Namanya Viktor Bungtilu Laiskodat(VBL), Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Memimpin NTT sejak September 2018, saat ini ia seperti fenomena bagi orang NTT di manapun. VBL bukan tipikal pemimpin yang lemah lembut.
Bicaranya tegas, dengan aksen Kupang yang kental. Selama tiga hari berkunjung ke kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 27-29 Januari 2018, "terapi" verbal ciri khasnya juga senantiasa ia lontarkan. Bahkan, boleh jadi, bagi pemda  dan warga TTS, kunjungan Gubernur NTT kali ini tidak akan bisa terlupakan.
Ini karena dalam kunjungan ini VBL melontarkan  pernyataan garang yang banyak dishare netizen di TTS dalam dua hari terakhir. Dalam kesempatan tatap muka dengan kalangan medis TTS, VBL mengatakan akan memberhentikan sekda TTS, bila dalam dua bulan ke depan tidak mampu menyelesaikan persoalan pengurusan KTP di TTS.Â
"Pak Sekda tidak selesaikan masalah KTP maka saya  berhentikan. Beberapa kali saya telepon Ketua DPRD TTS, hanya ketua DPRD nya tukang ngantuk. Sayangnya, pemimpin di TTS ini, Ketua DPRD dan Bupati sama nganga (namkak dalam bahasa Dawan di TTS) dan tololnya" kata Gubernur Victor, (www.voxntt.com).
Seorang teman bergumam, sesaat setelah membaca berita pernyataan VBL ini, "apakah kita serendah itu?" Katanya. Dari ekspresinya, saya paham, dia tidak suka dengan diksi "nganga" dan tolol yang digunakan Gubernur VBL.Â
Sebagai pemimpin publik, cara berkomunikasi seperti Pak Gubernur Victor mungkin menandakan karakter tegasnya, tetapi menurut saya beresiko. Gaya demikian berpotensi membawa sejumlah dampak selama mengemban tugas sebagai Gubernur.Â
Pertama dampak secara politik. VBL memimpin dengan gaya komunikasi yang riskan. Pernyataan-pernyataan kontroversialnya selama ini hampir semuanya dirilis media, baik cetak maupun online. Rilis tersebut sudah mulai memenuhi lemari arsip para lawan politik. Dalam jangka pendek, pihak lawan bisa saja mulai menggunakan "senjata" itu, untuk misalnya membenturkan dengan kinerja VBL.
Peluang mengeksplor pernyataan VBL lebih terbuka dalam jangka panjang, ketika kontestasi pemilihan gubernur kembali digelar lima tahun ke depan. Meski masih terlalu dini menafsir ini, tetapi terbukti di banyak daerah, politik juga menggunakan jejak digital sebagai alat attack and counter. Kekuatan arsip digital memiliki daya kejut yang sering tak terduga, karena kepiawaian lawan memanagenya.Â
Pelajaran untuk ini semuanya sempurna dalam diri Basuki Tjahaya Purnama (BTP). BTP yang straight to the point gayanya, ceplas-ceplos dan mampu menyeimbangkan substansi pembicaraannya dengan data, toh pada akhirnya ia terpeleset oleh gaya komunikasinya.Â
Kedua, dampak sosial. VBL sepertinya tidak terlalu pusing dengan pilihan diksi dalam pembicaraannya. Ia tidak pusing dengan perasaan orang yang menjadi sasaran bicaranya. Ini fatal, apa lagi jika konten pembicaraan menyinggung orang, komunitas atau bahkan khalayak luas di suatu wilayah tertentu. "Ketersinggungan" secara masif bisa menjadi pemantik timbulnya konflik sosial. Di NTT hal seperti ini sangat potensial.Â
Meski berbeda kasus, peristiwa pencekalan seorang mahasiswi asal kabupaten Alor di bandara El Tari awal Januari ini bisa jadi contoh. Perlakuan staf Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT yang diskriminatif itu memicu kemarahan masyarakat Kabupaten Alor. Kemarahan itu kemudian ditunjukan melalui aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat di Alor dan Kupang. Sebagai pemimpin, tentu saja VBL tidak ingin fokus kerjanya tersita untuk mengurus konflik seperti itu.Â
Ketiga, dampak elektoral. Sebagai seorang politisi yang lama makan asam garam di senayan, VBL tahu arti penting elektabilitas. Di Jakarta, VBL berbicara dengan gaya apapun, itu tidak banyak memiliki dampak turunan pada masyarakat NTT di Timor, Flores, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan lainnya. Tapi Ia kini sehari-hari berada di NTT, sepak terjangnya langsung diamati dan dialami publik dari kota hingga pelosok.
Dengan begitu, setiap orang punya "portofolio" masing-masing tentang sosok VBL. Harapannya tentu portofolio itu terisi dengan record yang positif, tetapi jika sebaliknya, maka di sinilah letak kerentanan elektabilitas VBL. Jika demikian, gaya komunikasinya dalam kapasitas sebagai gubernur boleh jadi merupakan bom waktu bagi dirinya sendiri.
Keempat dampak di bidang pendidikan. Sebagai pendidik, cara berkomunikasi VBL bagi saya kurang berkenan dari perspektif pembelajaran dan teladan seorang pemimpin kepada rakyatnya. Di era internet ini, semua orang terhubung dengan banyak media online, juga saling berinteraksi  dengan orang lain di media sosial.
Itu termasuk kalangan anak-anak sekolah yang akrab dengan gawai. Maka dengan pola komunikasi seperti yang dilakukan VBL, pembelajaran apa yang bisa dipetik para pelajar kita dari seorang pemimpin? Bukankah pemimpin juga memiliki dimensi pembelajaran yang bisa diambil para peserta didik?Â
Presiden Soekarno dan Barack Obama adalah dua pemimpin yang banyak digandrungi para anak muda, mahasiswa dan pelajar karena gaya retorika mereka. Dampaknya, itu memantik semangat para mahasiswa dan pelajar untuk terjun dalam kelompok-kelompok debat di kampus dan sekolah.
Itulah inspirasi dengan pemimpin sebagai modelnya. Oleh karena itu rasanya kontraproduktif jika kita sedang giat melawan hate speech dan disaat bersamaan tumbuh subur unproductive speech di ruang publik, itu patut disayangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI