Berguru pada Pengeran Diponegoro
Oleh: M. Abd. Rahim
***
Sebelum pulang dari magang, Radit dan teman magangku Amar, lagi-lagi menemui mas Kris untuk melobi kepala hotel. Agar besok Aku bisa pulang lebih cepat, dan bisa membantu ibuku kerja. Tapi hari pertama magang Aku pulang sesuai peraturan hotel, yakni jam 19:00, itu belum dihitung waktu perjalananku sampai rumah. Dan juga saat aku bertemu Kris, ia bilang tidak bertemu kepala hotel.
"Dit, kok baru pulang!" Kata Ibuku
"Njih Bu" Jawabku sambil membanting tas di atas tempat tidur. Suaraku tidak seperti biasanya, lebih keras dan meninggi, ibuku kaget.
"Sebenarnya kamu kenapa Dit?" Ibuku menahan suaranya, agar ia tidak marah
Ibu mendatangiku, dan mengelus pundakku. Ibu tidak marah dan tetap bersikap dingin karena sebelumnya Aku sudah cerita padanya bahwa magangku pulangnya malam, jadi tak bisa membantunya kerja.
"Dit, yang sabar ya, hidup itu penuh perjuangan. Kita sekarang hanya berjuang melawan marah, melawan nafsu, dan melawan ketidak benaran. Dulu sebelum Indonesia merdeka, para pahlawan berperang melawan penjajah. Darah dan kematian menjadi tebusannya, sepeti pangeran Diponegoro atau pahlawan kemerdekaan yang lain, mereka berjuang habis-habisan melawan penjajah Belanda."
"Injih Bu, maafin Radit!" Aku menundukkan kepala
"Ketika magang di manapun berada, ingat pesan-pesan gurumu. Harus disiplin, tepat waktu, jangan mencuri, dan menurut ibu jangan tinggalkan salat."
"Kulo sampun beto sarung kaleh baju taqwa teng tas Bu!"
"Iya, tapi ketika magang pasti ada pekerjaan yang sulit ditinggalkan. Pangeran Diponegoro dalam perjuangannya melawan penjajah dia tak pernah meninggalkan salat. Saat waktunya salat sudah datang, dia mengajak prajuritnya untuk menjalankan salat berjama'ah. Dia selalu berada dalam keadaan suci, kalau batal dia berusaha mengambil air wudhu. Setelah salat, pangeran Diponegoro masih duduk bersama prajuritnya untuk mengatur kekompakan dan strategi perang"
Aku manggut-manggut, "Matursembhnwun Bu, atas nasehat-nasehat ipun."
Aku menyalami tangan ibuku, kucium punggung tangannya dan meminta maaf. Aku pergi ke kamar mandi dan salat isya lalu istirahat.
Aku tak bisa tidur, karena masih memikirkan kerjaku di warung pak Sugi. Aku bersyukur karena pak Sugi mengizinkanku tidak masuk kerja. Ini untuk hari pertama, tapi hari kedua dan seterusnya kuatir hati pak Sugi berubah. Apalagi besok aku izin tidak bisa membantunya membuka warung.Â
Untuk hari pertama, cukup lelah karena berangkat-pulang magang memakai sepeda. Dan malam ini aku chat Amar agar besok menjemputku.
***
"Radit, Radit!" Suara Amar mengetuk pintu rumahku beberapa kali. Aku masih di kamar memakai, Ibu yang membukanya.
"Silahkan nak Amar masuk dulu!"
Sebelum dia masuk rumahku, Aku sudah menemuinya. Aku berangkat magang, bersamaanya menaiki Mio GT.
Amar dipersilahkan masuk oleh ibunya Radit, sebenarnya ingin mengucapkan terimakasih dan ingin membuatkanya teh hangat kepadanya. Berterima kasih karena sudah menjemput Radit, dan pergi bersama ke tempat magang. Kalau Radit memakai sepedahan ontel ketika magang, begitu capeknya dia, karena rumah hanya ada sepeda onthel.
***
Sampai tempat magang Aku dan Amar bekerjasama dengan baik dan kompak. Ketika melihat listrik ada yang konslet dan lampu ada yang padam Aku dan Amar memperbaikinya. Hingga kepala hotel bilang berterimakasih berkali-kali kepadaku. Karena waktu ada acara besar-besaran di Hall Hotel.
Tidak lupa pesan Ibuku, Aku izin ke Amar untuk salat duhur dulu di musholla hotel.
"Aku duhuran dulu ya Mar, terus gantian!"
***
Surabaya, 09 November 2022
---
Naskah ke-9, tantangan dari dokjay 30 Hari Menulis di KompasianaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H