Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Debi Bansole, James Fox, dan Kemiskinan di NTT

15 Agustus 2019   12:43 Diperbarui: 16 Agustus 2019   03:23 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
James J. Fox. Sumber: press.anu.edu.au

"NTT membutuhkan investasi besar di semua sektor ekonominya, dan investasi yang akan membuahkan hasil terbesar adalah meningkatkan pendidikan di berbagai jenjang." 

Memiliki kelainan fisik dan menjadi berbeda seorang diri di antara ratusan anak, sama sekali tidak  membunuh semangatnya  untuk mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas. 

Namanya Debi Bansole, lahir sebagai putri tunggal pasangan petani lahan kering Levinus Bansole dan Yosina Baok. Debi adalah anak ke-4 dari 5 bersaudara. Tiga dari empat saudara laki-lakinya sudah berkeluarga, sementara adik bungsunya masih duduk di kelas V SD. 

Gadis kelahiran 19 Februari 2005 ini telahir dengan kelainan genetik dengan ukuran tubuh yang kerdil (dwarfisme). Semua saudaranya memiliki ukuran tubuh normal. Hingga menapaki usia 14 tahun, tinggi badan Debi mencapai 98cm dan berat 11 kg.

Debi saat ini terdaftar sebagai siswi kelas X pada SMA Negeri Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan  (TTS)-- Nusa Tenggara Timur. Putri mungil ini terpaksa mendaftar di sekolah umum karena satu-satunya Sekolah Luar Biasa (SLB) berada di Kota Soe - ibu kota Kabupaten, 90an km dari desa Nunusunu, Kecamatan Kualin, Kabupaten TTS-NTT,  tempat tinggal Debi sekeluarga.   

Perjalanan sekolah Debi sejak jenjang SD hingga SMA penuh perjuangan. Ia punya pengalaman ditolak mendaftar di SD karena postur badannya terlalu kecil.  Kemudian saat SMP, Debi harus menempuh jarak 14 km berjalan kaki  pergi pulang ke sekolah setiap hari. 

Sampai SMA pun, gadis yang ingin menjadi penyanyi ini mesti mendaftar di SMA yang berjarak 10km dari rumahnya. Ia akhirnya memilih untuk menempati asrama sekolah yang disiapkan untuk siswa. 

Ketekunananya bersekolah dilatari oleh kenyataan kehidupan keluarganya.  Kedua orangtuanya hanyalah tamatan SD,  ketiga abangnya malah drop out di bangku SD. Fakta itu menjadi pelecut semangat Debi untuk bersekolah setinggi-tingginya. Penyuka pelajaran Bahasa Indonesia ini bertekad untuk mengubah nasib keluarganya dengan ilmu pengetahuan sebagai pintu masuknya.  

Debi Bansole. Dokpri
Debi Bansole. Dokpri
Berpegang teguh pada pesan ibunda ketika mendaftar di SMA. "mama pesan saat mendaftar agar sekolah baik-baik supaya balas mama dan bapak punya keletihan", kata Debi mengulangi ucapan mamanya. 

Dengan pesan mamanya ini, Debi patut berbangga. Ia kini menjadi satu-satunya anggota keluarga, seorang anak perempuan dengan kelainan fisik yang mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang sekolah menengah atas.

Ruang belajar pada salah satu sekolah di NTT. Sumber: Pos-kupang.com
Ruang belajar pada salah satu sekolah di NTT. Sumber: Pos-kupang.com
Kemiskinan di NTT
Data survey sosial ekonomi (Susenas) Maret 2019 menunjukan jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 1.146,32 ribu jiwa. Angka ini meningkat 12,21 ribu orang dibanding keadaan pada periode  September 2018. Pada periode September 2018-Maret 2019, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan mencapai 24,91 persen, sementara wilayah perkotaan mencapai 8,84 persen. 

Dari sisi demografi, sebaran penduduk NTT memang sebagian besar berada di daerah pedesaan. Angka BPS NTT pada 2018 tercatat penduduk di wilayah pedesaan mencapai 78,13 dari jumlah keseluruhan penduduk NTT.

Data BPS juga menunjukan rata-rata lama sekolah di NTT pada 2018 masih berada pada angka 7,3, berada di bawah angka nasional yang mencapai 8,17. Artinya secara rerata, penduduk NTT yang berusia 25 tahun menempuh pendidikan selama 7,3 tahun atau menamatkan kelas VII, (tamat SMP kelas VII), (opini Leonar Do Da Vinci, florest post.com 12/8/2019). Data ini mengerikan, untuk generasi dan masa depan NTT.

James J. Fox. Sumber: press.anu.edu.au
James J. Fox. Sumber: press.anu.edu.au
Saya jadi teringat pada sepenggal nasehat masa lalu seorang James Fox. Fox, cendekia dari Australian National University dalam artikelnya, Perspectives on Development in NTT  yang dimuat dalam laporan SMERU, 32;2009 menulis begini:

"NTT membutuhkan investasi besar di semua sektor ekonominya, dan investasi yang akan membuahkan hasil terbesar adalah komitmen semua pihak untuk meningkatkan pendidikan di berbagai jenjang. Sang etnolog bahkan menganjurkan kepada warga NTT yang berada di NTT maupun dalam diaspora untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan mengembalikan budaya pendidikan. Tidak bisa lain harus melalui pendidikan,". 

Garis tebal dari kode keras Fox adalah pentingnya pendidikan.  Alam NTT yang tandus tidak cukup menjadi sandaran hidup. Butuh akses lain untuk mewujudkan kesejahtraan warga, dan itu adalah ilmu pengetahuan.

Sayang, berpuluh puluh tahun komitmen pemerintah baik propinsi dan kabupaten/kota di NTT pada pengembangan pendidikan belum menggembirakan. Kita jadi iri pada niat pemprov Jawa Tengah. Gubernur Ganjar Pranowo memprogramkan sekolah gratis bagi siswa miskin di Jateng mulai 2020 dengan dukungan anggaran 1 triliun, (kompas.com, 14/8/2019). 

Membandingkan NTT dengan Jateng memang tidak apple to apple, hanya saja ini bukan soal nilai anggarannya, tapi komitmen pemerintahnya yang mesti jadi contoh. Di NTT, kita terus berkutat dengan  akses ke sekolah yang jauh, fasilitas belajar terbatas, kekurangan tenaga guru, anggaran pendidikan 20% belum terkover dalam APBD murni, ini cerita lama yang terus berulang. 

Dengan begini, perjuangan nona Bansole menjadikan pendidikan sebagai exit strategy dari jerat kemiskinan keluarganya tampak berat, tetapi jika semua pihak terkait di NTT merespon nasehat James Fox, maka kita mungkin belum terlambat untuk memperbaiki rapor merah statistik kemiskinan di NTT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun