Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Esports dalam Kurikulum Pendidikan dan Derita Siswa Pelosok

5 Februari 2019   05:49 Diperbarui: 7 Februari 2019   14:53 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada juga Piala Presiden esports 2019 yang mempertandingkan pemain Mobile Legends. Event itu terlebih dahulu akan diselenggarakan di 8 kota besar, Bekasi, Solo, Surabaya, Palembang, Manado, Pontianak, Makasar, Denpasar. 

Menurut saya, wacana Menpora ini sekali lagi menunjukan kecendrungan para pembuat kebijakan yang menggunakan paramater pendidikan Jakarta (Jawa) maupun kota besar lain untuk menghasilkan kebijakan baru yang berlaku secara nasional. Ini jelas tidak fair. 

Pemerataan akses dan fasilitas memang sedang giat dilakukan Kemdikbud dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengupayakan esports menjadi muatan kurikulum dengan titik berat pada pemanfaatan teknologi IT, bisa jadi hanya akan memperpanjang  disparitas kualitas antara sekolah di Indonesia bagian Barat dan Timur secara umum, dan khususnya sekolah-sekolah di kota dan di pedalaman. 

Benar bahwa secara eksibisi, esports resmi dipertandingkan pada Asian Games 2018 di Jakarta 2018 lalu. Akan tetapi, ikhtiar menjadikannya pelajaran di sekolah bukan hal yang urgent, tidak perlu terburu-buru.  

Dari perspektif opportunity and demand, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi ketika membuka Pasanggirinas dan kejuaraan silat ASAD 2017 di Jakarta, sebetulnya tidak hanya esports, Jokowi juga mengagas bidang lain seperti Megatronika, Logistik, Retail dan Animasi berpeluang masuk dalam kurikulum pendidikan. 

Hemat saya, esports belum perlu dijadikan mata pelajaran untuk dipelajari di sekolah dari jenjang SD-SMA sederajat, terutama untuk sekolah-sekolah di pelosok negeri. Ia cukup dijadikan salah satu pilihan extra kurikuler, sehingga setiap sekolah punya opsi memilihnya atau tidak, tergantung kebutuhan, fasilitas pendukung dan minat para peserta didik. 

Kita tidak boleh meniru dengan sembarangan, apa yang terjadi di luar negeri. Biar pemprov, pemkot dan para guru mengenal terlebih dahulu apa itu e sport" demikian tanggapan Hayono Isman, Ketua Umum Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). 

Tilaria Padika dalam prolog tulisannya tentang isu ini di Kompasiana menulis "Bangsa kita mungkin akan selamanya bermental latah tukang mengekor. Ke mana angin bertiup, ke sana pula kita tergesa-gesa menuju. Bangsa kita mungkin selamanya follower, bukan pelopor. Bangsa kita boleh jadi abadi user, bukan pencipta. Nasib kita berakhir tukang klik layar fronted, bukan pengembangnya".  

Dari kalangan praktisi pendidikan, kritik datang dari Doni Koesoema.  "Game online, sebagus apapun, hanya akan menjauhkan anak dari interaksi sosial anak-anak. Esports hanya fokus pada kegiatan non fisik, atau hanya melibatkan olah pikir dan keterampilan" katanya. 

Selebihnya, sebagai guru pelosok, saya berharap pemerintah bijak menyikapi wacana ini. Implementasi kurikulum 2013 yang keteteran cukup jadi pelajaran penting, bahwa akselerasi kebijakan tidak bisa disejajarkan antar sekolah dari Sabang sampai Merauke, dari Rote hingga Sangihe Talaud.   

KurikulumEsports

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun