Mohon tunggu...
Briant Machrus
Briant Machrus Mohon Tunggu... Pengacara - Junior Lawyer

Yuris Muda yang memiliki ketertarikan dalam bidang Hukum Bisnis dan Hukum Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penemuan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023: Studi Kritis-Komparatif Civil Law dan Judicial Activism

3 November 2023   13:30 Diperbarui: 12 November 2023   13:09 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator dan ultra petita, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan jika terdapat beberapa faktor-faktor sebagai berikut: keterdesakan waktu; adanya kekosongan hukum yang berakibat pada kekacauan di tengah-tengah masyarakat jika hal tersebut tidak segera diputus; adanya kemanfaatan dan keadilan substantif yang akan dicapai sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat; adanya tuntutan kepastian hukum, yakni agar perkara tersebut memiliki dasar hukum dan tidak dipertanyakan kembali oleh masyarakat; putusan yang bersifat positive legislator hanya dilaksanakan satu kali dan/atau sampai pembentuk undang-undang dapat membuat penggantinya. Melihat keseluruhan hal-hal yang menghendaki adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislator dan ultra petita tersebut, tidak ada satupun hal-hal tersebut yang terpenuhi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab penentuan batas usia dan kriteria dari calon presiden dan calon wakil presiden bukan merupakan suatu hal yang mendesak dan dapat menimbulkan kekacauan apabila hal ini tidak segera diputus. Bahkan sejauh ini masyarakat tidak mempermasalahkan terkait batasan usia dan kriteria calon presiden dan calon wakil presiden di Indonesia.

Mengingat bahwa Konstitusi yang berstatus sebagai lembaga otonomi mandiri atau terpisah dari Mahkamah Agung di dunia memiliki jumlah yang terbatas, dan apabila dikompresi jauh lebih dalam ke kelompok sistem Civil Law maka jumlahnya sangatlah sedikit meski tidak sesedikit kelompok Common Law. Beberapa negara yangt menganut Civil Law selain Indonesia diantaranya yakni Austria, Cile, Ekuador, Jerman, Kolombia, Luksemburg, Leichstentein, Yunani, Guatemala, Italia, Lebanon, Portugal, Spanyol, dan Suriname. Dari beberapa negara tersebut di atas, salah satu diantaranya menganut collegium system yang menggantungkan suatu putusan perkara dari beberapa nama hakim untuk direkomendasikan kepada Presiden dalam menyelesaikan sengketa.

Dalam proses penemuan hukum, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan pendekatan historis dari hierarki Undang-Undang terdahulu yang terbagi menjadi 3 (tiga)  masa yakni: UUD RIS 1949 dan juga UUDS 1950 yang menyatakan batas usia 30 tahun; UU No 2 tahun 2003 dan UU No 42 tahun 2008 yang menyatakan batas usia 35 tahun; TAP MPR No.II/1973 dan TAP MPR No VI/1999 yang menyatakan batas usia 40 tahun kategori yang tertera dalam Concurring Opinion atau alasan yang berbeda oleh Hakim Daniel Yusmic P. Foeks. Selain melihat dari pendekatan historis, terdapat juga pendekatan Komparatif dengan meninjau Konstitusi Negara lain atau hukum asing yang memang juga diajukan dalam Permohonan berhasil digali meskipun hasilnya bervariasi menjadi 4 (empat) kategori yakni: 1.) Konstitusi Republik Rakyat China dan Republik Islam Pakistan dengan batas usia minimal 45 tahun; 2.) Konstitusi Republik Albania, Republik Islam Afghanistan, Republik Aljazair, Republik Ceko, Republik Makedonia Utara, Republik Estonia, Republik Korea Selatan, Republik Federal Jerman, Republik Armenia, Republik Turki, dan Republik Filipina yang menetapkan batas usia minimal 40 tahun; 3.) Konstitusi Republik Demokratik Angola, Republik Federal Austria, Republik Bangladesh, Republik Sosialis Belarus, Republik Federal Brazil, Republik Federal India, Republik Federal Rusia, Republik Federal Amerika Serikat, Republik Meksiko, Republik Rumania, dan Republik Polandia yang menetapkan batas usia minimal 35 tahun; 4.) Konstitusi Republik Argentina dan Republik Kolombia yang menetapkan batas usia minimal 30 tahun. Berdasarkan kedua pendekatan di atas, baik secara Historis maupun perbandingan komparatif, dapat dipahami bahwa secara kuantitatif usia dalam pencalonan calon presiden dan wakil presiden sangat bervariatif.

Pada dasarnya pemohon sendiri bukanlah subjek hukum yang memiliki kepentingan secara langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden pada hakikatnya melekat pada subjek hukum yang bersangkutan misalnya dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik pemilihan umum". Dengan demikian maka bagi seseorang yang memang bukan sebagai subjek hukum yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden tidak terganggu hak konstitusinya dengan adanya aturan yang berkaitan dengan syarat atau tata cara penentuan calon presiden dan wakil presiden..

Para Penulis melihat bahwa Dissenting Opinion dari hakim Saldi Isra menyatakan pendapat secara akademik dengan mengutip 2 (dua) pendapat dari Louis Henkin yang membawa pendapat "Is There Political Question' Doctrine" dan pendapat John Serry, yang membawa pendapat "Too Young to Run?: A Proposal for an Age Amendment to U.S Constitution. Dari 2 (dua) pendapat tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa layak tidaknya seseorang yang masih muda untuk memimpin negeri ini. Dissenting Opinion yang ia sampaikan berfokus pada usia yang belum cukup matang atau di bahwa 40 (empat puluh) tahun untuk maju menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden di Indonesia

Karena sifat putusan dari Mahkamah Konstitusi adalah akhir dan mengikat (final and binding), maka jalan satu-satunya untuk membatalkan putusan tersebut adalah dengan melakukan gugatan kembali kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam perjalanannya, setelah adanya Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah menimbulkan efek domino dan berantai untuk mengajukan penolakan dan mendapatkan respon negatif dari Mahkamah Konstitusi berupa permohonan penolakan. Hal itu dapat kita tinjau dari berbagai putusan seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XXI/2023, 104/PUU-XXI/2023, 107/PUU-XXI/2023. Satu diantara beberapa putusan tersebut menggunakan International Covenant Civil and Political Rights yang bila dilihat dalam penelusuran sejarahnya memang dapat dijadikan batu uji dalam menguji suatu peraturan perundang-undangan namun hasilnya beberapa kali permohonannya ditolak.

Jika dilihat dengan seksama norma yang sedang diuji di atas merupakan norma yang bersifat open legal policy, sehingga ketentuan tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Secara filosofis didirikannya MK ditujukan sebagai penyeimbang antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dengan kekuasaan yudikatif. Dalam hal ini MK ketika situasi tidak mendesak MK harus menempatkan diri sebagai negatif legislator. Oleh karenanya ketika memutus perkara yang berkaitan dengan kewenangan yang telah jelas menjadi kewenangan legislator, maka sebagai lembaga yudikatif MK harus menahan diri dari memutus perkara tersebut, terlebih lagi norma yang diputus tersebut bukan merupakan persoalan krusial dan mendesak untuk segera diputus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun