Sebelum membaca lebih jauh sebaiknya saya pastikan anda mengerti 2 hal berikut ini:
1. Saya ini mantan Tuyul, bukan wartawan apalagi ahli hukum, Walaupun saya ini alumni Harvard jurusan Hukum Karma, tidak lulus alias DO kelas online. Jadi bisa ditebak kualitas tulisan saya ya jauh dari standar Nobel sastra atau nominasi Putlizer. Tapi kalau boleh sombong sedikit, gini-gini masih lebih baik dari Tuyul benaran karena bagaimanapun "mantan selalu lebih baik dari yang sekarang" Lho gak percaya? Tanya saja sama SBY.
2. Saya ini paling benci politik. apatis dan golput sampai munculnya Jokowi-Ahok. Karena itu anda boleh menuduh saya culun sehingga gampang ditipu pencitraan Jokowi-Ahok. Dalam pikiran saya yang paling guoblok ini saya justru sedang memanfaatkan Ahok untuk tujuan-tujuan pribadi saya yang sangat jahat, Sudah lama saya dendam betul sama koruptor, bigot rasis, PNS pemalas dan tukang catut, dan preman ibukota. Dendam, 7 turunan dan 8 tanjakan! Mau memaki-maki koruptor, PNS malas tukang catut dan preman di TV saya tidak berani. Selain itu juga mana ada stasiun TV yang mau menayangkan maki-makian saya. Untung ada Ahok yang bisa saya suruh maki-maki di TV, dan sampai sekarang saya Puasss dengan makian Ahok, Jadi silahkan lanjut satu periode lagi Hok! Sederhana bukan? Atau culun? Whatever lah.
Ok, setelah anda memahami latar belakang diatas kita bisa masuk ke pokok bahasan. Terus terang saya suka nyari berita alternatif di Kompasiana ini sebagai pembanding berita di media mainstream karena sebagai mantan tuyul ini saya sudah tahu tidak ada media yang 100% independen. Karena itu saya cari pembandingnya lewat dunia underground (halah ngeri kali istilahnya) . Karena sifatnya underground tentu harus lebih hati-hati dalam mencernanya karena artikel hoax dan A1 bercampur jadi satu.
Untuk hoax murni tentu lebih gampang karena biasanya begitu di counter langsung mati kutu. Di level berikutnya ada tulisan tukang plintir yang suka memutarbalikkan fakta. Untuk yang satu ini sebenarnya gampang dibantah cuma kadang orangnya suka ngeyel. Jadi sebaiknya tidak usah didebat, cara gampangnya tinggal pasang cermin imajiner terhadap tulisannya sehingga kalau dia ngomong A artinya jadi A' setelah direfleksikan oleh cermin imajiner tadi.Â
Yang agak canggih sedikit itu tulisan yang Cherry Picking, Apa itu Cherry Picking? Apakah itu suatu kegiatan memetik buah ceri seperti kita petik strawberry di Lembang? Memang sesuai namanya Cherry picking ini terinspirasi dari kegiatan panen buah ceri, dimana sang  pemetik buah hanya memilih buah yang paling bagus untuk dipetik. Setelah itu dia menyimpulkan bahwa semua buah cerinya bagus-bagus. Dalam bahasa kerennya itu adalah sebuah fallacy of incomplete evidence. Oh para pembaca yang sudah lebih pintar dari saya pasti bisa menemukan tulisan yang demikian baik dari pihak kawan maupun lawan. Untuk itu kita harus selalu bersusah payah sedikit mencari fakta keseluruhan bukan yang hanya di Cherry Picked saja. Dan hei, ternyata justru dengan melihat fakta keseluruhan kita bisa menganalisa motif penulis dalam menyembunyikan fakta lainnya dan kemana kita akan digiring.
Saya tidak main di FB maupun Twiter karena itu kadang-kadang ketinggalan berita dan malah tahunya dari Kompasiana. Justru dari tulisan hater di K' lah saya tertarik menyelidiki ada apa dengan Tempo dan @Kurawa dalam episode Sinetwit dengan tag #jatuhTEMPO. Dalam Sinetwit ini, @Kurawa membahas kejanggalan perubahan posisi Tempo yang sebelumnya bernada "mendukung" Ahok berbalik menjadi "menguliti" Ahok. (Bagi hater ini merupakan "pertobatan" Tempo yang sebelumnya "Masuk Angin").Â
Rupanya @Kurawa cukup punya pengaruh didunia Twiter sampai pertinggi Tempo turun tangan mengomentari Sinetwitnya walapun dalam bahasa "kode". Singkat cerita dalam Sinetwit, motif perubahan sikap Tempo dari Good Cop menjadi Bad Cop adalah karena kecewa usaha untuk mendapatkan perhatian dari team Ahok tidak ditanggapi sehingga sekarang berubah ingin menjatuhkan Ahok. Lalu mengapa mengambil hati Ahok? Tujuannya tidak lain adalah untuk mendapat pendanaan dari team pendukung petahana (dalam bentuk kue iklan tentunya) untuk menyelamatkan kondisi keuangan Tempo yang sedang kembang-kempis.Â
Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab seperti Siapa Godmother yang disebut-sebut @Kurawa sebagai serigala berbulu domba (ini istilah saya). Apakah #kode yang tersembunyi, Apa pulak maksudnya pertemuan di Singapore? Saya melihat satu pola yang menarik dalam kasus Ahok selalu terjadi pertempuran david melawan goliath, individu melawan organisasi mapan. Ahok melawan Partai, DPRD, BPK, seorang @Kurawa melawan group media Tempo. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Mari siapkan tikar, kopi dan pisang goreng. Pertempuran masih panjang.
Akhir kata tidak ada tulisan yang sia-sia, baik dari lover maupun hater karena justru membuat Kompasiana ini menarik sekaligus mencerdaskan. Dan bukankah ada tulisan tertentu yang anda klik bukan untuk membaca isinya melainkan hanya untuk membaca komentarnya? Atau sekedar untuk menghitung berapa banyak komentar berwarna merah? Ayolah akui itu... atau oh baiklah, mungkin cuma saya yang kurang kerjaan ini yang melakukannya.
Sebagai penutup, untuk mendapatkan manfaat dari lautan informasi hoax dan A1 yang bercampur baur, mari kita belajar lewat lagu Phil Collins berikut ini:
'Though we might hate to admit it,
There are always two sides to every story'
...
And the lights are all on, the world is watching now
People looking for truth, we must not fail them now
Be sure, before we close our eyes
Don't walk away from here
'Til you see both sides
We always need to hear both sides of the story
Sumber: Cuplikan dari Both Sides Of The Story lyrics © EMI Music Publishing, IMAGEM U.S. LLC
Epilog, lalu siapa yang masuk angin? Saya pasti sih si ikan kembung tuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H