Perpaduan warna yang cantik. Dominasi kuning terang dan orange pada kedua tiang utama berbentuk kerucut dengan tiang salib di puncak, dipadu corak putih di beberapa ruas tiang, dan pagar dicat abu-abu, itu sangat eye catching dan klimis. Ini adalah gapura, gerbang utama sebelum memasuki gedung Kapela St. Elias. Kapelanya mungil, tapi memiliki halaman yang luas, dengan pagar biru muda dan abu-abu mengelilingi.Â
Tak jauh dari Kapela ini. Ada Mesjid Darul Hijrah namanya. Bangunannya  kecil, tapi arsitekturnya menawan. Pola segitiga besar berjejer sepanjang  teras depan, dengan barisan tiang tampak kokoh menopang 5 kubah di atap, satu kubah besar dan 4 kecil di sekelilingnya.  Mesjid ini sedang dalam proses pembangunan.Â
Kedua tempat ibadah di atas terletak di lereng Gunung Boleng, desa Riangduli Kecamatan Wiitihama- Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur. Jumlah penduduk sampai Desember 2018 sebanyak 670 jiwa, 80% diantaranya adalah pemeluk Katolik, sisanya Islam dan lainnya.Â
Pembangunan kedua tempat ibadah di desa  pada 2018 ini sangat menarik dari sisi pendanaan.  Selama ini, sebagian besar sumber dana  digalang secara swadaya dari umat.  Pemerintah desa (pemdes) menyadari, umat memiiliki kemampuan keuangan terbatas, tetapi pemerintah juga kesulitan membantu pendanaan. Meski pendapatan desa Riangduli dari Anggaran Dana Desa 2018 mencapai hampir Rp. 1 Milyar, tetapi regulasi tidak memungkinkan. Pada hal, pemdes juga bertanggungg  jawab pada pemenuhan kebutuhan rohani warga, seperti tempat ibadah yang layak.Â
  Situasi ini melahirkan ide unik sang kepala desa. Namanya Silvinus Lego Ola. Ia masih muda, 35 tahun. Sebelum terpilih menjadi kepala desa pada Oktober 2015, Ama Lego, panggilan akrabnya, merantau di Propinsi Papua. Ia tinggal dan bekerja 7 tahun di Kabupaten Keerom. Selama di sana, dia punya beberapa kenalan di Kantor Bupati Keerom. Â
  Dia tidak menyangka, relasi baiknya dengan orang-orang di sana bisa menjadi berkah dikemudian hari, persis di saat dirinya memimipn Riangduli. Ceritanya begini. Untuk mewujudkan salah satu misi kepemimpinannya, menciptakan masyarakat aman, harmonis dan damai, ia ingin menjadikan bidang rohani sebagai pintu masuknya. Caranya, ia berniat membenahi Kapela dan Mesjid desa, agar warga bisa beribadah dengan nyaman. Tapi,  dananya jangan dari umat. Umat hanya cukup memberikan sumbangan swadaya tenaga untuk  bekerja, jika dananya tersedia.
Sang kades mulai berpikir. Yang muncul dibenaknya adalah, bagaimana memanfaatkan jejaring lamanya di perantauan, tentang kemungkinan menggalang sumbangan dari sana.  Singkat cerita, lampu hijau  didapat justru dari Pemerintah Kabupaten Keerom. Syarat yang diminta adalah proposal permohonan bantuan. Maka pada awal tahun 2018, dua proposal maisng-masing untuk pembangunan Mesjid dan Kapela dikirim ke Pemerintah Kabupaten Keerom Propinsi Papua.Â
Puji syukur, proposal itu dijawab dengan bantuan dana hibah Pemda dalam jumlah yang cukup besar. Untuk Kapela, bantuan pertama sejumlah Rp. 70 juta digunakan untuk pengadaan meubeler Kapela. Bantuan kedua sebesar Rp. 140 juta  dialokasikan untuk pembangunan pagar keliling dan gapura Kapela. Hasilnya, Kapela St. Elias desa Riangduli kini tampak menawan. Ini seperti kado Natal bagi umat Katolik Riangduli tahun ini.
Kemudian proposal lain untuk pembangunan Mesjid, Pemda Keerom juga membiayai dengan nilai bantuan Rp. 100 juta. Dana  ini telah dipakai untuk pengadaan kusen, daun pintu dan jendela serta sejumlah bagian Mesjid yang lain.
 Â
Kita jadi terhentak dengan ketulusan ini. Â Apa lagi menonton berita televisi beberapa waktu terakhir, di mana gerakan perlawanan Kelompok Kriminal Bersenjata yang membunuh puluhan pekerja konstruksi di sana. Pikiran sederhana orang-orang di luar Papua jadi begitu mengerucut, orang-orang di sana sangat anti Indonesia. Maka kemudian, apa yang dilakukan Pemda Keerom untuk desa Riangduli di NTT ini, menjadi jawaban soal keraguan orang terhadap komitmen dan kesetiaan Papua pada Indonesia. Turut membantu pembangunan Kapela St. Elias dan Mesjid Darul Hijrah di pelosok NTT, ini seperti membuktikan cinta Papua pada Indonesia, tanpa syarat.Â