Belasan tahun kemudian, impian itu memang tidak terwujud tapi menjadi pengajar dengan passion menulis, itu patut disyukuri. Sebagai seorang guru, menulis untuk Kompasiana kadang memantik perasaan, seolah-olah seperti seorang jurnalis, meski tanpa media. Perasaan yang janggal, tapi didalamnya terkandung berlipat ganda energi untuk menulis.Â
Menulis, hemat saya memiliki dua dimensi penting; pertama, sebagai individual creativity- wahana mengasah kerja kognisi dan menghindari otak dari krisis imajinasi. Dengan menulis, otak melewati proses produksi dengan ide dan gagasan sebagai produknya. Dimensi kedua adalah tulisan sebagai hasil dari proses kreatif itu mesti punya social impact. Menulis untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik, itu impian semua penulis.Â
Untuk ini, saya teringat dengan satu artikel pada 9 Januari 2019, judulnya "Keren, Kebun Jagung Swalayan dengan Konsumen Milenial di Adonara NTT". Artikel ini saya tulis untuk mengisahkan terobosan marketing seorang petani di pelosok NTT, yang menjual bulir jagung muda di kebunnya dengan sistem mirip pola belanja di swalayan.Â
Sepuluh hari setelah artikel itu tayang di Kompasiana, si petani mendapat kunjungan lapangan dari sejumlah mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Nusa Nipa Maumere-Kabupaten Sikka. Para mahasiswa jauh-jauh datang ke Adonara, karena tertarik mempelajari inovasi sang petani, langsung di kebun setelah membaca artikel di Kompasiana itu.Â
Artikel itu pula yang membuka mata saya, bahwa partisipasi warga untuk mengumpul, mengolah dan melaporkan informasi kepada khalayak secara bertanggung jawab ternyata memiliki daya impact positif. Dengan demikian, menulis bagi saya adalah berbagi kebaikan antar sesama. It's the power of citizen journalism.