Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mari Gali Nilai Kearifan Lokal dan Memajukan Pendidikan Kita

1 Maret 2019   16:54 Diperbarui: 1 Maret 2019   21:16 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini ditulis dengan inspirasi dari sosok seorang perempuan tani, sekaligus orang tua tunggal untuk dua orang anak. Namanya, Ina Kidi Uhen. Usianya 54 tahun dari Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebagai petani lahan kering, ia tidak pernah berpikir bahwa kedua anaknya kelak akan bersekolah sampai meraih gelar sarjana. Martina (28) anak pertama adalah lulusan Sekolah Tinggi Pelayaran di Makasar dan kini bekerja di Jakarta dan sang adik Martin (25), alumni Jurusan Kesehatan Lingkungan pada Politeknik Kesehatan Negeri Kupang, saat ini mengabdi pada sebuah Puskesmas di Adonara.

Sejak kecil, Ina Kidi hidup bersama ibu dan adik perempuannya, Ina Hunu (45). Pada tahun 2000, disepakati, sang adik berangkat merantau ke Malaysia, sementara Ina Kidi tetap di kampung menemani dan merawat sang mama. Sang adik inilah sponsor utama pembiayaan sekolah hingga kuliah kedua anak Ina Kidi. Model sponsorhisp seperti ini hampir dilakukan semua keluarga di Adonara NTT hingga kini.

Tulisan ini ingin menggali nilai kultur kearifan lokal, yang berkontribusi positif pada bidang pendidikan. Sampelnya adalah praktek cerdas memajukan pendidikan berbasis kearifan lokal, yang dijalankan masyarakat Adonara, pulau kecil di ujung Flores bagian Timur, Nusa Tenggara Timur. Paparan berikut ini ingin menunjukan seberapa kuat irisan relasi keduanya.

Pertama, secara kultur, etnis Lamaholot yang menghuni Pulau Adonara terkenal dengan kebiasaan merantau, terutama ke Sabah, Malaysia Timur. Tradisi merantau ke Malaysia sudah dilakukan orangtua dulu ketika di Malaysia masih mengenal zaman British. Hal ini dibuktikan dengan adanya istilah "Perantau British", frase yang populer di era 80an, untuk merujuk generasi tua Lamaholot yang merantau berpuluh tahun sebelumnya dan sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia hingga kini.

Puncak kejayaan sejarah pekerja migran etnis Lamaholot di Malaysia sangat terasa pada rentang waktu 1980 sampai awal 1990an. Pada periode itu, di Adonara, orang berbondong-bondong berangkat ke Sabah, setiap dua minggu sesuai jadwal kapal PELNI yang melayani rute Larantuka-Nunukan. Rata-rata, 9 dari 10 keluarga mengirim salah satu anggota keluarga merantau ke Sabah Malaysia.

Benefit secara ekonomi benar-benar dirasakan kala itu. Ekonomi keluarga membaik. Rumah warga yang dulunya beratap rumput ilalang, berdinding bilah bambu diganti. Banyak perantau membangun rumah permanen nan megah. Kelimpahan puing-puing Ringgit juga mendorong banyak orang tua mulai berpikir tentang investasi pendidikan anak-anak untuk masa depan.

Maka lahirlah skema pembiayaan pendidikan yang unik. Jadi, di Adonara, dalam satu keluarga, satu atau dua anggota keluarga berperan menjadi "fund raiser", dengan bekerja di Malaysia. 

Hasil upah disisihkan dan dikirim ke kampung untuk membiayai anggota keluarga lain yang didorong untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini pula yang dilakukan Ina Kidi dan keluarga kecilnya.

Semua dilakukan dengan ikhlas, semata-mata untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, juga untuk mengangkat martabat lingkaran keluarga secara sosial. Hasilnya memang dasyat. 

Banyak pegawai, pejabat, polisi/tentara, wirausahawan asal Adonara, sukses dari hasil keringat para anggota keluarga yang bekerja di Malaysia. Pada tataran ini, terbukti bidang pendidikan berkontribusi besar pada putusnya rantai kemiskinan, dengan kultur merantau sebagai pintu masuknya (entry point).

Kedua, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan program pemerintah berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti peserta didik melalui aktivitas seperti membaca, menulis, meringkas, memodifikasi, menceritakan. 

Oleh pemerintah, GLS kemudian diperluas ruang lingkupnya menjadi Gerakan Literasi Nasional (GLN), dengan cakupan pada literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital serta budaya dan kewargaan. Di tangan sejumlah guru pegiat literasi di Flores Timur, gerakan literasi mendapat tempat istimewa di hati warga sekolah dan lintas sektor terkait.

Ini terjadi di Kecamatan Witihama, Pulau Adonara. Kampanye gerakan literasi secara masif dilakukan melalui donasi buku ke sekolah-sekolah dan pelatihan menulis bagi siswa. Di tingkat komunitas, aksi yang sama dilakukan dengan sasaran taman baca desa dan para pengelolanya.

Gerakan itu tampaknya sukses menggugah kesadaran dan pola pikir khalayak di Witihama, tentang arti penting literasi untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu. Kesadaran ini kemudian melahirkan terobosan, menyelenggarakan kegiatan Pawai Literasi pada 28 Nopember 2018, sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.

Pawai ini diikuti seluruh siswa, guru dan kepala sekolah jenjang SD-SMA, Pemerintah Kecamatan, Kepala Desa, pihak Polsek, Babinsa, para staf Puskesmas, ibu-ibu PKK dan tokoh masyarakat. Keterlibatan semua unsur lintas sektor ini, menjadi gambaran tingkat kesadaran para stakeholder terkait dalam upaya memajukan pendidikan.

Rute pawai mengelilingi lima desa dalam wilayah kecamatan. Ruang kreatifitas untuk peserta didik dibuka selebar-lebarnya mengiringi jalannya pawai. Ada beragam pentas kreasi literasi, deklamasi puisi, dan atraksi drum band. 

Visualisasi pawai semakin menarik, dengan desain pakaian sejumlah siswa dari bahan koran bekas, sebagai simbol ajakan gemar membaca. Kampanye menggiatkan budaya membaca juga disampaikan melalui poster-poster yang dibawakan para pelajar. 40 sekolah dan lebih dari 2.000 orang yang antusias mengikuti pawai literasi ini. Sangat meriah!

Di balik kemeriahan itu, terkandung nilai-nilai hebat tentang partisipasi, sinergi, kearifan lokal dan kesadaran kolektif semua pihak dalam ekosistem pendidikan. Piranti nilai-nilai mulia ini diperlukan untuk menciptakan iklim pengembangan pendidikan yang mutual, antara nilai budaya kearifan lokal dan pendidikan itu sendiri. Di ranah ini, pendidikan merupakan gerakan kultural karena ia menjadikan budaya dan kearifan lokal masyarakatnya sebagai basis.

Pendidikan yang baik dan berkualitas adalah pendidikan yang partisipatif. Partisipasi ini merujuk pada keterlibatan sekolah, keluarga dan masyarakat dalam sebuah upaya sadar untuk memenuhi kebutuhan kognitif anak-anak dengan ilmu pengetahuan dan membentuk karakter mereka. 

Harmoni ketiga pusat kekuatan ini merupakan fondasi utama untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki akhak dan karakter mulia. 

Pelibatan pusat kekuatan pendidikan, yang dipelopori Ki Hajar Dewantara dengan konsep Tri Sentra Pendidikan delapan puluh sembilan tahun silam, hingga kini tetap kontekstual dan survive dalam sistem pendidikan kita, meski kurikulum berubah dari waktu ke waktu.

Perspektif keterlibatan itu mencakup daya dukung kapasitas manusia (ide, gagasan dan tenaga), termasuk sistem tatanan, kultur dan nilai-nilai kearifan lokal tertentu yang tumbuh dalam suatu komunitas. 

Indonesia merupakan salah satu negara paling heterogen di dunia. Perbedaan budaya, suku, etnis, agama, bahasa, sesungguhnya merupakan kekayaan. Secara khusus, ragam kekayaan tradisi budaya bisa berkontribusi besar bagi setiap bangsa dan peradaban umat manusia. Wujud tradisi budaya itu bisa berbentuk pengetahuan alam, aktivitas sosial, kesusatraan, musik, spiritualitas, gaya hidup dan ekspresi kreatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun