Jika kondisi ini terjadi di banyak sekolah dan fasilitas kesehatan di NTT, Â Â maka ini seperti kado pahit disaat usia NTT memasuki 60 tahun pada desember tahun ini. Membiarkan tenaga pendidikan dibayar sangat murah, kemudian menuntut kinerja mereka dengan standar nasional pengelolaan pendidikan di negeri ini, apakah ini fair? Kualitas pendidikan seperti apa yang kita harapkan dengan sistem seperti ini? Begitu pula dengan tenaga medis yang dipekerjakan tanpa ikatan kontrak, ini menyedihkan.Â
Saya yakin, para guru honor dan tenaga kesehatan yang tengah bekerja dengan status magang saat ini, juga tidak menginginkan situasi ini. Mereka hanya tidak memiliki posisi tawar yang kuat disaat atmosfir lapangan kerja di NTT yang kurang cerah. Mestinya pemerintah tegas, menggunakan tenaga mereka dengan mekanisme kontrak yang jelas sesuai peraturan perundangan, atau tidak sama sekali. Jika kondisi ini terus berlanjut, kesannya jadi seperti ada pembiaran, sementara disisi lain jelas ini melanggar Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.Â
Ini persoalan rumit. Mengharapkan solusi lapangan kerja dari pemprop/pemda kabupaten/kota untuk menyerap banyak lulusan juga bukan hal gampang. Keterbatasan finansial pemda di NTT merupakan alasan utama. Sejauh ini, program kontrak daerah bagi tenaga guru, rekrutmen tenaga kesehatan desa dengan sumber gaji dari dana desa cukup membantu sebagian lulusan, meski jumlahnya kecil. Â
Ubah orientasiÂ
Fenomena di atas kemungkinan bisa dicegah jika orang tidak hanya menargetkan pegawai negeri sipil sebagai orientasi pekerjaan. Karena orientasi itu kemudian mempengaruhi pilihan jurusan kuliah menjadi cenderung homogen. Dampaknya seperti terlihat sekarang, tenaga guru dan medis melimpah di NTT, tetapi tidak memberi kontribusi pada pembangunan daerah karena tidak terserap lapangan kerja. Selain itu, dengan status jobless, maka kompetensi keahlian mereka tidak menghasilkan benefit ekonomi.Â
Belajar dari fenomena ini, maka para lulusan SMA sederajat yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebaiknya peka terhadap perkembangan sains dan teknologi dan kemungkinan peluang kerja prospektif dalam belasan tahun ke depan.Â
 Salah satu sektor yang menonjol  dan prospektif saat ini adalah teknologi digital. Secara nasional, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total dana asing yang disuntikan kepada sejumlah startup Indonesia selama 2017 mencapai 4,8 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp. 64,3 trilliun (kurs Rp.13.400 per dollar AS). Nilai investasi e-commerce dan startup ini  separuh dari jumlah investasi di sektor gas dan minyak sebesar 9 miliar dollar AS per tahunnya.Â
Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan memproyeksikan pada 2020, ekonomi digital di Indonesia tumbuh hingga 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun. Angka proyeksi itu mencapai 20 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. (kompas.com, 15/01/2018)
Di level internasional, bidang keahlian yang diprediksi lulusannya banyak dibutuhkan dunia kerja menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada laman en.unesco.org mencakup sains, teknologi, teknik mesin, dan matematika (STEM).Â
Kalkulasi seperti ini bisa menjadi gambaran para lulusan SMA di NTT menentukan pilihan jurusan kuliah dan peluang kerja prospektif di masa depan. Â Teknologi digital berpotensi menjadi leading sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Disamping itu, pembangunan infrastruktur secara massif di Indonesia saat ini memang butuh banyak tenaga seperti insinyur di masa mendatang. Khusus NTT, pertumbuhan pesat di sektor pariwisata juga punya prospek bagus bagi para lulusan yang dari LPTK yang relevan dengan layanan kepariwisataan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H