Association of South East Asian Nation (ASEAN) adalah sebuah organisasi berbasis kesatuan wilayah yang memiliki kesamaan bagi negara-negara anggotanya dalam sejarah masa lalu. selain itu, kondisi alam yang tidak jauh berbeda juga menjadikan ASEAN sebuah regional yang kaya akan ragam jenis hasil bumi, baik tambang maupun pertanian.
Permasalahan yang muncul baru-baru ini adalah, terbukanya pasar bebas sebagai hasil dari perjanjian ACFTA menimbulkan celah yang dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara, terhambat. Atau dengan kata lain, ada beberapa negara yang ternyata malah ter-eksploitasi secara berlebihan. Gambaran yang saya ulas sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari masalah yang ada seputar perjanjian ini: tidak terproteksinya industri lokal pada setiap negar ayang berpartisipasi dalam perdagangan bebas.
Geliat pertumbuhan dan perkembangan China saat ini akan menjadi sebuah adidaya ekonomi baru di masa depan, dimana segala tindakan maupun kebijakannya mau tidak mau akan mempengaruhi keadaan ekonomi di tingkat regional maupun global, terutama di Asia Tenggara. Pada dasarnya, banyaknya industri lokal di beberapa negara berkembang tidak diiringi dengan perlindungan menyeluruh dari kebijakan negara asalnya. Sebenarnya,hal ini mungkin tidak akan menjadi masalah yang mencuat ke permukaan apabila negara yang bersangkutan tidak memiliki potensi untuk dieksploitasi berlebihan. Pokok masalahnya adalah eksploitasi ini dapat memicu munculnya negara satelit di kawasan Asia Tenggara.
Negara satelit adalah negara yang belum mampu untuk memproduksi komoditas ekspor berupa barang jadi. Peran dalam perdagangan internasional negara-negara ini adalah sebagai pengekspor barang mentah atau setengah jadi ke negara-negara industri. Akibatnya, harga bahan baku menjadi lebih murah apabila dibandingkan dengan harga barang jadi yang diimpor kembali ke negara produsen bahan mentah. Pernyataan klise yang menciptakan paradoks kapitalisme semu dan meningkatkan tekanan bagi produsen lokal barang jadi yang terkendala masalah ekspor adalah tidak adanya segmentasi pasar yang jelas.
Kecenderungan untuk kaburnya segmen pasar di beberapa negara ASEAN adalah sulitnya menembus benteng gempuran produk yang diekspor dari China. Berhubung di negara-negara ASEAN masih ada negara yang masuk kategori negara berkembang, daya beli masyarakat terhadap barang-barang tersier bermerek juga rendah. Belum lagi produk china yang masuk ke pasar lokal berorientasikan produk tiruan barang mahal, dan menarik minat pembeli dari kalangan menengah ke bawah yang ingin tampil dengan barang-barang yang ‘seolah’ bermerek.
Lebih berbahaya lagi untuk pasar lokal adalah china juga mengekspor barang-barang kebutuhan rumah tangga yang penggunaannya tidak memandang strata sosial. Konsumen dari segala kalangan pun lebih memilih produk china ketimbang produk buatan lokal, karena stigma barang impor china yang lebih murah dengan kualitas yang tidak terlalu jelek. Dampaknya, para produsen lokal pun beralih menjadi pedagang barang impor China, karena dari prospek lebih menguntungkan daripada memproduksi sendiri.
Berkaca pada negara Ethiopia di Afrika, salah satu cara yang dapat ditempuh dalam menanggulangi kasus terhimpitnya industri lokal ditengah persaingan segmen pasar di era ACFTA adalah dengan membuat suatu kamar dagang terstruktur layaknya bursa saham perusahaan besar, khusus untuk komoditas unggulan dari negara anggota ASEAN.
Setiap negara anggota ASEAN memiliki keunikan tersendiri terhadap hasil pertanian, tambang, maupun barang olahan industrinya.Yang menjadikannya kompetisi internal region adalah adanya beberapa negara yang memiliki kecenderungan untuk memproduksi barang sejenis,karena kebetulan negara ini memiliki kondisi alam yang tidak jauh berbeda.
Ada 2 alternatif yang dapat dilakukan untuk menghindari persaingan segmen pasar untuk komoditas tertentu dalam regional ASEAN. Pertama, penetapan harga standar untuk komoditas khas. Ini dapat memberikan kesempatan yang sama pada negara-negara yang masih berkembang di ASEAN untuk ikut andil dalam perdagangan yang lebih membantu mereka untuk maju, baik dalam regional maupun diluar region.
Harga standar ini dapat diperoleh dari rata-rata harga di pasaran internasional untuk kategori produk kualitas tinggi hingga yang menengah untuk produk olahan sektor tambang. Sedangkan untuk produk olahan sektor pertanian diambil harga terbaik sesuai kesepakatan negara produsen yang memiliki persamaan dalam hasil unggulan, namun berbeda dalam ukuran, jenis, dll. yang menjadi ciri khas dari negara tersebut. Karena dalam penggunaannya, komoditas pertanian ini pada dasarnya memiliki kegunaan maupun citarasa yang unik.
Opsi kedua adalah dengan mengadakan kesepakatan antar negara ASEAN untuk memilah mengenai siapa mengekspor apa ke negara industri diluar ASEAN(sebagai lead industry). Hal ini memungkinkan untuk setiap negara ASEAN memproduksi jenis barang, khusus untuk sektor pertanian baik hasil bumi belum diolah maupun olahannya tanpa perlu bersaing dengan sesama negara di regional ASEAN. Dengan adanya integritas dan sinkronisasi antar negara ASEAN, semua pihak dapat saling diuntungkan. Hal ini juga memungkinkan adanya perbedaan harga ekspor antar sesama negara anggota ASEAN yang lebih murah dibandingkan dengan harga ekspor ke negara luar ASEAN yang lebih tinggi.
Pada intinya, kedua alternatif ini menjaga agar barang-barang komoditas bahan baku untuk pembuatan produk imporan China maupun negara yang menjalin FTA dengan ASEAN tidak tereksploitasi berlebihan karena harga yang kurang berprospek terhadap keuntungan dalam negeri produsen. Setidaknya, apabila negara-negara ASEAN belum mampu untuk menahan gempuran produk luar yang masuk dengan harga yang lebih murah,bahan baku yang mereka gunakan dapat kita beri nilai lebih berprospek.
Resikodari kedua alternatif ini yang mungkin timbul adalah adanya lonjakan harga barang impor yang harganya menjadi lebih mahal. Akan tetapi, hal tersebut dapat membantu produsen lokal untuk menjadi bangkit dan menguasai pasar dalam regional ASEAN, atau minimal berjaya di negeri sendiri. Sehingga banyak konsumen yang lebih memilih untuk menggunakan produk dalam negeri. Secara tidak langsung, terproteksinya pasar dalam negeri khususnya yang tercakup dalam kawasan ASEAN. Sedangkan dampak langsungnya, hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat di negara berkembang.
Rencana jangka panjangnya, devisa dari salah satu alternatif ini apabila diterapkan dapat digunakan untuk membiayai generasi muda berprestasi untuk menuntut ilmu setinggi mungkin ke negara-negara lebih maju. Sekembalinya ke negara asal, pemerintah mengalokasikan dana untuk memodali mereka menjadi produsen lokal barang-barangkomoditas ekspor. Harapannya, keterbatasan SDM yang dulu sempat membuat negaranya hanya mampu memproduksi barang setengah jadi maupun bahan baku mentah saja dapat meningkat secara signifikan sebagai negara industri maju.
Makadari itu, alternatif ini apabila diterapkan dapat membuktikan, bahwasanya ASEAN adalahregional yang saling mendukung. Tidak hanya sama dalam masa lalu, akan tetapi sama dan saling membantu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Marilah kita sebagai generasi muda untuk membangun ASEAN, dari negeri untuk bangsa.
“ASEAN is a region, which can stand on its own feet, strong enough to defend itself against any negative influence from outside the region.”
—Adam Malik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H