS untuk  mendukung pengadaan kelengkapan kesehatan, tetapi itu harus didukung oleh kapasitas mitigasi yang baik. Itulah mengapa, sekolah tidak bisa berjalan sendiri dalam upaya pencegahan, tetapi butuh kolaborasi dengan otoritas pemerintah terkait lainnya. Â
Jika tidak, pemerintah dan manajemen sekolah gagal memberikan layanan pendidikan yang aman dan nyaman untuk kepentingan terbaik bagi anak. Sampai dengan akhir Juni 2020, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat setidaknya 40 anak meninggal dengan status positif Covid-19, dan lebih dari 200 kematian anak dengan status Pasien dalam Pengawasan (bbc.com, 3/7/2020).
Jika lalai, kita mungkin akan menyesal menyaksikan sekolah menjadi pusat penyebaran Covid-19 dan peserta didik serta guru sebagai aset sumber daya manusia terpapar dalam jumlah yang masif.Â
Skenario ini mungkin tampak berlebihan, tetapi pengalaman mengajarkan kita bahwa mencegah datangnya suatu penyakit selalu jauh lebih baik ketimbang mengobatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H