Mohon tunggu...
Machmud Yunus
Machmud Yunus Mohon Tunggu... lainnya -

Suka menulis fiksi (novel dan cerpen), dan non fiksi. Sarjana Biologi lulusan FMIPA Universitas Brawijaya ini memiliki ketertarikan lebih pada bidang kesehatan, flora-fauna, iptek, wirausaha dan keuangan. Mudah dihubungi di www.facebook.com/yunusmachmud

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kudeta tak Berdarah

27 Februari 2013   02:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:38 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebenaran itu mutlak. Tidak ada kebenaran relatif. Apapun akan kukorbankan. Bahkan, bila nyawa satu-satunya yang harus kuberikan.

Begitulah kata-kata Mas To. Tak ada sedikitpun yang saya tambah-tambahi. Sama persis dengan yang diceramahkannya pada malam itu. Dan ceramahnya bagaikan hujan gerimis yang turun sejak tadi sore. Terus mengericis seakan-akan tak hendak reda. Saya merasa bagaikan sedang berteduh di bawah jembatan layang. Benar-benar menjemukan. Saya dibuatnya kelelahan, karena mesti terus berpura-pura menyimak ceramahnya. Sebagai salah seorang ahli agama. Materi yang diceramahkannya sangat tidak lazim. Dia mengajarkan penolakan terhadap sistem hukum yang berlaku di negeri ini. Dan menghendaki perubahan melalui jalan kudeta. Ironisnya, dia memberitahukan rencana kudeta itu kepada saya. Orang yang baru saja dikenalnya.

Sebenarnya, tujuan saya bertamu bukan untuk bersilaturahmi dengan Mas To. Sudah setahun lebih dia mengontrak rumah milik orang tua saya. Rumah yang letaknya persis di depan rumah saya. Tapi, tak pernah sekalipun kami saling bicara. Hanya saling senyum bila berpapasan di jalan. Atau saat saya sedang memberi makan burung. Dia selalu menolehkan kepalanya ke arah saya. Lalu tersenyum. Dan kembali meneruskan diskusi dengan tamunya. Tamu-tamunya terus mengalir deras bagaikan air selokan di musim hujan.

Andaikan ibu tak menyuruh saya minta tanda tangan surat perjanjian sewa rumah. Barangkali tak pernah sekalipun saya bertandang ke rumahnya. Awalnya, saya memang termakan selentingan tetangga. Kata mereka, dia ini paling suka menceramahi orang. Dan saya termasuk orang yang sangat tidak suka diceramahi.

Hingga sejauh ini. Saya berhasil menjaga jarak dengannya. Belakangan saya baru tahu. Dalam berbagai kesempatan. Kepada siapa saja yang ditemuinya. Mas To selalu mengemukakan pendapat bahwa tidak ada kebenaran relatif. Kebenaran itu mutlak. Dan dia juga menolak pendapat yang mengatakan semua agama benar. Hanya agamanya saja yang benar. Sedangkan agama lainnya salah!

Pendapatnya itu memang bukan hal yang baru. Bukankah sejak kecil kita juga diajarkan meyakini hal itu? Namun, dalam prinsip-prinsip keimanan. Bukankah semua agama juga meyakinkan pemeluknya sebagai yang paling benar? Dan sejak dulu saya tak menyukai orang yang gemar mengumbar pernyataan diri sebagai yang paling benar. Demi menghormati pemeluk agama berbeda.

Sedangkan Mas To, selalu bersuara keras saat mulai bicara tentang pandangan kebenarannya. Tak peduli kepada siapapun. Dan dimanapun dia berada. Sebagai penduduk asli negeri ini. Yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Tak membekas sedikitpun adat ketimurannya. Dia tak pernah mempedulikan perasaan orang lain. Apa artinya meyakini kebenaran agama ini. Jika anda juga mengakui kebenaran agama lain. Masih pantaskah mengaku beriman? Dan negeri ini adalah negeri toghut. Wajib hukumnya merubah dasar negara negeri ini. Hanya ini satu-satunya cara agar agama kita dipatuhi sebagai satu-satunya ajaran yang benar. Kami sedang merencanakan kudeta. Tapi, anda jangan kuatir, karena ini sebuah kudeta tak berdarah.

Mas To, seharusnya anda tahu diri. Tahu bahwa diri sendiri tak mungkin mampu meliputi keseluruhan pengetahuan akan kebenaran. Saya sengaja mencuplik kalimat seorang cendekiawan terkenal untuk dapat mengimbanginya. Sebenarnya, saya menyesal menanggapinya. Karena dia justru semakin membabi-buta menceramahi saya hingga tengah malam. Bukankah semua bersumber dari ajaran yang benar?  Jangan-jangan anda sudah termasuk golongan kaum munafik. Kaum toghut. Kaum yang dilaknat Tuhan. Saya sangat tersinggung dengan tuduhannya. Baru kali ini ada orang dengan terang-terangan mengatai saya munafik. Seluruh kejadian malam itu begitu membekas dalam ingatan saya. Sejak itu saya benar-benar tak sudi berbicara dengannya lagi.

Dalam pandangan istri saya. Mas To merupakan tokoh penting di organisasinya. Hampir setiap hari mereka melakukan rapat koordinasi di rumahnya. Kadang saya berpikir. Jika setiap hari seluruh waktunya untuk organisasi. Apa dia masih punya waktu untuk bekerja? Baru saya sadari. Setahun bertetangga dengannya. Saya bahkan tak tahu apa pekerjaannya.

Informasi yang saya dapat dari menguping. Ideologi organisasinya mengharamkan manusia membuat hukum sendiri. Semua telah menjadi ketetapan Tuhan.  Dan sungguh-sungguh tak disangka. Organisasinya begitu mempesonakan banyak orang. Mas To bagaikan penjual es lilin. Yang selalu dikerubuti anak-anak sekolah di siang yang panas. Walaupun saya tak suka dengannya. Tapi, hati kecil ini mengakui dia seorang orator handal. Motivator sejati. Punya fanatisme yang tinggi. Bahkan, dia selalu berhasil menciptakan kondisi seolah-olah sedang berada dalam situasi perang!

Mas To mengklaim telah didukung beberapa pemuka agama. Hal itu pernah dia sampaikan pada Lik Duki, masih warga kampung ini juga. Kemarin Lik Duki bercerita. Hampir satu jam diceramahi Mas To. Benar-benar keterlaluan. Supaya terlihat tak kalah pintar. Lik Duki manggut-manggut saja saat Mas To mulai mengeluarkan dalil-dalilnya. Padahal setelah itu, Lik Duki langsung menelpon saya untuk bertanya apa artinya toghut. Saya jelaskan sebisanya. Sepertinya Lik Duki tetap gak mudeng. Secara sederhana, saya katakan toghut itu bermakna tidak baik. Saya janjikan jawaban yang lebih tepat di lain waktu. Dan saya berencana mencari informasi di Google. Setidaknya, itu cara tepat daripada bertanya makna toghut pada Mas To. Apalagi belakangan dia tak pernah kelihatan di rumah.

Anto juga bercerita. Agus, anaknya Mas To sudah seminggu tak masuk sekolah. Anto juga bertanya apa artinya toghut. Saya sudah dapat jawaban dari internet, sehingga bisa bicara panjang lebar. Tidak belepotan seperti saat Lik Duki mempertanyakan hal yang sama beberapa waktu lalu. Tapi, saya sempat heran juga. Darimana Anto dapat pengetahuan tentang toghut?  Apa dari guru agama di sekolahnya? Sama sekali tak mungkin, bukan? Ternyata dia mengenal toghut dari Agus. Minggu lalu saat berada dalam angkot yang sama. Agus bilang ke Anto tak ingin bersekolah lagi. Katanya sekolah ini toghut. Dan semua guru toghut. Istri saya juga bilang, sudah beberapa hari tak bertemu istri Mas To di tempat belanja. Lampu depan rumahnya juga terus menyala sepanjang hari. Tampaknya mereka sekeluarga sedang pergi keluar kota.

Pagi-pagi sekali. Lik Duki datang tergopoh-gopoh dengan membawa sebuah informasi. Katanya, semalam pak RT didatangi dua orang pria asing berambut cepak. Berjaket hitam. Dan memakai celana jeans. Mereka bertanya banyak hal tentang sepak terjang Mas To. Walaupun mereka tak menjelaskan identitasnya. Pak RT menduga keduanya adalah aparat yang berpakaian preman. Mungkinkah rencana kudeta itu sudah terendus intelejen, sehingga dia harus bersembunyi. Menyelamatkan diri, dan seluruh keluarganya.

Mas To juga tak muncul saat kerja bakti minggu. Semua orang ramai membicarakan isu tentang Mas To yang diburu polisi. Yang tidak mengenakkan. Segala keingintahuan tentang Mas To selalu ditanyakan ke saya. Hanya lantaran rumahnya persis di depan rumah saya. Beberapa orang bahkan ada menyebutnya ‘Mas Toghut.’ Saya tidak tahu siapa yang pertama kali memplesetkan nama Mas To menjadi ‘Mas Toghut.’ Sebagian besar warga memang jengkel padanya. Terutama saya sendiri. Sejak pertama bertemu yang dibicarakan itu-itu saja. Toghut. Toghut. Toghut.

Sebagai putra asli kampung Seketi. Saya paham kondisi intelektualitas warga kampung ini. Walaupun rata-rata berpendidikan rendah. Mereka sangat taat beribadah. Dan berpegang teguh pada ajaran yang mereka terima sejak kecil. Tak mudah bagi ajaran lain menggeser keyakinan mereka. Apalagi jika ajaran tersebut begitu lekat dengan kekerasan. Jauh dari norma ketimuran yang penuh kehalusan budi. Dan sepertinya, Mas To tak paham hal itu. Atau mungkin dia telah dibutakan kebenaran yang diyakininya sebagai yang paling benar.

Selesai acara kerja bakti. Saat saya sedang membersihkan peralatan. Warga kampung dengan raut muka serius. Masih terus membicarakan Mas To. Bahkan, saat melihat saya, beberapa orang dengan sangat kurang ajarnya berkata, “Titip salam buat Mas Toghut.”

Sebuah headline news di televisi. Mengabarkan hari ini ada demonstrasi besar di ibukota. Sekitar pukul 09.00 tidak kurang 1 juta orang turun ke jalan. Laki-laki dan perempuan tumpah ruah. Bahkan, anak-anakpun turut serta. Sebagian besar mengenakan pakaian warna putih. Mereka berkumpul di Simpang Bundar. Selanjutnya bergerak menuju istana di pusat kota. Jumlah demonstran hampir mencapai sepertiga penduduk ibukota. Sebuah peristiwa langka yang sulit dapat terulang. Begitulah kontributor berita melaporkan. Darimana datangnya orang sebanyak itu. Komentar pengamat politik dalam sebuah wawancara. Jalanan macet total, dan pasukan anti huru-hara tampak tak berdaya mencegah mereka menuju istana.

Dari tayangan yang sama. Tampak ribuan bendera putih bertuliskan warna hijau dikibarkan. Mereka berteriak sepanjang jalan. Sambil mengepalkan tangan. Juga membentangkan spanduk berisi berbagai tuntutan. Diantara jutaan pendemo yang menyemut itu. Tiba-tiba muncul wajah Mas To di layar televisi. Dia berdiri gagah di depan puluhan wartawan. Spontan saya berteriak memanggil istri. Kami berdua melongo sambil terus menatap tetangga kami yang tampak begitu berwibawa di depan kamera. Ini akan jadi berita menghebohkan.  Seorang warga kampung ini, masuk dalam sebuah tayangan televisi nasional.

Orang yang sedang kami pelototi itu, memang benar-benar Mas To. Tentu kami tidak salah lihat, karena juga diperkuat pendapat anak-anak. Apalagi juga muncul nama lengkap dan jabatannya di organisasi itu. He, he, he, setahun bertetangga dengannya. Baru kali ini saya tahu nama panjangnya. Mas To masih dalam kerumunan wartawan. Berbicara lantang. Setidaknya ada 3 tape recorder,  dan 7 mik disodorkan di mulutnya.

Para pendemo terus berteriak. Terkadang membentuk semacam yel-yel. Sebagian memanggil-manggil nama Tuhan dengan suara keras. Semua spanduk  berisi tuntutan dan kecaman. Mereka menentang rencana kedatangan pemimpin sebuah negeri adidaya.

Saya benar-benar tak menyangka. Pada akhirnya, Mas To mampu menjejakkan kaki di panggung politik nasional. Untunglah, saya tak pernah ikut-ikutan memplesetkan nama Mas To menjadi ‘Mas Toghut’. Sebenarnya, saya malu mengatakan ini. Saya memutuskan akan menjalin hubungan yang lebih baik dengan Mas To. Bila nanti kudetanya berhasil. Bukan tidak mungkin dia akan menduduki kepemimpinan tertinggi di negeri ini. Sebagai tetangga yang tinggal persis di depan rumahnya. Bukankah tidak berlebihan jika saya berharap ditunjuk sebagai calon menterinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun