Banyak penulis sejarah Indonesia bukan orang Indonesia. Bahkan Komikus asal Madiun, Aji Prasetyo merasa bahwa kawannya yang bukan orang pribumi lebih ngejawa dari pada orang Jawa.
Kawannya jatuh hati dalam proses penelusuran jejak Diponegoro. Dunia memang serba digital, namun tatkala mengunjungi situs-situs bersejarah semacam ada kekuatan spritual yang menuntun dan mengajak si penelusur berdialog. Rasa ingin tahu yang memunculkan kecintaan adalah energi perjumpaan. Energi yang sama yang membuat dirinya menghormati puzle jejak sejarah.
Apa yang dilakukan Peter Carey di dalam penelusuran jejak Diponegoro berbanding terbalik dengan sebagian orang di negeri ini. Segelintir orang asli Indonesia malah menyingkirkan situs sejarah bangsanya secara sengaja.
Pernyataan Bung Karno mengenai "Jasmerah" tidak begitu kental lagi di lidah zaman ini. Mereka hendak menciptakan sejarah baru, sejarahnya sendiri, (mungkin) agar kelak orang-orang mengingatnya sebagai the next Bapak Pembangunan.
Setelah mendapatkan santunan yang sangat sesuai dan tidak berbelit-belit, 750 ribu KK di Jatigede, Jawa Barat, meninggalkan tanah beserta kenangannya. Ruang hidup yang mereka tinggalkan akan diganti dengan kedatangan air Waduk. Mereka tidak ada urusan lagi dengan kenangan keluarga, tetangga dan kenangan sahabat.
Apa lagi harus peduli terhadap memori ratusan tahun silam tentang sejarah kerajaan Sumedang Larang. Sejarah juga kenangan ayah kepada anaknya, suami kepada istrinya, kepala desa dengan warganya akan tergenang bersama air Waduk yang diresmikan pemerintah dengan hati riang.
Waduk berhasil dibangun. Airnya begitu melimpah, 979,5 juta meter kubik. Bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pemerintah sampai kapanpun layak dihormati karena sukses menjalankan amanah: pembangunan adalah untuk kemakmuran masyarakat. Pembangunan yang menghabiskan 467 juta US dolar adalah anggaran yang tidak percuma. Bahwa ada 60 ribu warga yang menganggur pasca penenggelaman adalah hal biasa dalam pembangunan.
Waduk diresmikan pada tahun 2015. Airnya mengalir dan menggenangi 4 ribu lahan pertanian dan membiarkan 68 situs kebudayaan Sunda yang telah ada sejak abad ke-8 tenggelam tanpa baju pelampung. Penenggelaman adalah syarat untuk mencapai predikat negara maju. Negara yang menuju kemajuan ini tidak butuh jejak masa lalu. Karena terkadang kenangan mesti dilupakan agar mampu move on tanpa beban.
Saya bangga dengan masyarakat Jatigede. Mereka menyingkir dengan hati lapang. Meninggalkan adalah cara terbaik mendukung agenda pembangunan pemerintah yang dibangun dengan bentuan biaya utang. Kalau ada yang bertanya perihal tempat kelahiran, dengan lapang dada mereka akan menjawab "itu! Di dasar Waduk."
Adapun air Waduk yang surut kala musim kemarau bukanlah persoalan genting. Justru pepohonan tak berdaun dan tanah mengering adalah pemandangan eksotik. Itu hanyalah peristiwa alam, bukan fenomena keegoisan rezim. Air akan kembali pasang saat musim
hujan itu datang. Atas peristiwa itu masyarakat harusnya bersyukur. Surutnya air menciptakan destinasi pariwisata baru. Puing-puing reruntuhan desa serta situs sejarah bangsa yang mereka tinggalkan kembali muncul dan dengan senyum merekah ia menyapa:
"Hai apa kabar, salam dua jari, dua periode. Kami adalah buku yang menyimpan banyak pembelajaran. Bila suatu saat tanah yang kau tempati dimanfaatkan untuk pembangunan Indonesia belajarlah dari kami agar hatimu juga lapang."
Pembangunan infrastrktur seperti jalan, pelabuhan, bandara dan termasuk juga waduk adalah bukti nyata kinerja pemerintah. Yang tidak membangun namanya adalah oposisi. Eh, tidak juga. Mereka itu membangun, kok. Lebih tepatnya membangun nyiyir. Kinerja pemerintah adalah perwujudan dari slogan-slogan yang diciptakannya selama ini. Tahun 2015 slogan pemerintah adalah "ayo kerja", 2016 "kerja nyata", 2017 "kerja bersama" dan tahun ini slogannya dipanjangkan dan menjadi semacam konfirmasi dari slogan pada tahun-tahun sebelumnya, "kerja kita prestasi bangsa".
Berpindahya masyarakat dari lahannya karena tempatnya akan digenangi air waduk pembangunan adalah wujud "kerja kita" yang sekaligus merupakan "prestasi bangsa". Sebagai sebuah prestasi, tidak ada salahnya kalau masyarakat pendukung memberikan piagam. Penghargaan ini adalah bentuk penghormatan atas kerja kerja kerja pemerintah.
Apa yang dilakukan pemerintah adalah penegasan bahwa bangsa ini kurang membutuhkan negarawan atau pemikir. Negara terlampau suci untuk para negarawan dan terlalu luas untuk otak para pemikir. Masa para pemikir sudah berlalu ketika Soekarno cs mendeklarasikan Indonesia. Negara tidak memerlukan bunyi petuah Piliang (2003) yang menyatakan bahwa dalam menghadapi era globalisasi Indonesia membutuhkan politikus pemikir dan perenung bukan politikus tukang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H