Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

"Welcome English Day" di NTT

29 Januari 2019   22:45 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:36 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. www.babbel.com

Thinking out of the box. Prinsip ini benar-benar dianut Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Visi kepemimpinannya penuh gebrakan, enerjik dan tidak normatif. Gebrakan terbarunya adalah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2018 tentang Penerapan Hari Berbahasa Inggris (English Day) di Nusa Tenggara Timur. 

Tujuan penerapan Pergub ini adalah pertama, menjadikan Bahasa Inggris sebagai salah satu media komunikasi dalam aktivitas perkantoran, maupun kehidupan sehari-hari di seluruh wilayah NTT.

Kedua, meningkatkan kompetensi Bahasa Inggris para Aparatur Sipil Negara (ASN), karyawan swasta dan seluruh komponen masyarakat NTT.

Ketiga, menyiapkan sumber daya manusia NTT yang cakap dalam menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Tidak main-main, Pergub juga memberi peluang bagi perangkat daerah/lembaga untuk mengalokasikan anggaran dalam rangka peningkatan keterampilan berbahasa Inggris. Khusus bagi desa-desa wisata, para pihak terkait diwajibkan mensosialisasikan penggunaan Bahasa Inggris dalam aktivitas kerja. 

Pergub ini mulai efektif berlaku Rabu 30 Januari 2018. Dasar pijakan pemberlakuan Pergub ini tidak terlepas dari potensi pariwisata NTT yang terus menunjukan tren pertumbuhan yang positif.

Di Labuan Bajo misalnya, Balai Taman Nasional Komodo mencatat jumlah pengunjung wisatawan sepanjang Januari-Oktober 2018 mencapai 126.599 orang. Dari jumlah itu, 82.542 di antaranya adalah turis asing dan wisatawan domestik sebanyak 44.057 orang (www.republika.co.id).

Namun demikian, karena Pergub ini menyasar semua kalangan, tidak hanya para pihak yang berhubungan dengan layanan kepariwisataan, maka tantangan pelaksanaannya juga menjadi sangat besar. 

Mempelajari Bahasa Inggris sebagai bahasa asing bukan perkara mudah. Butuh waktu kemauan dan terutama minat. Pertama soal waktu. Para pelajar Indonesia mempelajari Bahasa Inggris setidaknya 6-8 tahun terhitung sejak SMP hingga Perguruan Tinggi.

Dengan durasi selama itu, idealnya mereka rata-rata bisa menggunakan Bahasa Inggris. Faktanya jauh dari itu. Lulusan SMA sederajat, atau sarjana S1 sekalipun, umumnya belum menguasai Bahasa Inggris dan memakainya untuk berkomunikasi. 

Kedua, tentang kemauan dan minat. Setiap bahasa memiliki keunikan masing-masing. Secara struktur, morfologi dan aspek fonologi, Bahasa Indonesia memang jauh berbeda dengan Bahasa Inggris.

Perbedaan bentuk tulisan dan bunyi pengucapan, bagi banyak orang merupakan salah satu masalah besar yang membunuh minat dan kemauan untuk belajar.

Kendala seperti inilah yang kemudian membentuk persepsi orang bahwa Bahasa Inggris itu sulit dan sebagainya.

Dengan gambaran seperti ini, saya membayangkan bagaimana menerapkan penggunaan Bahasa Inggris di lingkup organisasi perangkat daerah, kalangan swasta dan masyarakat umum, hanya dalam konteks "sekedar berkomunikasi".

Bagaimana kalau di satu unit/bagian atau bahkan kantor tak ada satupun staf yang memiliki kemampuan itu? Ini pertanyaan konyol tetapi bisa saja terjadi.

Hemat saya, mesti ada pedoman untuk merespon kemungkinan kondisi di lapangan seperti ini. Bagian terberat dari Pergub ini adalah, bagaimana proses membangun kapasitas para staf OPD/kantor agar bisa memiliki keterampilan Bahasa Inggris. 

Caranya menurut saya, jika pemerintah Provinsi NTT serius, berdayakan tenaga guru-guru honorer Bahasa Inggris yang jumlahnya merata di semua daerah. Mereka bisa menjadi hire staf, tersebar di kantor-kantor/OPD. Tugas mereka menjadi pemantik sekaligus mentor bagi staf lain untuk proses pembiasaan (habit formation).

Mereka juga bisa mendesain program-program pendukung seperti focus group discussion menggunakan Bahasa Inggris. Dengan model coaching seperti ini, secara psikologis para staf akan lebih percaya diri untuk berbicara dalam Bahasa Inggris.

Dengan cara ini, Bahasa Inggris benar-benar dipelajari sebagai alat komunikasi (communication tool), bukan sebagai ilmu pengetahuan dengan segala atribut tata bahasa yang kaku dan normatif. 

Dalam bentuk yang paling sederhana, selain komunikasi lisan, aktivitas texting di media sosial juga bisa menjadi wahana yang efektif untuk melatih kemampuan Bahasa Inggris.

Kecendrungan umum menunjukan, komunikasi di media sosial membuat orang lebih terbuka dalam menyampaikan ide dan pikiran.

Artinya, media sosial bisa menjadi pintu masuk yang bagus untuk mengembangkan kemampuan Bahasa Inggris, baik lisan maupun tulisan. 

Kita tunggu, seperti apa gebrakan Pergub English Day ini dilaksanakan di lapangan, dan bagaimana respon para pegawai/karyawan dan masyarakat NTT. Akankah Pergub ini efektif atau kembali menjadi pajangan di lemari arsip dokumen hukum daerah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun