Pulau Timor semasa penjajahan terbelah menjadi dua bagian utama, yaitu Timor Timur dan Timor Barat. Bagian Timur mencakup wilayah yang kini menjadi Negara Republik Demokratik Timor Leste. Sewaktu menjadi bagian dari Indonesia, namanya Timor Timur. Ini adalah wilayah kolonialisme Portugis.Â
Di sisi lain, Timor bagian Barat adalah wilayah bekas pendudukan Belanda. Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan satu dari enam Kabupaten yang ada di wilayah Timor Barat. Lima daerah otonom lainnya adalah Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), Belu dan Malaka.Â
Sebagai seorang Flores, ini adalah tahun ke 11 saya tinggal dan bekerja di TTS. Waktu yang cukup untuk mengenal masyarakat, tradisi dan alam TTS serta Timor Barat secara umum.
Mayoritas etnis di TTS dan Timor Barat pada umumnya disebut suku Dawan. Bahasa yang dipakai masyarakat sehari-hari adalah Bahasa Dawan dan Melayu Kupang. Etnis Dawan yang juga populer dengan sebutan Atoin Meto sangat tipikal.
Dua ciri khas utama yang mudah dikenali dari masyarakat Dawan, dalam interaksi sosial adalah kebiasaan mengenakan kain tenun daerah berupa selempang atau selimut, serta tradisi mengunyah campuran buah Pinang (Areca Catechu), buah/daun Sirih (Piper Betle) dan bubuk kapur.Â
Tempat untuk menyimpan dan menyajikan cemilan ini namanya Oko Mamat, umumnyanya terbuat dari anyaman daun lontar yang diberi pewarna. Di dalam Oko Mamat, ada juga Kalat, tempat mengisi bubuk kapur. Kalat biasanya terbuat dari potongan bambu seukuran 1 dim, panjangnya sekitar 20 cm.Â
Di TTS, anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki, perempuan, semuanya makan sirih pinang, sangat masif. Untuk keperluan saat mobilitas, setiap orang memiliki alu mama, tas kecil yang digantung di badan saat bepergian.
Selain untuk konsumsi sendiri, Oko Mamat portabel ini berguna ketika si pemilik berpapasan dengan kenalan, sanak keluarga di jalan, maka sambutan paling pertama adalah saling berbagi dan bertukaran sirih pinang, kemudian memakannya bersama.
Jika ada pihak yang kekurangan salah satu bahan, sirih, pinang atau kapur, maka akan dilengkapi dengan kepunyaan pihak lain saat pertemuan itu. Seketika, bibir mereka berubah merah merekah. Campuran sirih, pinang dan kapur setelah dikunyah memang menghasilkan residu berwarna merah pekat.Â
Di level komunitas, makna kebiasaan mengunyah sirih pinang jauh lebih besar. Ketika bertamu ke rumah orang misalnya, suguhan paling pertama dari tuan rumah sebelum teh atau kopi adalah sirih pinang.
Di acara hajatan, pesta, kedukaan, suguhan pertama menyambut para tamu undangan, pastilah sirih pinang. Setelah jamuan makan, tanda pamit pun pun kembali dengan makan sirih pinang.
Fungsi sosial sirih pinang dalam kehidupan bermasyarakat kaum Atoin Meto, sangat nampak ketika warga menggelar hajatan seperti pesta pernikahan. Sebelum benar-benar sampai pada tahap pernikahan, keluarga kedua calon mempelai biasanya terlibat dalam satu pertemuan yang disebut Makan Sirih Pinang. Tujuan acara ini yaitu saling mengenalkan dan mengakrabkan sanak keluarga laki-laki dan perempuan.
Ketika hari pernikahan digelar, cara tuan pesta mengundang para tamu juga unik, yakni dengan mengirim paket sirih pinang kepada setiap calon undangan. Jika calon undangan menerima paket tersebut, maka undangan itu dianggap sah dan si penerima berkewajiban menghadiri pesta pernikahan. Dalam konteks ini, masyarakat TTS meyakini, bentuk penghargaan tehadap sesama manusia lebih bernilai dengan perantara sirih pinang, bukan dengan undangan yang dicetak di kertas.Â
Dengan kalkulasi kasar seperti ini, artinya dalam sebulan setiap orang menghabiskan Rp 450.000 untuk kebutuhan sirih pinang, di luar kebutuhan dasar harian lain. Nilai ekonomi ini sekali lagi membuktiikan, sirih pinang bagi orang Timor Barat boleh jadi adalah kebutuhan primer.Â
Lalu seperti apa rasanya mengunyah campuran bahan-bahan itu, sehingga membuat orang tak bisa lepas darinya? Pengalaman saya, antara buah/daun sirih dan pinang, keduanya tak ada yang enak di lidah. Apa lagi mencicipi bubuk kapur kosong, tidak mungkin. Rasa sirih di lidah itu cenderung pahit, sedangkan pinang terasa sepat.Â
Namun, ketika sirih, pinang dan kapur dikunyah bersamaan dengan takaran yang pas, sensasi yang dirasakan adalah tubuh jadi lebih segar. Untuk pemula, biasanya ada efek pusing, berkeringat dan raut muka memerah. Dalam beberapa situs kesehatan, diuraikan bahwa biji pinang dan daun sirih mengandung zat psikoaktif yang mirip dengan nikotin, alkohol dan kafein. Tubuh orang yang mengkonsumsinya akan menghasilkan hormon adrenalin yang memberi sensasi segar dan berernergi.Â
Kondisi ini relevan dengan pengakuan banyak rekan saya yang rutin mengunyah sirih pinang. Kata mereka, makan sirih pinang membuat mereka semangat dan bertenaga dalam bekerja. Akan tetapi, butuh riset untuk menguatkan apa yang dirasakan dari konsumsi sirih pinang seperti testimoni itu.Â
Terlepas dari efeknya bagi tubuh secara kesehatan, mengamati kebiasaan makan sirih pinang oleh orang-orang di komunitas tempat tinggal saya memberikan perspektif unik, bahwa tatanan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat kadang terbentuk oleh instrumen yang sulit dijelaskan secara ilmiah.Â
Arti penting mengunyah daging buah pinang, sirih dan kapur bagi Atoin Meto, tidak sekedar pemerah bibir, atau penguat stamina, tapi bahan-bahan itu merupakan perekat hubungan sosial, yang membuat orang merasa sebagai satu kesatuan, saling memberi dan menerima, dan terutama saling menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H