Ketika musim kemarau tahun lalu mengharap gerimis hujan; mengundang pilu
Kau katakan kesuksesan tak perlu dihargai atau sembunyi melewati sejarah baru
Di mana hatimu, saat aku memperoleh penghargaan? Kini sudah berlalu
Derai hatiku, merantau kesakitan dan seolah cita-cita masa depan terpaku
Â
Dimana perasaanmu jikalau engkau dihargai sebagai penguasa yang lugu?
Diamku adalah emas yang meleleh oleh panasnya kebijakanmu
Kuberi satu tetes air susu tapi engkau balas dengan beribu empedu
Ke mana hati nuranimu, adakah sedikit untukku, untuk mencintaiku?
Â
Bagaikan musim kemarau yang berkepanjangan, hatiku panas berabu
Meninggalkan musim hujan, tapi dinginnya hati masih membeku
Berilah aku udara yang segar agar aku bugar untuk tetap mencari dan mengamalkan ilmu
Memberi manfaat pada lembaga yang kau naungi menuju nomor Satu
Â
Ya Tuhan, berilah aku kesempatan untuk mengukir sejarah yang berwajah ayu
Berwajah indah, berwajah yang membahagian kalbu, bukan wajah topeng nan palsu
Ya Tuhan, Engkau Maha Mendengar dan Maha Tahu dalam segala isi hatiku
Berilah kebahagiaan, ketentraman nan syahdu di musim kemarau yang penuh liku
Â
Surabaya, 22 Juli 2022
M. Abd. Rahim, S.Pd.I, M.Pd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H