Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Honorer, Tragedi Pendidikan yang Tak Berkesudahan

25 November 2019   12:58 Diperbarui: 25 November 2019   13:19 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: berandanusantara.com
Foto: berandanusantara.com
Potret pendidikan NTT bisa menjadi gambaran, bagaimana guru-guru bekerja dan dihargai secara tidak manusiawi. Sebagai informasi, berdasarkan data Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, jumlah guru di NTT mencapai 95.579 orang, dengan 44.244 diantaranya adalah PNS, sisanya guru tetap yayasan 6.715, GTT provinsi 858, GTT kabupaten 5.899, guru bantu pusat 128, guru honor sekolah 31.924 dan lainnya 5.811. Di banyak sekolah di NTT, guru honorer komite di gaji pada kisaran Rp.250-750 ribu per bulan, dengan sistem pembayaran rapelan dalam beberapa bulan. Angka ini jauh di bawah UMP NTT 2019 yang mencapai  Rp.1.795.000.  

Fakta ini jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Sayangnya, pemerintah menutup mata pada diskriminasi ini. Pemerintah tahu dan sadar akan keberadaan guru-guru honorer, kepada mereka diterapkan beban kerja sesuai standar nasional pengelolaan pendidikan, namun mengabaikan hak mereka untuk mendapat upah yang layak sesuai peraturan perundangan.  Di saat bersamaan, tuntutan kualitas pembelajaran terus ditujukan kepada para guru, ini jelas tidak adil.

Atas perlakuan ini, saya teringat ucapan seorang teman guru komite di pedalaman Timor Barat-NTT. Dengan berkelakar, menurutnya guru honorer mungkin sebaiknya bekerja dengan sistem outsourcing. Dia membayangkan, jika ada perusahan pemasok tenaga kerja yang bersedia menghimpun guru-guru honorer se Indonesia, untuk didistribusikan ke sekolah yang membutuhkan. Dengan begini, sekolah mengambil tenaga honorer dan urusan upah dinegosiasikan dengan pihak ketiga. Positifnya, meski cukup setara UMP tetapi gaji dibayar rutin setiap bulan.

"Ide gila " ini saya pikir ada benarnya, dan tampak lebih bermartabat.  Setidaknya pola ini bisa mengubah cara pandang dan perlakuan pemerintah, termasuk para legislator di DPR(D) pada guru honorer. Pemerintah sebagai klien utama pada kenyataannya membutuhkan tenaga guru dalam jumlah yang banyak, tetapi kurang acuh pada aspek kesejahtraan guru non ASN.   Membiarkan guru dibayar dengan sangat murah, itu mencerminkan rapuhnya fondasi bangunan pendidikan kita.

Untuk membantu perbaikan kesejahtraan guru honorer, tekanan kepada pemerintah dan legislatif juga penting datang dari organisasi profesi. Wadah seperti PGRI, IGI, FSGI yang selama ini kerap melakukan advokasi di tingkat pusat, justru tidak menguat di daerah-daerah. Para guru honorer di daerah akhirnya hanya pasrah, tak tahu kepada siapa mereka mengadu.

Selebihnya, kembali pada kebijakan pemerintah dan keputusan politik para wakil rakyat di DPR. Skema K1 ,K2 dan rekrutmen umum ASN terbukti bukanlah solusi mengurangi jumlah tenaga guru honorer di Indonesia.  Rasanya kita butuh lembaga khusus yang bekerja mengurus tata kelola guru baik ASN maupun honorer secara nasional, tidak cukup dengan misalnya unit seperti Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan di Kemendikbud. 

Lembaga itu akan bekerja dengan baseline data yang akurat, untuk merumuskan kebijakan, mengontrol kualitas dan memastikan keseimbangan hak dan kewajiban guru di Indonesia.  Dari lembaga ini pula mungkin kita bisa berharap, lahirnya regulasi di mana sistem pendidikan Indonesia tak lagi mengenal guru dengan status honorer, selain ASN atau PPPK.

Selain itu, dibutuhkan sinkroniasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Misalnya, setelah ada larangan merekrut guru honorer oleh pemerintah pusat, maka para kepala daerah melalui kepala dinas pendidikan harusnya tidak menerbitkan ijin operasional sekolah baru, yang membuka peluang  penerimaan guru honorer baru. Semangat otonomi daerah tidak boleh menjadi justifikasi lahirnya overlapping kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat.

Mesti diingat, angka investasi negara dibidang pendidikan sangat fantastis. Dalam dua tahun terakhir, anggaran pendidikan di APBN terus meningkat. Porsi anggaran pendidikan dalam APBN 2018 sebesar Rp.444,131 triliun. Angka ini bertambah menjadi Rp.492,555 triliun atau naik Rp.48,4 triliun pada 2019. Plafond anggaran untuk pendidikan naik lagi pada 2020 menjadi Rp.508 triliun. 

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan anggaran pendidikan terbesar kedua setelah Malaysia. Sayangnya, indeks SDM Indonesia justru berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Itu artinya investasi pemerintah melalui pendidikan belum memberi dampak pada peningkatan kualitas pendidikan secara nasional.

Jangan lupa, kualitas guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas pendidikan kita.  Memacu peningkatan kualitas pendidikan dengan tata kelola guru yang setengah hati, berapapun nilai investasi anggarannya, itu sulit. Hasilnya, keberadaan guru honorer di Indonesia tetap akan menjadi tragedi pendidikan yang tak berkesudahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun