Mohon tunggu...
Edgina Tanya
Edgina Tanya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an explorer soul.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demokrasi = Demonstrasi (?)

15 Juni 2010   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memandang jauh sebelum dan saat era reformasi dimulai, aksi demonstrasi kerap kali dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah. Mereka menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan konteks yang terlaksana. Demonstrasi yang terjadi disini masih murni sebagai bentuk kepedulian para mahasiswa dengan rasa nasionalisme tinggi terhadap perkembangan negeri.

Banyak obrolan-obrolan ringan yang berujung pada debat kusir antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya mengenai arti pentingnya berunjuk rasa sebagai media alternatif penyampaian aspirasi. Salah satunya berpendapat bahwa demonstrasi merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan asas RI sebagai negara yang memberikan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, masihkah konteks ini sama dengan demonstrasi yang berujung pada aksi anarkisme dan bentrokan massa? Tentu berbeda.

Sedikit membahas tentang aksi penolakan Sidang Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1998 oleh ribuan mahasiswa Indonesia dari seluruh pelosok negeri. Banyak media menilai bahwa MPR selama ini sukar diketahui kejelasan dari fungsinya karena bukannya "menentukan dan diikuti" tetapi malah "mengikuti dan ditentukan" oleh rezim orde lama dan orde baru [Majalah Tempo, 1998]. Menurut para mahasiswa, ini semua dikarenakan Dwifungsi ABRI/TNI yang membuat MPR takluk. Hal tersebut merupakan salah satu penghalang bangsa Indonesia untuk maju. Tidak dapat disangkal bahwa Orde Baru membawa kemajuan bagi negara namun bila Dwifungsi disingkirkan akan menghasilkan kemajuan yang jauh daripada yang telah diperoleh [semanggipeduli.com, 2010].

Penolakan tersebut berujung pada aksi unjuk rasa yang dimulai dengan pendudukan Tugu Proklamasi dan bergerak ke tempat berlangsungnya SI. Setelah berkumpul dari segala arah gedung DPR/MPR, mereka mencoba masuk untuk menyampaikan pendapat tentang penolakannya. Akan tetapi, bentrokan dengan aparat keamanan tak dapat dielakkan lagi, dan terjadilah peristiwa tembak menembak yang akhirnya mendapat perhatian khusus dari berbagai masyarakat nasional maupun internasional.

Apabila melihat dari sudut pandang masyarakat awam, aksi penembakan tersebut merupakan sepenuhnya kesalahan dari aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan hingga menjadikan akhir yang anarkis sebagai timbal balik dari keadaan unjuk rasa oleh mahasiswa tersebut. Namun, sebenarnya siapa yang benar-benar patut disalahkan? Mahasiswa-kah? Aparat-kah? Keduanya tak ada yang patut untuk sepenuhnya disalahkan. Inilah negara demokrasi, semuanya bebas berpendapat dan unjuk rasa wajar ada sebagai bentuk lain dari "aspirasi tak didengar" rakyat kepada penguasa. Pun dengan aparat yang terpaksa menembak dan menimbulkan anarkis karena mereka semata-mata menjalankan tugasnya untuk menjaga kelancaran SI.

Seperti yang telah diulas sebelumnya tentang hakikat mahasiswa sebagai golongan yang sedang mempersiapkan dirinya untuk mengemban tanggung jawab sebagai manusia dewasa sepenuhnya, aksi unjuk rasa bisa dijadikan sebagai titik acuan kesiapan dan kesigapan kaum intelektual muda untuk menggantikan peran generasi sebelumnya dalam memimpin bangsa.

Menjawab pertanyaan tentang apakah demonstrasi diperlukan, hal tersebut sebenarnya tidak begitu perlu. Berhubung demonstrasi yang terjadi di negeri ini sering mengganggu ketertiban umum,dlsb.

Sebagai calon pemimpin bangsa masa depan, memang tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh selain dengan unjuk rasa? Jikalau masalah yang ada seperti pada kasus tahun 1998, mungkin hal tersebut masih dapat diterima. Akan tetapi, seiring berubahnya zaman, sebelum penentangan kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM,dll. Sebaiknya telaah lebih dulu maksud dan tujuan kebijakan tersebut dari berbagai sisi. Jangan sampai mahasiswa yang notabene memiliki pendidikan tinggi, mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang berkepentingan khusus. Kalaupun ingin berunjuk rasa, mengirimkan beberapa orang yang dianggap pandai bernegosiasi untuk berbicara baik-baik tanpa menganggu ketertiban umum itu sudah cukup.

Kalau boleh melihat dari sudut pandang seorang demonstran, selama ini cara pemerintah melihat reaksi rakyat hanya berasal dari media. Apa yang media katakan tentang reaksi baik dari rakyat, pemerintah akan berkoar-koar memuji diri karena telah berhasil memajukan negeri dengan programnya. Sebaliknya, jika reaksi yang didapat negatif, pemerintah seolah terus meninabobokan rakyat dengan janji perbaikan. Saat seperti inilah yang membuat para demonstran melakukan aksinya baik yang memang benar-benar bertujuan memajukan bangsa maupun memajukan kelompoknya.

Makadari itu mahasiswa dengan perannya sebagai kaum intelektual tentunya harus dapat berpikir lebih luas tentang konsep penyampaian pendapat yang lugas dan dapat didengar oleh semua pihak yang dituju.

Penelaahan berbagai kebijakan baik publik maupun politik dari pemerintah perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan penyampaian protes ataupun hal sejenisnya. Sungguh tidaklah bijak apabila kaum terpelajar berkoar-koar memprotes sesuatu hal yang tidak mereka mengerti antara maksud dan tujuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun