Oleh; Ganda Martunas Sihite, SH
Wakabid Politik, Hukum, dan Ham DPC GmnI Pekanbaru,
Putra Daerah Kab.HumbangHasundutan
Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3, dimaksudkan bahwa segala sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara harus berdasarkan norma-norma hukum. Â Sehingga hukum dijadikan sebagai solusi dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perseorangan maupun kelompok, baik masyarakat maupun negara.
Uraian tersebut diperjelas kembali pada pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Â
Dipertegas kembali dalam pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Oleh karena itu dalam konsep negara hukum sebagaimana diuraikan tersebut bahwa terpenuhi dan terjamin nya kepastian hukum dalam masyarakat erat kaitannya dengan prinsip prinsip  Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dalam Deklarasi Universal HAM dan  UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.Â
Berbicara tentang Hukum dan HAM tentu menjadi suatu persoalan yang sampai hari ini menjadi perhatian bersama. Realitas membuktikan bahwa terpenuhinya HAM berdasarkan hukum masih jauh panggang dari api. Cerminan Indonesia sebagai negara hukum di masa sekarang ini bagaikan sebagai pajangan dalam konstitusi dan guyonan para elit elit dan politikus yang menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, kehormatan serta popularitasnya.
Fakta dilapangan bahwa tujuan hukum untuk memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan terhadap seluruh warga negara sebagai haknya belum dapat dirasakan oleh semua. Keadilan yang selalu tajam keatas namun tumpul kebawah, akhirnya tidak memberikan kepastian hukum serta kemanfaatan terhadap warga negara yang kehidupan nya dibawah rata rata seperti masyarakat miskin, buta hukum dan termarjinalkan.Â
Seolah olah hukum itu hanya berlaku untuk kalangan seperti itu dan kebal terhadap kalangan elit dan gerombolannya. Adapun pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat miskin, buta hukum dan termarjinalkan masih memandang bulu dan menginginkan sesuatu yang dapat menjadi keuntungan bagi para penegak hukum atau pemberi bantuan hukum, atau bisa saja enggan memberikan bantuan hukum atau kepastian hukum karena kondisi yang dipandang tidak begitu menguntungkan.Â
Hal tersebut sebenarnya sudah menciderai bahwa setiap warga negara mempunya persamaan dimata hukum tanpa memandang apapun, dan juga telah kehilangan hati nuraninya sebagai manusia.
Berbicara masyarakat miskin, tentunya dapat diperhatikan bahwa masyarakat tersebut dapat dikategorikan pada masyarakat yang dalam kondisi ekonomi dan kehidupan sehari hari belum mampu terpenuhi.Â
Disisi lain masyarakat dalam hal ini dalam anggapan penulis dapat artikan bahwa masyarakat tersebut punya alat alat produksi seperti cangkul, sawah, sabit dan alat pertanian lainnya namun tak dapat untuk mencukupi kebutuhan sendiri, karena tertindas oleh sistem yang ada.Â