Badai Cinta Melukai Jiwa
Oleh: M. Abd. Rahim
***
Saat pulang dari rumah Irine, Aku lemah lunglai. Dadaku sesak, mataku nanar. Di perjalanan pulang melawati lorong-lorong sepi. Aku berusaha melawan malam yang kian sunyi menyayat hati. Aku terluka karena cinta, cinta yang tidak direstui oleh orang tua.
"Dit, kenapa?" Tanya ibuku
"Apa ada masalah dengan Irine?"
Aku diam,Â
"Aku harus melewati ini semua dengan lapang dada. Aku harus ikhlas menerima kenyataan. Cinta boleh putus di jalan, tapi sekolahku jangan. Aku harus semangat tanpa cinta, aku harus sukses tanpa dia!" Kataku dalam hati
Badai Cinta ini, melemahkan jiwaku. Memporakpondakan jiwa, cita-cita dan harapanku.Â
"Apakah aku harus meninggalkan dunia remajaku, meninggalkan kupu-kupu indah menghiasi taman hati. Sungguh, sayap-sayapku telah putus, ingin terbang di angkasa cinta dan cita yang lebih tinggi, tapi tubuhku lemah lunglai"
Tidak hanya dada sesak, batukku yang dulu mulai kambuh. Batukku semakin hari semakin kronis, apa lagi saat malam hari sangat menggangu malamku.
***
"Dit, bangun. Sudah siang. Apa kamu ga masuk ujian?" Ibu membangunkanku, kemudian menyentuh tubuhku.
"Badanmu panas Dit!"
"Ke Dokter ya!" Ajak ibu
Tubuhku sulit digerakkan, dadaku sakit, mau bangkit dari tidur tidak kuat. Tiba-tiba aku pingsan. Dan pagi itu aku dibawa ke UGD.
Hari ini aku tidak masuk ujian, karena sakitku mulai berbahaya. Â Sekolah mengizinkan mengerjakan soal ujian di rumah bila ada izin dari dokter. Walaupun soal ujian bisa dikerjakan secara online, tapi tubuhku tak mampu mengerjakan, kepala terasa pusing dan energi tubuhku berkurang.Â
"Jangan ikut ujian dulu Mas, nanti ketika sembuh saja" Nasihat ibuÂ
"Bu apakah aku sudah izinkan!" Kataku
"Maaf nak, lupa!" Ibu mengambil ponselnya dan menelpon wali kelasku Ibu Titik.Â
"Assalamualaikum Bu Titik, maaf Bu ini ibunya Raditya Ramadhani. Mau mau mengizinkan bahwa anak bahwa anak saya hari ini tidak masuk ujian karena sakit."
"Baik Bu, terus bagaimana kabarnya Radit?" Tanya Bu TitikÂ
"Alhamdulillah ini sudah mendapat penanganan di rumah sakit." Jawab ibuku
"Alhamdulillah Bu, semoga Radit segera sembuh dan bisa ikut ujian semester lagi!" Bu titik membalas
Dari percakapan Bu Titik dan ibuku, teman-temanku mengetahui kalau aku tidak ikut ujian karena sakit. Begitu juga Irine, ia sangat nampat murung di kelas. Tanpa ada kecerahan di wajahnya dan tak ada keceriaan di hatinya. DiaÂ
"Ini apakah sebab kejadian tadi malam, kena bentak ayahku. Maafkan ayahku mas Radit, ayahku saat itu lagi ada masalah kerjaannya." Desis Irine dalam hati
"Sepertinya mas Radit mengetahui hubunganku dengannya tidak bisa dilanjutkan. Karena ayahku memilih laki-laki pilihannya untukku."
Pak Hadi memilih putri tunggalnya tidak asal-asalan. Dia orang yang kaya raya, dan tidak mungkin memilih Radit sebagai menantunya. Ibu Suci, tidak mempersalahkan masalah bibit, bobot dan bebetnya, yang penting laki-laki yang bisa mengaji, bertanggung jawab, mandiri, dan mempunyai akhlak yang baik.
"Aku harus bagaimana ya Allah, agar Radit tetap semangat seperti dulu. Ya Allah engkau maha segalanya mudahkanlah segala urusanku, sembuhkanlah mas Radit, agar dia bisa mengikuti ujian akhir semester ini sampai selesai." Doa Irine saat mau melanjutkan mengerjakan soal ujian
***
Dua hari aku tidak mengikuti ujian di sekolah, hari ketiga dan keempat. Pagi ini aku agak mendingan dan mengerjakan soal-soal secara online di ruang Melati. Tadi malam aku dipindah dari UGD, karena tubuhku sudah sedikit sehat, dadaku sudah tidak sesak tapi batukku belum sembuh total dan harus rawat jalan.
Siang itu Irine menjengukku di rumah sakit bersama ibunya, mereka bersama Rino dan Alfi.Â
"Mas Radit maafkan aku ya!" Kata Irine
Aku diam, hanya mengangguk sambil menahan air mata.
Ibuku dan ibu Suci ngobrol di luar, kemudian semua masuk dalam ruangan.
***
Surabaya, 30 November 2022
Naskah ke-33
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H