Mohon tunggu...
Old Imp
Old Imp Mohon Tunggu... Administrasi - Penyeimbang

Urlicht

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jadi Takut atau Tidak Takut?

15 Januari 2016   15:27 Diperbarui: 15 Januari 2016   15:40 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Takut itu wajar dan alami. Malah perlu demi kelangsungan hidup spesies kita. Yang tidak boleh itu panik, karena panik membuat kita menjadi irasional. Contohnya ya itu hoax berseliweran beberapa saat setelah bom di Sarinah. Ada yang bilang di Palmerah, Ancol, Cikini, Kuningan, Alam Sutra dan entah mana lagi. Si penyebar berita juga mencatut nama TV one dan bahkan wartawan Kompas. Malah ada yang bilang kontributor Kompas ikut tertembak. Makin lama makin liar saja hoax yang beredar.

Teroris keliling dengan sepeda motor sambil menembaki orang-orang dengan AK47! Faktanya bom hanya terjadi di Sarinah dan senjatanya juga hanya rakitan. Saya juga dapat hoax seperti ini di WA dan hampir tergoda untuk forward ke teman-teman tapi ada sesuatu yang membuat saya berpikir ulang. Apa coba ayo tebak? Salah yang catut nama tadi. Katanya menurut berita TV one begini begitu. Lah TV one gitu loh, saya langsung berpikir ulang dan gak jadi forward. Coba dia bilang menurut Kompasiana mungkin lain ceritanya hehehe....

Maaf sedikit ngelantur. Saya takut waktu dengar berita serangan teror di Sarinah. Itu ditandai dengan senyum di wajah yang mendadak hilang dan tangan dingin serta wajah tegang. Saya telepon sanak saudara menanyakan kabar dan mendapat kabar. Untungnya semua yang saya telepon tersambung. Saya membayangkan para keluarga korban yang tidak berhasil menghubungi keluarganya di saat genting itu. Tentu panik pun adalah reaksi wajar. Tapi ada baiknya kita berhenti sejenak menganalisa berita yang masuk itu hoax atau tidak sebelum kita forward mentah-mentah.

Supaya kita tidak gampang panik sudah saatnya kita perlakukan kejadian serangan teror sebagai bencana buatan manusia. Karena itu penanganannya pun seharusnya bisa menyontek penanganan bencana. Bagi yang bekerja di gedung-gedung tinggi di Jakarta bukankah ada latihan berkala untuk bencana kebakaran ataupun gempa? Mengapa tidak diadakan latihan untuk serangan teror? Bukankah itu bisa dimasukan dalam program bela negara? Gimana mau bela negara kalau ada serangan teroris aja kocar-kacir?

Lihatlah reaksi orang-orang, bukannya tiarap dan menjauhi TKP malah berkerumun menonton, jualan sate sampai makan kacang. Lucunya itu dijadikan meme bahwa kita tidak takut. Ngawur bin ngelantur. Itu beruntung saja tidak jadi sasaran tembak kalau saja teroris benaran menembak secara babi buta dengan AK47. Bangun! Ini bukan permainan counter strike! Itu bukan berani tapi konyol. Itu menyusahkan polisi dan pasukan anti teror juga. Apa mau jadi korban salah tembak polisi? 

Itu bukti nyata ketidak pedulian kita dan tidak menghargai nyawa. Maka orang bilang nyawa kita murah jangan tersinggung. Lha wong nyawanya sendiri digadaikan demi tontonan life action dan menjadi yang pertama menyebarkan foto eksklusif kok. Terima kasih kepada gadget sehingga semua bisa jadi yang terdepan dalam berita, hoax maupun tidak urusan kedua. Siapa yang perlu wartawan heh?

Serangan teroris itu sama pastinya dengan kematian. Pertanyaannya hanyalah kapan itu akan terjadi dan dimana? Jangan berhenti sebatas slogan saya gak takut dengan alasan konyol. Sudah siapkah kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun