Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satu pintu masuk yang ideal adalah layanan pendidikan bermutu. Di NTT, isu ini penting, tapi belum serius dikelola, terutama pemerintah sebagai penyelenggara layanan pendidikan. Berikut adalah beberapa catatan penulis sebagai guru pelosok, untuk memacu peningkatan SDM NTT di masa depan.Â
Pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten perlu menggagas peningkatan kapasitas kualifikasi guru melalui program magister bahkan doktor, terutama diseleksi dari guru-guru berprestasi di bidang tertentu. Data BPS 2016, pada jenjang pendidikan dasar sebagai fondasi, ada 36,8% guru yang belum berkualifikasi sarjana, SMP 17,6%, SMA 4,2% dan SMK 10,2%.Â
Dengan begitu, jumlah tenaga pendidik yang qualified tersebar merata di seluruh daerah, bahkan hingga ke wilayah pedalaman. Saat ini, meskipun banyak guru bekualifikasi magister, tetapi jumlah mereka justru terkonsentrasi lebih banyak di kota.Â
Aksi nyata misalnya, program pemda untuk membiayai guru, minimal 10 magister per tahun. Â Maka dalam tempo 10 tahun saja, Â akan ada banyak guru berkualitas dengan kualifikasi S2 Â tersebar di daerah. Dengan kapasitas yang ada, pada level ini daya kreasi dan inovasi dalam memfasilitasi pembelajaran akan semakin berkualitas. Tenaga mereka bisa dipakai sebagai guru, pengawas atau semacam konsultan pendidikan di daerah.Â
Ketiga, untuk mendukung upaya di atas diperlukan advokasi terkait, misalnya, tekanan perlu terus diberikan kepada pemerintah agar komit melaksanakan amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran APBD untuk pendidikan, termasuk misalnya untuk mengalokasikan subsidi biaya pendidikan bagi guru-guru.
Di bidang kesehatan, program seperti ini sudah berjalan dibanyak daerah. Caranya, pemda membantu calon dokter putra daerah yang masih menempuh pendidikan, maupun para dokter ahli. Analoginya, dokter yang dibiayai untuk mengurus orang sakit saja bisa, lalu mengapa tidak untuk guru yang bertugas mencetak setiap individu, yang akan berkontribusi dalam pembangunan daerah di masa mendatang?Â
Selain itu advokasi anggaran penting, sekaligus untuk membuka peluang memperbaiki mekanisme penganggaran. Mekanisme penganggaran selama ini belum bersifat partisipatif. Belum ada ruang bagi guru, sekolah dan masyarakat untuk menyampaikan masukan dalam proses perencanaan sampai penetapan anggaran. Pada hal, jika ruang itu dibuka, maka dampak selanjutnya adalah, desain program di dinas pendidikan akan bersifat buttom up dan bukan top down seperti yang terjadi selama ini. Program dibuat mestinya berdasarkan usulan kebutuhan dari sekolah.Â
Kemudian, dalam beberapa tahun terakhir pasca peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), di mana NTT, NTB dan Bali berada dalam koridor ekonomi dengan fokus pada pengembangan di bidang pariwisata, perikanan dan peternakan, sektor yang tampak berkembang pesat adalah pariwisata. NTT kemudian menjadi new tourism territory. Peluang prospektif bagi anak-anak NTT ada di sektor tenaga kerja dalam 10-15 tahun mendatang.Â
Sayangnya, secara kelembagaan kita belum punya banyak SMK/politeknik yang memiliki bidang keahlian yang berhubungan dengan pariwisata. Data direktorat pembinaan SMK Kemdikbud tahun 2017, Â lulusan SMK tercatat sebanyak 82.171 orang, sementara kebutuhan tenaga kerja di sektor ini sebesar 707.600 orang. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka peluang pertambahan jumlah SMK terbuka lebar, termasuk jika itu dibangun di wilayah NTT.
Pemprov/pemda perlu mengupayakan pembangunan SMK/politeknik minimal di Timor, Flores, Sumba dan Alor sebagai  pencetak tenaga terampil di bidang pariwisata. Seiring pemberlakuan zona ekonomi integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kita tentu saja tidak ingin putra-putri NTT tergusur oleh serangan pekerja asing. Tantangan membangun SDM dari perspektif guru pelosok:
Siswa
Siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran  untuk menghasilkan SDM yang bermutu. Perspektif teori behavioristik menekankan faktor kesiapan belajar (readness) yang dipersepsikan secara mental, fisik dan psikis turut berpengaruh dalam keberhasilan belajar anak.  Faktanya, sebagaimana pengalaman saya berhadapan dengan anak-anak di pelosok Timor Tengah Selatan,  pada jam pelajaran setelah break saja, siswa sudah mengalami penurunan kondisi fisik yang drastis, (kelelahan, lapar).Â
Setelah ditelusuri, ternyata ini berkaitan dengan sistem ketersediaan ketahanan pangan (food security) dan asupan gizi anak dalam keluarga. Anak jarang makan pagi sebelum ke sekolah. Ini tantangan yang luar biasa. Sepanjang pengamatan penulis misalnya, wilayah pesisir selatan TTS yang panas dengan curah hujan rendah berpengaruh besar pada produktivitas hasil pertanian masyarakat. Boleh jadi, ini juga berdampak pada besarnya penderita stunting pada banyak anak di setiap pelosok NTT. Pada hal kita tahu, anak dengan stunting akan bermasalah dengan perkembangan kemampuan kognitifnya.Â
Guru
Sebagai fasilitator pembelajaran, guru harus selalu up to date dengan perkembangan informasi, pengetahuan dan  metode pembelajaran. Selain melalui jalur pelatihan, aspek-aspek tersebut bisa diperoleh secara mandiri melalui aktivitas literasi. Guru tidak boleh berhenti belajar. Tunjangan profesi jarang dipakai untuk kebutuhan peningkatan kapasitas diri, seperti membeli buku, laptop dan perangkat presentasi belajar. Sebagai otokritik, faktanya masih ada guru yang bahkan tidak pernah membeli buku selain buku teks yang dipakai mengajar. Dampaknya,  pembelajaran di kelas menjadi textbook oriented, miskin ide, kurang kreatifitas yang membuat siswa tidak merasa termotivasi untuk belajar. Â
Orangtua
Akar dari semua proses pendidikan adalah keluarga. Dalam menjalankan fungsi parenting orangtua harus memiliki kesadaran untuk menjadikan pendidikan anak sebagai prioritas dalam keluarga. Realitanya, keterbatasan secara ekonomi dan latar belakang pendidikan membuat para orang tua di pelosok cenderung menganggap bahwa urusan keberhasilan pendidikan anak sepenuhnya ada di tangan guru dan sekolah. Â Padahal, waktu anak bersama orangtua di rumah kurang lebih 16 jam, ketimbang di sekolah yang hanya 8 jam.Â
Mestinya, keterbatasan itu bisa dikonversi menjadi motivasi untuk keluar dari jeratan kemiskinan dengan pendidikan sebagai solusinya.Â
Pemerintah
Salah satu masalah klasik di lapangan adalah keterbatasan sarana prasarana untuk mendukung proses belajar di sekolah. Â Harus ada pemerataan bantuan antar sekolah, agar tidak terjadi ketimpangan yang besar terutama fasilitas sekolah yang ada di kota dan pelosok. Kita memaklumi, pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya termasuk anggaran, tetapi kondisi ini juga tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, jika ingin kebutuhan SDM kita di masa mendatang tercukupi dan berkualitas.
Dengan demikian terlihat bahwa, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sebagai mesin produksi SDM NTT yang berdaya saing, bisa dicapai jika semua pihak dalam ekosistem pendidikan (guru, siswa, pemerintah, orang tua, masyarakat) menjalankan peran dan fungsi dengan baik dan benar. Jika tidak, generasi masa depan kita hanya akan menjadi penonton di "rumah sendiri", karena kelalaian masa lalu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H