Mohon tunggu...
Briant Machrus
Briant Machrus Mohon Tunggu... Pengacara - Junior Lawyer

Yuris Muda yang memiliki ketertarikan dalam bidang Hukum Bisnis dan Hukum Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penemuan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023: Studi Kritis-Komparatif Civil Law dan Judicial Activism

3 November 2023   13:30 Diperbarui: 12 November 2023   13:09 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OPINI: MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

1. Briant Rizqullah Irawan Al Machrus, S.H.

2. Andi Rangga Mahardika Anhar, S.H.

3. Alifian Maulana Pradana, S.Hub.Int.

4. Stefanus Kurniawan Dharmadji, S.H.

Penemuan Hukum atau Rechtsvinding merupakan proses pembentukan hukum dengan cara menggali data dan fakta yang bersifat ex officio atas permintaan suatu pihak yang memiliki kepentingan, atas permintaan atau dalam proses ringkasan, selama pihak yang berkepentingan memberikan alasan yang sah untuk menyimpan atau menetapkan sebelum persidangan maupun bukti fakta-fakta yang menjadi sandaran perselisihan atau sengketa yang diperintahkan oleh hakim.

Pada dasarnya, sistem hukum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem hukum yang  menganut sistem hukum Civil Law yang merupakan sistem hukum dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagai rujukan atau sumber hukum dalam mengatur kehidupan bernegara. Namun pada faktanya, ada beberapa subjek yang menyatakan bahwa hukum formil dalam sistem hukum Indonesia adalah hukum campuran yang merujuk pada kombinasi dari berbagai elemen hukum seperti hukum sipil (civil law), hukum adat, dan/atau hukum kebiasaan. Pemakaian aturan hukum tertulis di dalam sistem hukum Indonesia memiliki hambatan tertentu, salah satunya adalah kesesuaian suatu hukum dengan perkembangan masyarakat yang dinamis atau mudah sekali menerima perubahaan keadaan di masa saat ini. Oleh karena itu untuk mengikuti keadaan masyarakat yang dinamis tersebut khususnya dalam hal peraturan perundang-undangan yang dituntut untuk mengikuti perubahan-perubahan yang dinamis, diperlukan profesi seorang hakim yang memiliki kemampuan dalam mengintepretasi suatu aturan tertulis termasuk menemukan hukum yang tidak ada; belum ada maupun akan ada. Hal ini dimaksudkan agar tujuan utamanya terpenuhi dalam mencegah kegagalan hukum yang berujung kepada kekacauan sosial. Dalam hal ini, apabila melihat dari sisi kemampuan seorang hakim Mahkamah Konstitusi, pada prinsipnya seorang hakim Mahkamah Konstitusi umumnya memberikan putusan yang bersifat pasif (Judicial Restraint). Hal ini dimaksudkan agar kewenangan dalam bertindak pada suatu negara dibatasi dengan tidak merebutkan tugas, pokok, fungsi, maupun wewenang dari kewenangan Lembaga negara lainnya yakni eksekutif maupun legislatif demi terciptanya trias politi]ca.

Jika ditinjau dari segi peraturan perundang-undangan, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi sejatinya telah diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai “UUD NRI 1945”) yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Kewenangan ini menghendaki Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengontrol keabsahan dari keberlakuan undang-undang yang dibentuk oleh Legislatif. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dapat mencabut, meniadakan, menghapus, atau membatalkan suatu undang-undang apabila ditemukan pertentangan norma yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan kewenangannya tersebut, maka Mahkamah Konstitusi dapat disebut sebagai negative legislator. Meskipun dalam perjalanannya Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk dapat mengontrol keabsahan keberlakuan undang-undang yang dibentuk Legislatif, hal ini bukan berarti Mahkamah Konstitusi dapat mengambil kewenangan dan kekuasaan dari legislatif untuk membentuk suatu norma hukum baru atau sebagai positive legislator. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 beserta perubahannya tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Undang-Undang “Mahkamah Konstitusi”) secara eksplisit telah mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut yakni salah satunya terdapat di dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang seperti halnya Lembaga legislatif.

Namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi tidak hanya sekedar menyatakan suatu norma atau undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, tetapi juga melakukan tafsir norma atas undang-undang yang diuji agar memenuhi syarat konstitusionalitas. Hal ini kemudian berlaku suatu antitesa yang menyebabkan hakim dapat memiliki kedudukan secara aktif (Judicial Activism) sehingga terdapat kesan tendensius apabila seorang hakim bersifat melebihi permohonan atau ultra petita dan melebihi kuasa atas apa yang diminta atau ultra vires. Sehingga secara tidak langsung hakim meninggalkan peran mereka yang sesungguhnya di Pengadilan dengan secara bertahap menghilangkan sisi netralitas dan mulai menampakkan bias pribadi (favoritism) seperti halnya yang terjadi di dalam salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dan Batas Syarat Usia Minimal dalam Pemilu Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (selanjutnya disebut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023).

Pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 disebutkan bahwa Putusan tersebut dapat dinilai bersifat positif legislator dan merupakan bagian dari praktik judicial activism karena melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutus suatu hal yang seharusnya merupakan kewenangan dari legislatif. dalam hal ini terkait dengan ketentuan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di Indonesia. Mahkamah Konstitusi menilai melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023; disebutkan bahwa pada pokoknya".......Penentuan usia minimal Presiden dan Wakil Presiden menjadi ranah pembentuk Undang-Undang".

Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator memang dimungkinkan karena pembatasan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi yang hanya terbatas pada Negative Legislator dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah diputus bertentangan dengan UUD NRI 1945 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang hanya terbatas sebagai negative legislator dinilai bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD NRI 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun