Harapan itu direalisasikan dalam misalnya, menempatkan  pendidikan pada prioritas paling atas ketimbang aktivitas non pendidikan lain. Orang tua juga mesti menjadi role model dalam membentuk cara pandang anak tentang belajar dan pendidikan. Hal itu ditunjukan dalam keterlibatan langsung  mereka dalam urusan pendidikan anak, seperti menjalin komunikasi dengan sekolah dengan terutama guru. Â
Kedua, peran orangtua dalam menjadikan rumah sebagai tempat yang nyaman untuk belajar. Â Selain orangtua sebagai guru pertama anak, rumah juga wajib menjadi tempat pertama membangun kebiasaan positif (habbit formation) anak. Rumah bisa menjadi tempat memupuk minat baca yang melibatkan anak dan orangtua. Di rumah, anak dibiasakan sesuatu yang terencana dan terjadwal. Mengerjakan PR, makan, istirahat, beribadah, Â menonton TV, belajar, semuanya terjadwal. Dan, orangtua dan anak pun perlu untuk saling mendengarkan. Berdiskusi tentang capaian belajar dan suasana sekolah bisa jadi topic menarik.
Relasi antara sekolah dan keluarga
Terkait relasi antara Sekolah dan keluarga, sekolah perlu mengevaluasi pola komunikasi yang terjalin dengan orangtua siswa. Yang kerap terjadi selama ini, orangtua dipanggil ke sekolah ketika anaknya terhimpit masalah, misalnya sikap dan perilaku, nilai ulangan/ujian rendah atau presentase kehadiran di sekolah yang rendah. Pola ini seolah-olah menempatkan anak sebagai trouble maker dimata orangtua.
 An alternative view of parents is that they can be seen as a 'problem' for teachers. In particular children are frequently judged to come from 'poor backgrounds', from a home environment which is unsupportive to the school and unsupportive of the educational process, Tizard and Hughes, (1984). Secara psikologis pola ini akan menyudutkan orangtua sebagai pihak yang bersalah, dan bukan pada posisi problem solver bersama guru. Apalagi jika guru menggunakan sudut pandangnya untuk mengkorelasikan perbuatan siswa dengan latarbelakang kehidupannya dikeluarga terhadap proses pendidikan anak. Â
Mestinya, orangtua bukan hanya dipanggil ke sekolah ketika anaknya dihadapkan seperti pada contoh kasus di atas, tetapi juga pada saat anaknya mencatat prestasi, sekecil apapun, pada ranah kognitif, psikomotorik maupun afektif. Â Pengakuan semacam itu secara tidak langsung akan menumbuhkan benih-benih motifasi dan semangat belajar bagi siswa, juga berpotensi meningkatkan peran dan tanggungjawab orangtua terhadap pendidikan anaknya.
Sekolah memiliki beragam komunikasi dan relasi dengan orangtua dalam kaitan dengan kepentingan pendidikan anak. Salah satu yang menurut saya strategis adalah program Home Visit. Â Bagi guru-guru di daerah khusus (terpencil, terluar, perbatasan) program ini memungkinkan guru berkunjung ke rumah siswa dan berkomunikasi, sharing dan diskusi dengan orangtua/keluarga, misalnya tentang capaian belajar siswa, prestasi yang diraih, atau kendala dan masalah yang dihadapi siswa.
Guru, bahkan bisa melakukan live in di rumah keluarga siswa untuk membuka peluang terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dan terbuka dengan orangtua untuk kepentingan terbaik bagi pendidikan anak.
Inilah pintu masuk ideal bagi guru menjalankan edukasi, terutama untuk membangun kesadaran orang tua, tentang tugas dan peran mereka dalam mengawal pendidikan anak selama berada di rumah. Pengalaman dalam dunia pemberdayaan masyarakat menunjukan, pola pendampingan seperti ini cukup efektif karena orangtua dan siswa sebagai penerima manfaat (beneficaries) dari sebuah sistem layanan pendidikan, tak lagi memandang guru semata-mata sebagai knowledge provider, tetapi merupakan mitra sejajar mereka sejak perencanaan, proses, sampai pada evaluasi hasil belajar siswa.
Aristoteles, sang legenda filsafat menulis, "educating mind without educating the heart is no education at all," mendidik pikiran tanpa mendidik hati, sama sekali bukan pendidikan. Agar keduanya selaras, Â kolaborasi antara sekolah dan keluarga berperan penting untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, baik secara kognitif maupun sikap karakter.
Pendidikan sebagai tanggung jawab kolektifÂ