Mohon tunggu...
Abdullah Mabruri
Abdullah Mabruri Mohon Tunggu... -

masih dalam proses pencarian

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Calo

16 Agustus 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:44 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti Jakarta, Bandung mulai terkenal macet juga, tapi aku lupa mengantisipasinya. Jadilah aku mendapati stasiun Kiaracondong dua menit sebelum keberangkatan kereta tujuan Kebumen. Naasnya, kereta malam hampir pasti ramai penumpang. Dengan tipis harapan, kusambangi loket. Dan benar kecurigaanku; tempat duduk habis. Aku berpikir, menjauhi loket sejenak karena ada seorang calon penumpang lain yang akan sama kecewanya denganku.

Jika ada sesuatu yang kau benci dan kau butuhkan sekaligus, itu adalah seorang calo. Dalam hal ini adalah calo yang menawarkan tiket bertempat duduk. Seseorang berperut buncit dengan rompi hitam dan topi hitam bertuliskan “TELKOMSEL” berjalan menyeret sepatu mendekatiku. Aku tahu siapa dia; orang yang kubenci tapi banyak juga yang membutuhkannya.

“Kemana, De?” sapanya.

“Kebumen,” tukasku singkat dengan sedikit kesal. Aku tetap tidak suka dengan seseorang yang berprofesi sebagai calo sehalus apapun ucapannya.

“Mau tiket? Pakai tempat duduk. Nih, di gerbong 5 nomor 7C.”

Aku pura-pura tertarik, “Di mana, Pak?”

“Gerbong 5 nomor 7C.” Ia menujukkan tiket itu.

Kena kau! Kuingat-ingat nomor tempat duduk itu. “Berapa?”

“Gak mahal. Cuma Rp30.000.”

Itu memang harga wajar dari tangan calo meski keuntungannya sudah 50%. “Boleh Rp22.000, Pak?”

Gak bisa, De. Itu mah cuma dapet buat beli rokok.”

Waktunya sangat terbatas. Pilihanku tak banyak. Jadi, aku beli saja tiket dari loket resmi meski tanpa tempat duduk. Cuma Rp20.000. Hemat sepuluh ribu daripada beli dari calo. Aku berlari ke kereta yang mulai meraung-raung, ke bangkuku, di gerbong 5 nomor 7C.

Calo, menurutku, memang penjual licik tapi tetap sah saja mengambil keuntungan sekeinginannya. Tapi selicik-liciknya calo, pasti masih bisa diperdaya—terutama oleh otak mudaku.

Kawan, kau pikir akan ada calon penumpang yang membeli tiket itu dalam satu menit ini? Kemungkinan besar tidak dan kuharap demikian.

Satu. Dua. Tiga. Kereta mulai bergerak. Satu. Tiga. Lima menit. Tidak ada yang mengklaim tempat dudukku. Itu artinya si calo tidak berhasil menjual tiket yang ia tawarkan kepadaku tadi. Kupikir, aku harus segera berucap syukur karena terbiasa berpikir cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun