Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Saya, Koran, dan Kompasiana

31 Desember 2018   07:09 Diperbarui: 31 Desember 2018   11:33 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sindonews.com

Perkenalan dengan dunia tulis menulis berawal dari sesuatu yang tidak saya mengerti. Setamat dari bangku SMP di Adonara-Flores Timur saya merantau ke Kupang, ibu kota provinsi NTT untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Di Kupang, saya tinggal dengan abang tertua. Ia wartawan kantor berita nasional Antara. 

Sebagai wartawan, si abang berlangganan beberapa koran lokal dan nasional. Saya akhirnya akrab dengan satu koran nasional, Kompas. Era 90an, bersama Jawa Pos, oplah kedua koran ini melambung tinggi. Koran rujukan nasional lah intinya. 

Ketika masa SMA itulah, kegemaran membaca koran semakin menjadi-jadi. Tapi rubrik yang paling digemari hanya dua, bola dan kolom opini. Yang terkhir ini sulit dijelaskan anak SMA sudah akrab dengan tulisan opini YB Mangunwijaya, Ignas Kleden, Frans Magniz Suseno, Bre Redana, Affan Gafar, sesuatu yang sangat saya syukuri kemudian hari. 

Waktu terus berlalu, hingga saya masuk bangku kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusa Cendana Kupang. Kegemaran pada tulisan memuncak di sini, begitu mengenal penulis akademisi kolumnis koran lokal NTT Pos Kupang dan Timor Express.  For your information, "rivalitas" Kompas dan Jawa Pos di level nasional, juga menurun di  tingkat daerah. 

Di NTT Kompas eksis melalui Pos Kupang (kelompok koran daerah Kompas Gramedia) dan Jawa Pos berkibar dengan harian Timor Express sebagai titisannya. Maka menulis di dua koran tersebut menjadi impian banyak penulis.  Ada Feliks Tans, Marsel Robot, Laurensius Kian Bera, Alo Liliweri dan lainnya. Beberapa dari mereka dosen saya. 

Dari mereka, diam-diam hasrat menulis saya mulai tumbuh, tetapi dengan penuh kecemasan. Hingga akhirnya pada suatu hari di 2001, saya ingat betul, momentumnya pemilihan gubernur NTT. Saat itu isu kesetaraan gender sedang sangat populer. 

Lalu, saya tiba-tiba berpikir, mengapa pada setiap kontestasi politik, itu seperti panggung milik para lelaki? No woman. Pada hal ada potensi besar dalam diri Sarah Lery Mboik, Veronika Ata dan Susi Katipana, beberapa perempuan hebat, rising stars NTT kala itu. 

Kegalauanku itu akhirnya ditulis, rampung. Ini tulisan pertama sepanjang hidupku. Kerisauan mulai muncul, yakin mau dikirim ke media?  Belakangan baru saya sadar, itu syndrom penulis pemula rasa tidak percaya diri dengan menyajikan tulisan ke ruang khalayak. 

Tapi tekad sudah bulat tulisan itu harus dicoba ke koran. Tidak tanggung-tanggung tujuan saya Pos Kupang. Dengan disket 31/2 floppy, filenya ku antar ke kantor Pos Kupang di Jalan Kenari Naikoten 1. 

Dan yes dua hari kemudian tulisan dengan judul "Pilgub NTT, Sebuah Renungan untuk Kaum Hawa NTT", terbit di kolom opini Pos Kupang oleh seorang mahasiswa semester dua. Senang, selain karena teman-teman mahasiswa banyak yang membaca dan mengapresiasi, juga ada honornya. Saya baru tahu, menulis juga dapat duit. Tetapi bukan ini yang bikin saya tidak melupakan tulisan itu. 

Tulisan pertama itu ternyata membawa berkah berlanjut. Di program studi saya, ada mata kuliah menulis (writing), mata kuliah ini berjenjang ada writing 1 di semester 1 dan seterusnya sampai academic writing di semester 4. Dosen pengasuhnya sama setiap semester, dan dia punya challange yang unik untuk mahasiswanya kala itu. 

Bagi mahasiswa yang bisa menulis artikel di Pos Kupang atau Timex, kepadanya digaransikan mendapat nilai A. Saya tersenyum, karena sudah punya 1 stok tulisan, tinggal saya bawa dan tunjukan kepada sang dosen. Dan benar, mata kuliah writing bagi saya benar-benar enteng. Sejak saat itu, semangat menulis sungguh berlipat ganda. 

Singkat cerita kebiasaan menulis opini di koran akhirnya seperti menjadi  hobi, sejak kuliah hingga bekerja. Selama menjadi guru aktifitas menulis memang berkurang, tetapi tetap saya geluti. Menulis sebagai proses kreatif, kerja kognisi, perpaduan emosi dan perasaan, terlanjur saya suka. 

Secara kuantitas jumlah tulisan juga baru 20an opini di dua harian, Timor Express dan Pos Kupang.  Pada 2017, beberapa opini diikutkan dalam lomba menulis artikel pendidikan di Kemendikbud. Tak disangka, satu opini sukses menjadi pemenang ke-3 dari 300an artikel guru se Indonesia. 

Di tahun yang sama, satu opini lain di Pos Kupang mengantar saya menjadi pembicara seminar nasional memperingati HUT Provinsi NTT bersama seorang dosen dari Charles Darwin University Australia, satu lagi dari Australian National University Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Ketua Sinode GMIT NTT dan Kepala Dinas Pendidikan NTT. Pada 2018, tulisan lain juga menjadi nomine lomba jurnalistik pendidikan keluarga Kemendikbud dari 130an tulisan yang dinilai. 

Sampai di sini saya akhirnya menyadari, menulis ternyata mendatangkan banyak berkah tidak hanya finansial tetapi berkah sosial, mengenal banyak orang, membangun jejaring dengan banyak kalangan, belajar banyak hal dari orang lain dan tentu saja jalan-jalan gratis ke Jakarta. Hobby can make money. Hal yang tidak saya duga sejak awal menulis. 

Ilustrasi. Sindonews.com
Ilustrasi. Sindonews.com
Kompasiana

Orientasi, semangat dan motivasi menulis tiba-tiba berubah di penghujung 2018, ketika secara tidak sengaja saya mulai berkenalan dengan medan menulis baru, platform digital bernama blog. Iya, ibarat atlet, penulis juga perlu sparring partner, juga turnament untuk menguji kemampuan saat latihan. 

Menulis opini di koran memang bergengsi, tetapi sangat kompetitif, wajib aktual, dan karenanya semua yang ditulis belum tentu diterbitkan. Jika diterbitkan pun, sebagai penulis, anda tidak pernah tahu berapa banyak orang yang membaca tulisan anda. Kepuasan terbesar seorang penulis adalah ketika tulisannya dibaca oleh banyak orang. 

Berbeda dengan koran, platform blog memungkinkan penulis mengekspresikan ide-ide tulisan sebebas-bebasnya, bisa dipertanggungjawabkan, kapanpun dan dari manapun ia ingin tulisannya ditayang, selama ada koneksi internet. 

Penulis juga bisa tahu berapa banyak orang yang membaca tulisannya, siapa yang mengomentari tulisannya, dan yang unik penulis mendapat kredit point.

Artikel anda bisa menjadi headline atau artikel pilihan setelah dimoderasi oleh redaksi. Sesuatu yang boleh jadi mengindikasikan kualitas tulisan. Sensasinya sungguh berbeda dengan menulis di koran. 

Ini semua ada di Kompasiana. Kompasiana merupakan platform blog dari Kompas Cyber Media. Pepih Nugraha, sang founder menyebutnya etalase warga biasa, karena Kompasiana menjadi saluran berita dan opini semua lapisan warga. 

Sejak memiliki akun sebagai lisensi menulis di Kompasiana pada 04 Desember 2018, ini adalah artikel terakhir di 2018, genap 20 artikel yang saya tulis dengan fokus pada isu pendidikan dan humaniora. Di Kompasiana, saya bahkan berani belajar menulis puisi, ini cerminan kebebasan, impian penulis, meski sastra sebenarnya is not my cup of tea. 

Demikianlah Kompasiana, memberikan pengalaman baru menulis, perspektif baru dan tantangan baru. Sebagai kompasianer, sebutan untuk penulis di Kompasiana, bangga menulis di Kompasiana selain karena ada embel-embel "Kompas"nya, juga karena penulis debutan seperti saya menjadi seperti "go nasional". He he..selamat sukses di tahun 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun