Perbedaan bentuk tulisan dan bunyi pengucapan, bagi banyak orang merupakan salah satu masalah besar yang membunuh minat dan kemauan untuk belajar.
Kendala seperti inilah yang kemudian membentuk persepsi orang bahwa Bahasa Inggris itu sulit dan sebagainya.
Dengan gambaran seperti ini, saya membayangkan bagaimana menerapkan penggunaan Bahasa Inggris di lingkup organisasi perangkat daerah, kalangan swasta dan masyarakat umum, hanya dalam konteks "sekedar berkomunikasi".
Bagaimana kalau di satu unit/bagian atau bahkan kantor tak ada satupun staf yang memiliki kemampuan itu? Ini pertanyaan konyol tetapi bisa saja terjadi.
Hemat saya, mesti ada pedoman untuk merespon kemungkinan kondisi di lapangan seperti ini. Bagian terberat dari Pergub ini adalah, bagaimana proses membangun kapasitas para staf OPD/kantor agar bisa memiliki keterampilan Bahasa Inggris.Â
Caranya menurut saya, jika pemerintah Provinsi NTT serius, berdayakan tenaga guru-guru honorer Bahasa Inggris yang jumlahnya merata di semua daerah. Mereka bisa menjadi hire staf, tersebar di kantor-kantor/OPD. Tugas mereka menjadi pemantik sekaligus mentor bagi staf lain untuk proses pembiasaan (habit formation).
Mereka juga bisa mendesain program-program pendukung seperti focus group discussion menggunakan Bahasa Inggris. Dengan model coaching seperti ini, secara psikologis para staf akan lebih percaya diri untuk berbicara dalam Bahasa Inggris.
Dengan cara ini, Bahasa Inggris benar-benar dipelajari sebagai alat komunikasi (communication tool), bukan sebagai ilmu pengetahuan dengan segala atribut tata bahasa yang kaku dan normatif.Â
Dalam bentuk yang paling sederhana, selain komunikasi lisan, aktivitas texting di media sosial juga bisa menjadi wahana yang efektif untuk melatih kemampuan Bahasa Inggris.
Kecendrungan umum menunjukan, komunikasi di media sosial membuat orang lebih terbuka dalam menyampaikan ide dan pikiran.
Artinya, media sosial bisa menjadi pintu masuk yang bagus untuk mengembangkan kemampuan Bahasa Inggris, baik lisan maupun tulisan.Â