Bencana alam memang umumnya sulit diprediksi datangnya, tetapi beberapa dari itu bisa diprediksi. Banjir dan longsor ini sebenarnya bisa diperkirakan. Indikasinya bisa diamati dari kejadian atau situasi tertentu seperti hujan berkepanjangan yang berpotensi banjir atau longsor di tanah berkontur miring dan berbukit.Â
Mengamati peristiwa bencana banjir dalam sembilan tahun terakhir di desa Toineke dan wilayah Oehani yang mencakup desa Tuafanu, dan Kiufatu Kabupaten Timor Tengah Selatan-NTT bagi saya bikin sedih sekaligus kesal.Â
Sedih karena kejadiannya berulang-ulang, selama musim hujan, tiap tahun. Kondisi kerentanan bencana di wilayah ini dihadapi masyarakat dalam kesendirian dan kepasrahan mereka, dengan minimnya perhatian pemerintah untuk mencegah banjir datang di setiap musim hujan. Itu letak kesalnya.Â
Secara geografis, wilayah desa Toineke dan Oehani terletak di dataran rendah pesisir Selatan Pulau Timor yang membentang dari Kecamatan Amanuban Selatan, Kualin dan Kolbano di Kabupaten TTS. Sejumlah bagian dari ketiga wilayah kecamatan ini langganan banjir tiap tahun.Â
Letak desa Toineke persis di bantaran kali Noemuke memang sangat rentan dengan banjir. Tingginya sedimentasi di kali Noemuke membuat aliran air gampang meluap.Â
Kejadian terakhir pada medio Desember 2018 lalu, saat itu sebagian warga Toineke dan Oehani kaget dengan munculnya banjir dan material lumpur di wilayah mereka disaat cuaca wilayah itu cerah ceria. Rumah, sekolah, tempat ibadah, pekarangan, kebun, kandang ternak, semuanya terendam.Â
Apa boleh buat, warga hanya bisa pasrah, menunggu hadirnya panas matahari mengeringkan genangan air di rumah dan pekarangan warga. Banjir terparah pernah terjadi tiga tahun berturut-turut pada 2011, 2012 dan 2013. Cakupan wilayah yang tergenang ketika itu sangat luas. Â Bencana itupun menjadi KLB di TTS.Â
Sayangnya, kejadian menahun itu tidak pernah jadi pelajaran, terutama oleh pemerintah sebagai otoritas utama. Bertahun-tahun nyaris tidak ada tindakan mitigasi selain satu-satunya jalan normalisasi kali Noemuke yang kemudian menjadi masalah pada 2014 lalu. Normalisasi yang dilakukan kala itu tetap tidak menjadi solusi karena faktanya aliran banjir tetap meluap masuk pemukiman warga.Â
Banjir yang menggenangi wilayah pemukiman warga butuh waktu lama untuk kering, karena kontur tanah yang datar membuat aliran air tidak lancar. Â Maka kanal diperlukan untuk mengarahkan air bisa mengalir masuk ke laut.Â
Jangan lupa, wilayah selatan ini merupakan salah satu kantung produksi penting di bidang pertanian, peternakan dan perikanan di kabupaten TTS. Di dataran Bena, ada ratusan hektar sawah yang tak henti menyuplai kebutuhan beras warga. Wilayah selatan juga merupakan lumbung ternak (sapi, kambing, babi) sebagai sumber pendapatan masyarakat.Â
Potensi lainnya adalah perikanan baik ikan air laut  maupun air tawar. Potensi ikan laut seperti Raja, Kerapu, Kakap, Gargahing sangat melimpah meski musiman pada bulan Oktober-April.Â
Sementara ikan Nila, Gurami dan Mujair banyak dibudidayakan di desa Tuafanu. Di pantai selatan juga terdapat beberapa objek wisata menarik yang ramai pengunjung seperti pantai Oetune di Kualin dan Fatuun di Kolbano.Â
Potensi-potensi ini tidak boleh dibiarkan menjadi  rentan pada bahaya bencana, karena di sinilah hidup warga disandarkan.  Pemda TTS harus menyadari ini.Â
Paul Mella sebagai Bupati dua periode belum menunjukan perubahan signifikan pada bencana banjir yang melanda warga Toineke dan Oehani selama 10 tahun memimpin. Pada pemilu Bupati akhir 2018 lalu, TTS memiliki pemimpin baru pada pasangan Epi Tahun-Army Konay. Â
Desa Toineke dan Oehani merupakan bagian dari daerah pemilihan IV TTS yang mencakup kecamatan Amanuan Selatan, Noebeba, Kualin, Kuanfatu dan Kolbano. Ada delapan kursi DPRD TTS dari dapil ini.Â
Siapapun yang terpilih April nanti, 8 orang ini harus menjadikan banjir Toineke Oehani sebagai salah satu agenda perjuangan di DPRD TTS lima tahun ke depan.Â
Pada awal Januari ini, ada seorang caleg incumbent DPR RI mengunjungi warga Toineke dan menyinggung rencana normalisasi kali Noemuke. Saya berpikir, mungkinkah normalisasi dilakukan dengan APBN? Entahah.Â
Anyway, dari manapun sumber dan oleh siapapun, warga Toineke dan Oehani layak mendapat perhatian atas hak suara mereka dalam pemilu, baik pilbup maupun pileg. Â Jika tidak, kasihan benar, nasib mereka tidak berubah dari pemilu ke pemilu.Â
Sumber;Â
www.surayinside.com
www.voxntt.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H